Barangkali karena aku adalah anak rumahan. Barangkali karena aku ini anak bungsu sehingga terbiasa tidak perlu memberi lungsuran kepada saudara yang lain. Barangkali karena semua saudaraku adalah perempuan, maka sejak kecil barang-barang dan mainanku memang hanya milikku dan aku terbiasa menyimpannya untuk diriku sendiri. Barangkali karena di pekerjaan pertama, salah satu tugasku adalah mengumpulkan dan mensortir berbagai artikel. Entah apa alasannya, aku hanya ingin bilang bahwa yang namanya mengumpulkan sesuatu adalah salah satu kegiatan yang paling kunikmati.
Tapi mungkin aku salah soal masa kecilku. Seingatku, untuk mainan aku tidak terlalu punya banyak. Demikian pula benda-benda lain. Itu waktu kecil. Namun, kira-kira ketika pertengahan masa SD (oh, apa ini masih termasuk kecil?), aku mulai suka mengumpulkan sesuatu. Yang kuingat, awalnya aku mengumpulkan batu. Ya, batu. Setelah diterangkan tentang zaman purba, aku tertarik pada batu. Guruku menjelaskan bahwa batu yang ada di sekeliling kita bisa jadi umurnya sudah sangat tua. Ketika diterangkan tentang candi dan berkesempatan mengunjungi Borobudur, aku makin tertarik lagi. Terlebih kakakku juga bilang bahwa batu-batu yang ada ini juga bisa berasal dari gunung. Gunung itu sudah ada sejak zaman purba. Lebih tua dari candi. Dan sekalipun satu saat batu bisa menjadi pasir, tapi beberapa waktu kemudian, pasir itu bisa bersatu menjadi batu lagi. Dan aku makin terperangah saat diterangkan mengenai fosil. Sebuah batu bisa jadi punya banyak cerita. Kalau batu punya mata, maka batu pasti sudah melihat berbagai hal, dinosaurus, diinjak derap langkah pasukan Majapahit, atau terkena bom tentara Belanda.
Aku pun mengumpulkan batu yang bentuknya menurutku bagus. Batu yang licin dan hitam, aku bayangkan ini mungkin pernah menjadi kapak perimbas yang digunakan manusia purba. Aku juga ingat cerita tentang Daud melawan raksasa Goliat. Apa batu seperti ini yang bisa membunuh raksasa? Saat menemukan batu yang kasar tapi tampak sangat kukuh, kubayangkan mungkin itu bekas cuilan sebuah bangunan istana Majapahit. Namun, aku tidak terlalu tertarik dengan setumpuk batu yang dipakai untuk bahan material bangunan di samping rumahku. Aku lebih tertarik pada batu yang ada di jalan, yang tak sengaja kutemukan. Maka, sering kali di kantong celana pendek merah itu, ada beberapa batu, kecil-kecil saja. Kalau aku kelupaan dan ditemukan Mama, maka tentu saja segera ia buang. Namun, aku tidak berani menyimpan batu-batu itu di dalam rumah. Aku menempatkannya di sudut bangunan tempat bekerja para tukang, masih di area rumahku.
Itulah koleksi pertamaku. Batu. Aku tidak terlalu lama mengumpulkannya, karena batu-batu itu sering hilang setelah kusimpan. Aku juga tidak terlalu sayang waktu batu itu hilang, karena toh di mana-mana aku tetap dikelilingi batu-batu. Setelah batu. Aku sempat sebentar mengumpulkan silet. Namun, kali ini, aku mengumpulkannya bukan karena silet-silet itu indah. Ini adalah caraku agar dapat merasa aman. Waktu itu, jika berangkat dan pulang sekolah aku harus naik angkot. Tapi, sebelumnya menyetop angkot, aku perlu berjalan sekitar 250 meter dulu. Terutama saat perjalanan pulang itulah, aku sering berpapasan dengan seorang anak. Belakangan baru kuketahui bahwa ia adalah anaknya pak RT. Yang jelas, usia dan tubuhnya lebih besar dariku, meski tidak besar sekali. Aku kadang dikompas di situ. Aku selalu langsung merasa lemas dan gemetar saat melihatnya dari jauh, entah waktu dia sedang berjalan atau bermain. Ia pun tampak bersemangat jika melihatku. Biasanya aku lalu memperlambat langkahku, tapi ia tahu dan menunggu. Atau kalau tidak ia yang menghampiriku. Seratus perak atau lima puluh perak melayang. Atau kalau aku tidak punya uang sama sekali, maka ia yang memberiku.. pisuh-pisuhan. Tidak pernah ada kekerasan fisik memang, tapi itu cukup membuatku takut.
