Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
BUKU HARIAN LIANA
Satu persatu pelayat menyalaminya. Mereka menunjukkan duka dengan pakaian yang lebih hitam dari jubah nenek sihir. Anak, menantu dan cucu berderet di samping gundukan tanah, menyambut tangan-tangan yang tidak berani menyunggingkan senyum. Badoi tidak bisa membohongi dirinya sendiri, ia tidak begitu sedih. Sebagai suami yang barusan kehilangan istri, mukanya memang harus kelihatan sedih. Tidak begitu sulit, di infotainment, penyanyi dangdut yang hanya bisa pamer pantat pun bisa mengeluarkan air mata buaya. Apalagi ia yang otaknya ada di kepala. Tetapi ia tidak harus seperti itu, ia hanya perlu menahan senyum setiap kali menyambut uluran tangan.
"Kita pulang, Yah," kata Elina, putri bungsunya yang sedang menggendong bayi pertamanya. Si bungsu ini sudah siap menerima kehilangan ini. Badoi bersyukur istrinya pergi saat anak-anak dewasa, setelah punya urusan keluarga masing-masing. Semua orang pasti mati, masalahnya hanya kapan. Saat terbaik untuk mati adalah ketika anak-anak sudah punya suami atau istri.
Amel, putri kedua, menarik lembut tangannya. Ketiga anaknya membuat hatinya berkecamuk. Betapa berbedanya bila ibu mereka pergi lima belas tahun lalu. Ia harus menghibur bukan hanya dua anak gadis, ada si sulung yang mungkin menjadi anak bermasalah bila tidak ada ibunya. Betapa berbedanya sekarang, mereka bertiga berusaha menguatkannya.
Badoi bersyukur ibu mereka tahu kapan harus meninggal.
***
"Ayah tinggal bersama kami saja," kata putri keduanya. Penguburan sudah lima hari lewat. Lali pulang dua hari lalu, dan si bungsu baru pulang kemarin. Sekarang giliran Amel.
"Kami sudah membicarakannya, bapaknya anak-anak sangat setuju," lanjut putrinya.
Bapaknya anak-anak sangat setuju? Ia jadi ingat pernah tidak menyukai pria ini. Pernah berharap hubungan itu putus begitu saja.
"Nanti ayah pikirkan, ya?" jawab Badoi. Amel bukan pilihan yang buruk. Anak-anak juga pasti sudah berunding. Si sulung memang lebih mapan, tetapi ia tidak berminat menanti peti matinya di ibu kota yang bisa membuat menantu lebih judes dari nenek sihir. Si bungsu memang anak yang paling ia sayangi, tetapi baginya Elina masih si bungsu. Ia tidak sanggup bergantung pada wanita yang sepuluh tahun lalu selalu masuk kamar tanpa terlebih dahulu mengetuk pintu.
Rumah kembali sepi. Benar kata orang, kehilangan baru benar-benar terasa saat para kerabat kembali ke rumahnya masing-masing. Benar kata orang, kehilangan baru terasa bila sudah tidak bisa menjangkaunya lagi. Saat anak-anaknya pergi itulah Badoi merasakan tidak ada lagi istri sakit yang hanya bisa berbaring tanpa bergerak. Saat istrinya menghembuskan nafas terakhir, ia merasa ini demi keadaan yang lebih baik. Sekarang, setelah dua minggu, ia baru bisa merasakan kehilangan itu.