Singkat kata, hal itu membuatku merasa perlu mempersenjatai diri. Aku tidak ingat dari mana saja aku bisa mendapatkan belasan silet. Silet itu kebanyakan adalah silet lipat yang biasanya dipakai untuk anak SD mengerjakan prakarya. Kadang aku mengambil punya kakakku, atau dari Mama dan Papa, atau aku membelinya. Ke mana-mana, bahkan di rumah waktu tidur pun, kantungku penuh dengan silet. Namun, silet itu tidak pernah benar-benar kugunakan untuk menyilet kulit siapa-siapa. Beberapa minggu aku mulai mengumpulkan silet. Tapi, selama itu, aku tidak berpapasan dengan anak pak RT itu. Sampai akhirnya kakakku memergoki silet-silet tersebut. Ia melaporkannya pada Mama dan silet tersebut diambil. Kakakku bertanya apa tujuanku membawa belasan silet. Aku hanya berkata, buat jaga-jaga. "Jaga-jaga dari apa? Apa kamu mau berkelahi?" "Tidak." jawabku. Aku jelaskan bahwa aku hanya ingin jaga-jaga kalau dicegat anak-anak kampung. Kakak hanya mentertawakan. Tapi masalah itu tidak diperpanjang.
Setelah silet-siletku diambil, saat aku sedang berjalan dengan seorang temanku, sialnya aku bertemu lagi dengannya! Anak itu terlihat sedang bermain layang-layang dengan teman-temannya di lapangan pinggir jalan. Dan dadaku kembali berdebar-debar. Aku rasa jika aku masih membawa silet pun, aku tetap sama takutnya. Anak itu berteriak memanggilku. Aku terus berjalan tapi ia memanggil lagi sambil mengepalkan tinjunya. Temanku pun tampak sama takut denganku. Tiba-tiba dari belakangku, terdengar suara yang kukenal. Rupanya Mama kebetulan sedang lewat. Hari itu naas bagi anak itu. Mama tidak berhenti dengan memarahi anak tersebut. Tapi, ia juga melaporkannya pada orang tuanya yang ternyata adalah pak RT. Sore hari, bu RT dan anak itu datang ke rumahku. Anak itu tampak sangat murung. Kata ibunya, ia habis dihajar ayahnya dan kini disuruh datang ke rumahku. "Terserah, biar silakan mau diapakan saja." kata bu RT menirukan ucapan suaminya. Mungkin itu hanya basa-basi. Tapi, kami kemudian bersalaman. Di hari-hari selanjutnya, beberapa kali aku sempat berpapasan lagi dengannya. Meski aku masih agak deg-degan, tapi kemudian lega karena kini dia tersenyum dan menyapa, "Pulang?". Aku hanya balas tersenyum.
Hal selanjutnya yang kukoleksi adalah sekrup. Karena keluargaku tinggal di rumah milik bosnya Papa, seorang pengusaha alat komunikasi dan elektronik, maka ada banyak sekrup bisa ditemukan di area rumahku. Bagian belakang rumah yang cukup luas itu difungsikan sebagai gudang. Sementara di bagian lebih belakang lagi, ada sebuah tanah lapang tapi dikelilingi tembok tinggi yang dipakai sebagai tempat mengelas, cor, dll. Di situ, aku sering bermain atau sekadar menyepi. Ketika melihat di sana berserakan banyak sekrup bekas, aku mulai berimajinasi. Kali ini aku bayangkan cerita fiksi ilmiah. Sekrup-sekrup beraneka ukuran yang sebagian sudah berkarat itu aku bayangkan sebagai pesawat. Yang bentuknya memang bagus aku kumpulkan.
Mungkin Papa mengetahui kesukaanku itu, mungkin juga tidak. Tapi, Papa tiba-tiba punya ide memberikan banyak sekrup dan besi-besi berbentuk aneh yang merupakan salah satu bagian dari spare part antena parabola. Papa mencontohkan, besi-besi itu bisa dirangkai menjadi bangunan, pesawat, robot dll. Meski bentuknya aneh, tapi aku suka juga. Namun, secara khusus aku membayangkan sekrup-sekrup itu (kali ini sekrup bersih) sebagai tentara atau manusianya. Aku kumpulkan sekrup tersebut dalam sebuah toples. Aku bahkan bisa membedakan sekrup yang satu dengan yang lainnya. Meski secara sekilas semuanya tampak sama. Kadang kala, aku juga membawa sekrup-sekrup bersih itu ke belakang, ke tanah lapang itu, untuk bermain dengan sekrup kotor, trafo berkarat, dan beberapa rongsokan yang ada di sana. Demikianlah, di masa SD sesungguhnya aku memang tidak punya mainan yang sebenarnya. Namun, aku tetap bisa bermain dengan benda-benda tersebut.
Menginjak usia remaja, tepatnya SMP, aku sudah tidak lagi bermain seperti itu. Aku kini lebih suka bersama teman-teman. Ketika itu yang sedang ngetren adalah kartu-kartu basket (yang sebenarnya stiker) dari Panini, meski ada juga kartu basket betulan. Jika saja aku punya kemampuan, maka pasti ada masa aku mengkoleksinya. Tapi, karena uang saku cekak, maka aku hanya ikut nimbrung saja dengan teman-teman mengagumi kartu-kartu itu. Kebetulan waktu itu, aku juga mulai ikut latihan basket di sebuah klub sehingga teman sepermainanku banyak yang suka basket. Pokoknya, basket, terutama NBA, memang sedang top-topnya saat itu. Arie Sudarsono, Helmi Yahya, Reinhard Tawas, Agus Mauro sering muncul di TV. Aku pernah meminjam segepok kartu milik temanku dan selama beberapa hari terus berurusan dengannya. Kadang aku pura-pura menyusun formasi. Permainan yang beberapa tahun kemudian dinikmati orang melalui games Championship Manager.
Satu kali, guru olahragaku memberi tugas membuat kliping berjudul: Olahraga Bola Besar. Kliping ini minimal memuat tiga cabang: sepak bola, basket, dan voli. Bersama dua temanku, aku pun mencari berbagai koran dan terutama tabloid Bola. Beruntung, ada seorang teman yang ayahnya seorang agen koran. Kami mendapat banyak bahan melimpah di sana. Aku juga meminta bantuan dari siapa saja. Puncaknya, dari Papa aku mendapatkan satu edisi tabloid Bola yang memuat daftar lengkap pemain dari semua klub NBA musim kompetisi 1994-1995. Untuk beberapa tahun berikutnya, guntingan 5 lembar kertas itu menjadi hartaku yang sangat berharga. Aku juga terus mengikuti perkembangan kompetisi NBA. Setiap ada berita perpindahan pemain atau pemain pensiun, aku merevisinya di kertas yang makin lama makin lusuh itu. Ya, bisa dibilang kali ini koleksiku bukan benda betulan. Tapi, koleksiku adalah data-data para pemain NBA. Aku mendedikasikan sebuah buku tulis yang berisi catatan tanggal lahir para pemain NBA tersebut. Halaman 1 dan 2 berisi daftar pemain yang lahir pada bulan Januari. Lalu, ada kolom-kolom yang berisi data-data lainnya, seperti asal klub, tinggi/berat, dan posisi. Halaman 2 dan 4 berisi daftar pemain yang lahir pada Februari, demikian selanjutnya. Ketika sudah mulai bosan, aku mengambil buku tulis yang lain. Di situ kutuliskan data pemain-pemain berdasarkan kategori lainnya.
Jika saja waktu itu aku sudah kenal internet atau setidaknya komputer, maka yang kulakukan mungkin hanya browsing, print, atau membuatnya di Excel. Tapi, untungnya belum. Setelah membuat berbagai data dan catatan di buku tulis, selanjutnya yang kulakukan adalah bermain manajer-manajer-an tadi. Membuat berbagai formasi yang sebenarnya lebih tentang nama-nama, karena aku tidak mengerti soal strategi basket. Beberapa waktu kemudian, gegap gempita siaran basket meredup. Maka, aku mengganti data itu dengan pemain sepakbola. Kali ini tampaknya lebih asyik dan aku menjadi lebih sibuk. Tentu saja karena pemain bola jumlahnya jauh lebih banyak dan sifatnya lebih global. Sampai sekarang aku belum pernah bermain games Championship Manager yang ngetren waktu aku SMA itu. Meski demikian, aku sudah pernah merasakan nikmatnya memainkan versi primitifnya, jauh sebelum teman-temanku.
Aku koleksi tengkorak manusia.
Mengingat masa lalu memang mengasyikkan, apalagi bila masa lalu itu baik bisa menjadi referensi terbaik yang bisa digunakan seseorang di masa depan. Bila masa lalu tidak baik tetap tak ada kata terlambat untuk upaya perbaikan.