Ia mulai mencari kesibukan, mulai membereskan rumah. Membakar barang-barang tidak berguna yang ia yakini tidak mengandung kenangan bersama. Barang-barang pribadi istrinya mulai ia kumpulkan. Ada beberapa buku harian. Selama ini sama sekali tidak tertarik membukanya. Bahkan kadang jengkel melihat istrinya duduk di depan meja rias menulis buku harian. Baginya, itu pekerjaan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Sekarang pun ia tidak berniat membacanya. Waktu mau memasukkan salah satu buku harian itu ke koper, selembar foto terjatuh. Foto anak-anak yang masih kecil. Saat mengembalikannya, matanya melirik sekilas sebuah halaman. Sesuatu menahan matanya, membuatnya membaca sekilas:
Kadang aku berharap suamiku mengajak keluar lalu membelikan aku minuman. Bukan sekedar memanggil pelayan untuk memesan minuman. Aku ingin ia melakukannya seperti saat pertama kali kami keluar. Saat itu kami baru duduk beberapa menit ketika ia beranjak dari kursinya, menghilang di antara penonton. Ia kembali dengan dua botol Coca-Cola. Aku menolaknya karena ingat pesan ayah, jangan menerima minuman apapun dari cowok yang baru kukenal. Orang kota begitu jahat, suka mencampur minuman dengan obat perangsang.
Setelah lama pacaran, ia tidak pernah lagi menawari aku minuman yang tidak jelas asal usulnya. Saat ini anak pertama kami, Lali, sudah berumur lima tahun. Aku sudah membuang harapan itu.
Setelah membaca dua paragraf ungkapan hati istrinya, Badoi tidak bisa lagi berhenti. Ia masih ingat kejadian di gelanggang olah raga itu. Hanya saja, baru sekarang tahu mengapa Liana menolak botol yang ia berikan. Ia pikir Liana hanya tidak suka minuman bersoda. Badoi sedih, kalau saja tahu, ia bisa berbangga punya pacar yang begitu bisa menjaga diri.
Di buku yang sama, halaman lain, Liana menulis: "Aku sakit, berharap suamiku membuka kotak obat, merobek bungkusnya lalu memasukan obatnya ke mulutku. Tadi aku berkata, 'Malas minum obat yang pahit itu.' Ia malah menjawab, 'Kalau tidak mau sembuh, ya jangan minum obat.' Sakit yang kualami tidaklah sesakit mendengar tanggapannya. Dulu, waktu masih pacaran, aku tidak mau meminum obat yang ia berikan. Takut ia memberikan obat yang membuatku kecanduan obat bius. Waktu itu aku malah sampai berkata, 'Jangan memberikan aku obat yang sudah kamu buka tanpa kulihat.' Aku rasa ia tersinggung, tetapi aku tidak berani minta maaf. Sekarang, saat kami sudah menikah, aku ingin ia memaksaku meminum obat. Memang aneh dan bodoh, tetapi aku benar-benar ingin ia tahu aku sudah mempercayainya."
Badoi memang tersinggung saat itu. Mereka pacaran dua tahun dan Liana masih tidak mempercayainya. Jadi wajar sakit hati, tetapi sudah melupakannya. Buku harian inilah yang membuatnya kembali teringat. Kalau saja mereka membicarakannya setelah itu, Liana pasti bisa melupakan rasa bersalahnya.
Saat Amel masih dalam kandungan, istrinya menulis: "Aku sedang hamil, mood-ku naik turun. Aku cepat merasa capek, berharap Badoi menanyakan apakah aku baik-baik saja. Berharap pria yang menjadi suamiku ini bertanya, apakah bayi kami baik-baik saja. Aku ingin bercerita, sepertinya kali ini anak kami perempuan. Bayi kami tidak terlalu banyak bergerak. Badoi sama sekali tidak pernah bertanya. Aku menjadi malas membahasnya. Ia memperlakukan seolah-olah karena aku yang mengandung, aku juga yang harus mengurusnya bayi ini."
Badoi ingat, saat itu Lali berumur empat tahun. Istrinya yang sedang hamil tua suka duduk didepan jendela, memandang ke luar, melamun. Ia mengira kehamilan kali ini membuat istrinya lebih suka menyendiri. Ia tidak ingin mengganggunya. Menurutnya, wanita hamil memang suka bertingkah aneh.
Saat si bungsu masuk SMA, istrinya menulis:
Sekarang aku hanya hidup untuk anak-anak. Tidak ada cinta di antara kami. Aku benar-benar meragukannya apakah memang cinta itu ada. Suamiku malah tidak pernah lagi membahas ulang tahun pernikahan kami. Aku juga sudah tidak peduli. Kami bisa tidak berbicara berhari-hari. Kadang terjadi pertengkaran, kami saling diam, aku berharap ia mengucapkan sesuatu yang mencairkan suasana. Hatinya benar-benar sekeras batu. Di depan orang lain, di depan tamu, ia membuat keluarga kami tampak bahagia. Ia bisa mengajakku berbicara banyak hal saat ada tamu. Saat tamu pergi, ia kembali ke sifat aslinya. Anak-anak bahkan tidak pernah tahu saat kami sedang bermasalah, karena di depan mereka, ia bisa mengajakku berbicara atau mengajukan pertanyaan.
Hari ini aku sudah benar-benar tidak tahan. Aku sengaja pulang malam, berharap ia marah waktu melihatku. Betapa menyakitkannya ketika aku melihatnya tiduran di atas sofa sambil menonton televisi.
Liana tidak pernah tahu, ia sangat marah. Ia diam waktu itu karena marah dan cemburu. Berharap Liana mendatanginya, minta maaf, bukannya langsung masuk kamar tanpa sepatah katapun. Ia berharap, istrinya menjelaskan pergi kemana saja. Baru sekarang tahu, istrinya sedang mencari perhatian. Wanita ini tidak pernah tahu, ia berencana membayar orang untuk membuntuti istrinya bila pergi seperti itu lagi.
Di halaman terakhir, istrinya menulis: "Aku sudah tidak tahan. Suatu saat aku mati, aku berharap mati secepatnya. Aku bersyukur bila mati setelah menyelesaikan tanggung jawabku sebagai ibu. Apakah aku berbahagia? Aku tidak tahu. Sebagai ibu, aku merasa bahagia melihat anak-anakku. Merekalah yang membuatku tetap ingin hidup."
Badoi menutup buku harian almarhum istrinya. Menghela nafas. Apakah semua ini salahnya? Rasanya tidak adil. Seharusnya Liana mengungkapkan apa yang ia rasakan bukan pada sebuah buku. Ia merasa, istrinya juga salah karena hanya mengungkapkan apa yang ia rasakan pada sebuah buku. Kalau saja Liana minta perhatian saat hamil, akan ia berikan. Kalau mau dipaksa minum obat, akan ia hancurkan dulu obat itu di atas sendok dengan air. Kalau minta Coca-Cola, akan ia berikan.
Sayang, istrinya hanya bercerita pada sebuah buku.
***
Catatan:
Ini hanya sebuah cerita yang terinspirasi buku harian seorang wanita bernama Jossete Wenz dan sebuah artikel berjudul "Buku Harian Seorang Istri yang Kesepian."
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 7267 reads
Tentu saja Badoi yang salah
Tentu saja Badoi yang salah.
Bukan cuma salah, tapi juga bodoh, terlalu cepat mengambil kesimpulan, terlalu mudah tersinggung, dan tidak percaya pada istrinya sendiri.
Karena itulah Liana yang malang hanya bisa bercerita pada buku.
@ AP, Ending nya tidak pas
Halo AP,
Saya setuju dengan mas Daniel. Saya sangat menikmati tulisan ini..... hingga paragraf terakhir, AP menulis:
Badoi menutup buku harian almarhum istrinya. Menghela nafas. Apakah semua ini salahnya? Rasanya tidak adil. Seharusnya Liana mengungkapkan apa yang ia rasakan bukan pada sebuah buku. Ia merasa, istrinya juga salah karena hanya mengungkapkan apa yang ia rasakan pada sebuah buku. Kalau saja Liana minta perhatian saat hamil, akan ia berikan. Kalau mau dipaksa minum obat, akan ia hancurkan dulu obat itu di atas sendok dengan air. Kalau minta Coca-Cola, akan ia berikan.
DETA:
Maaf nih AP, saya harus jujur, ending yang sangat TIDAK PAS dan sangat disayangkan. Setelah membaca buku harian isterinya tidak tampak bahwa dia menyesal atas kebodohannya telah mengabaikan isterinya selama ini! Menurut saya Badoi benar-benar laki2 yang MENYEBALKAN, bila masih bisa disebut LAKI-LAKI ? (Saya menulis ini sambil mengepalkan tangan lho !!! Huggh..... )
Saya lebih suka bila Badoi benar2 MENYESALI kebodohannya selama ini!! Supaya para pembaca yang juga punya gejala KEBODOHAN yang sama tidak mengulangi kebodohan si Badoi pada isteri2 mereka !
Ini opini Deta (juga mas Daniel), bila seperti yang saya usulkan rasanya akan lebih kuat dan memberi inspirasi !
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Diam yang menghancurkan
Cerita yang menarik. Berbeda dengan Daniel dan Debu Tanah, saya berpendapat endingnya sudah tepat. Badoi tak perlu menyesal, dan tak wajar menyesal hanya karena membaca buku harian almarhum isterinya. Jika ia memang tanggap terhadap perasaan isterinya semasa hidupnya, Badoi - sebagai lelaki dan suami - pastilah bisa "membaca" wajah dan gelagat perilaku isterinya. Tapi, dia tidak tanggap. Maka, tak perlu berharap bahwa dia akan tersentuh dengan tulisan isterinya; reaksinya paling wajar memanglah "bukan aku saja yang salah".
Kami bisa tidak berbicara berhari-hari. Kadang terjadi pertengkaran, kami saling diam, aku (Liana) berharap ia (Badoi) mengucapkan sesuatu yang mencairkan suasana.
Kalau saja mereka membicarakannya setelah itu, Liana pasti bisa melupakan rasa bersalahnya.
Ia (Badoi) diam waktu itu karena marah dan cemburu. Berharap Liana mendatanginya, minta maaf, bukannya langsung masuk kamar tanpa sepatah katapun.
Cerita ini sederhana dan biarlah tetap sederhana, tidak perlu didramatisasi dengan penyesalan Badoi. Dalam pandangan saya, ini cerita yang sangat tipikal dalam keluarga "baik-baik" dimana suami isteri menyimpan kemarahan dan kekecewaan terhadap satu sama lainnya dan berharap sang pasangan memiliki ilmu "telepati" untuk mengerti apa yang diinginkan dirinya.
Tak ada gunanya mencari yang salah : Badoi atau Liana. Mereka hanyalah orang-orang naif yang berrahasia dan menjaga jarak dengan belahan jiwanya.
setuju dengan bygrace
ceritanya sederhana tapi cukup mengena. terutama yg bagian obat itu, saya suka. kalo ikut deta, saya takutnya malah ceritanya terkesan menggurui.
btw, AP, ga coba sekali-sekali kirim ke tabloid nova gt?
Don't Swallow the Press
@ bygrace & y-control, menjadi laki-laki sejati
Halo kawan-kawan,
Sepertinya keluarga yang kata si bygrace" baik-baik" itu, umumnya waktu pacaran si laki-laki romantis-nya bukan main (seperti kisah AP), namun setelah menikah KETUS-nya bukan main ?? Laki-laki macam apa itu !!!!
Sebenernya sih Deta mau aza bikin kisah di atas, tapi nyadar pasti tidak akan enak dibaca seperti tulisan AP, karena emang si Deta ini tidak bakat menulis !!
Note: Peduli setan, mau dibilang menggurui! Hehehe...
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Lelaki sejati ?
Laki-laki macam apa itu !!!!
(Uih... banyak amat tanda serunya, Mas Deta, dimerahin lagi.)
Menurut saya, nih, lelaki dalam cerita AP ini lelaki "rata-rata" yang banyak ditemui di muka bumi : waktu pacaran romantis, setelah menikah praktis pragmatis (AP nggak bilang ketus). Mereka bukanlah orang jahat, tetapi memang agak bodoh dalam memahami kebutuhan pasangan hidupnya ("karena wanita ingin dimengerti..." kata ADA Band).
Nah, kalau saja memang lelaki "rata-rata" seperti itu, daripada berharap sang suami bisa "membaca pikiran isteri", bukankah lebih baik seorang isteri berupaya menolong suami mengatasi kebodohannya dengan memberi "clue" apa yang diinginkannya ? (Seorang isteri yang memasang reminder di HP suaminya yang pelupa untuk mengingatkan ulangtahun sang istri merupakan contoh yang indah, seperti diceritakan di sini).
Memimpikan lelaki sejati (?) yang selalu tahu dan selalu mampu untuk memenuhi keinginan isteri adalah resep jitu untuk kegagalan rumah tangga. Perempuan bukanlah makhluk yang selalu lemah, pria bukanlah makhluk yang selalu kuat. Ketika Tuhan menciptakan perempuan sebagai penolong yang sepadan bagi laki-laki, tentunya itu juga termasuk menolong pria ketika makhluk 'kuat' ini terjebak ke dalam kebodohan.
But don't get me wrong, saya tetap berpendapat bahwa pria harus menjadi kepala rumah-tangga. Ketika timbul ketidakharmonisan dalam hubungan suami isteri, maka prialah yang seharusnya beinisiatif dan mengambil kendali untuk mencari-tahu duduk perkaranya, termasuk untuk mencari tahu keinginan dan perasaan sang isteri tercinta (bukan menyewa detektif swasta untuk memata-matai isteri seperti cerita AP).
Pendek kata, mbok ya saling ngomong gitu....
Btw, lelaki sejati itu seperti apa, ya ?
@ bygrace, laki-laki
Halo bygrace,
Dalam artikelnya AP menulis:
Di halaman terakhir, istrinya menulis: "Aku sudah tidak tahan. Suatu saat aku mati, aku berharap mati secepatnya. Aku bersyukur bila mati setelah menyelesaikan tanggung jawabku sebagai ibu. Apakah aku berbahagia? Aku tidak tahu. Sebagai ibu, aku merasa bahagia melihat anak-anakku. Merekalah yang membuatku tetap ingin hidup."
DETA:
Saya tidak tahu apakah tulisan AP di atas based on true story atau tidak.
Kisah si Badoi romantis waktu pacaran adalah FAKTA, umum terjadi pada keluarga biasa, bagaimana setelah menikah? Yang umum adalah "KETUS = DATAR = TIDAK BERPERASAAN", tidak seperti waktu pacaran lagi.
Bila ada isteri yang SUDAH BOSAN hidup, maka suaminya bukanlah laki-laki (sejati). Bagaimana manurut kamu ???
Kisah cik Joli tidak sama dengan kisah ini. Cik Joli gak pernah bilang dia bosan hidup kan? Itu artinya suaminya masih bisa dikategorikan laki-laki (sejati).
Ngemeng-ngemeng laki-laki sejati apa sih?
Bentuk tubuh dan kekuatan laki-laki jelas menunjukkan siapa yang harus berperan. Kata kunci sudah kamu sebutkan di atas "INISIATOR". Kenapa waktu pacaran bisa inisiatif "romantis", tetapi setelah menikah tidak?
Laki-laki itu harus KONSISTEN !
Laki-laki itu harus MENEPATI JANJI ! (dulu waktu nikah janji apa hayo..)
Laki-laki sebagai yang kuat lah yang harus inisiatif MENGASIHI isterinya, bukan sebaliknya. (Ajaran Alkitab juga bilang begitu!).
Mungkin ada yang membela diri bahwa tingkah laku Badoi adalah budaya masyarakat mereka?
Justru itu yang hrs diubah! Saya tetap berpendapat Badoi itu bukan LAKI-LAKI (sejati) !!!!!!!
Note: tanda serunya 7 biji lho, dibold dan dimerahin.
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
@ Debu tanah : mari ciptakan lebih banyak lelaki