Lebih kurang 1 km dari rumah ortuku ada kuburan umum yang sering menjadi tempat bermain anak-anak dari berbagai wilayah di kelurahan tersebut. Yang tidak kenal jadi kenal, yang sudah kenal jadi teman kencan bersama untuk bermain, memang anak2 tuh mudah sekali berteman kok.
Ada permainan yang sangat saya sukai maupun teman2 yang lain, yaitu main perang2an dengan senjata TULUP, sepotong bambu dengan lubang kecil sepanjang 25-30 cm, sebagai pelurunya yaitu tanah liat atau LEMPUNG yang dibentuk bulat, bisa sebesar biji jagung atau biji kelengkeng, tergantung besar kecilnya lubang bambu.
Dalam permainan tulup-tulupan ini biasanya terbagi dua kelompok, tak terbatas anggotanya, siapa saja boleh ikut, yg dewasa maupun anak2. Kami saling menyerang di balik persembunyian, bisa di balik pohon atau dibalik nisan2 dari batu. Kami memang harus hati2 agar tidak kena mata, tapi selama itu belum pernah ada kejadian yang mengkhawatirkan, paling yg terkena hanya bagian tubuh saja.
Dalam mencari peluru dari tanah liat itu, kami biasa menggali di tanah kuburan yang dekat sungai kecil, karena mudah untuk digali, maklum basah. Karena seringnya digali, tak jarang kami menemukan potongan2 tubuh manusia yang sudah menjadi tulang belulang. Ada potongan gigi, tulang jemari, kaki dan kepala manusia yang sudah menjadi tengkorak!
Setiap menemukan tengkorak manusia, saya selalu membawa pulang, atau teman yang menemukan, selalu saya minta. Tengkorak itu terlebih dahulu saya bersihkan di sungai tersebut. Pulangnya saya cuci kembali pake air sabun. Kurang lebih saya mampu mengumpulkan 6 tengkorak manusia, tapi hanya satu yang saya sukai, karena masih utuh, yang lainnya sudah pada rapuh, mungkin kemakan usia.
Tengkorak yang tidak utuh itu akhirnya saya kembalikan ke tempat asalnya, asal-asaan saja saya menguburnya, pokoknya ditutup tanah liat, gitu saja dan itu saya sadari belum tentu tepat pada saat ditemukan. Saya hanya mengucapkan : "Sorry mbah, kepalanya saya kembalikan." Sementara yang utuh saya pernis agar terlihat mengkilat. Hasilnya memang menarik dan saya taruh di meja dekat mesin ketik, sebelah tempat tidur.
Selama saya menaruh beberapa tengkorak di kamar, belum satu kali pun saya dapat mimpi horor atau ditemui yang empunya kepala itu. Tetapi ketika ortu mengetahui waaa.....marah deh, tengkorak itu disuruh mengembalikan dengan bumbu cerita horor. Yang tengkoraknya tidak utuh memang sdh saya kembalikan sebagian, tetapi yg paling aku suka, akhirnya aku berikan kepada teman seniman yang sering bermain teater. Karena aku sebetulnya paling suka tengkorak yang sudah aku pernis itu dan sering kujadikan obyek fotrografi. Tapi biar ortu tidak "Kakehan Bacem" ya udahlah, hilang semua koleksi tengkorak manusiaku.
Sekarang kuburan itu sudah menghilang alias banyak ditumbuhi bangunan pemerintah, ada sekolahan, ada puskesmas dan tentu saja rumah penduduk. Padahal dulu terkenal angker, karena setiap malam tertentu sering terdengar suara orang melolong "Biyuuung tuluuuung...!!" Begitu jeritnya, dan menjadi cerita sang juru kunci bila menceritakan keangkeran kuburan tersebut. Kuburan tersebut namanya TALANG PATEN.
Kalo dituliskan, cerita tentang kuburan tersebut, sangat banyak kenangan pada masa laluku di tempat tersebut, sebagai tempat bermain favorit. Suatu ketika, kalo Y- menuliskan tentang masa lalu, akan kusambung lagi dengan cerita masa lalu yang asyik juga.
Untuk koleksi mur baut, sampai sekarang aku masih menggelutinya, bahkan hafal berbagai jenis dan ukuran, tapi bukan sebagai hobi, sudah masuk dalam kancah bisnis.
Masa kecil, masa remaja adalah masa-masa yang indah untuk dikenang. Sayang waktu tak akan terulang untuk kedua kalinya.
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat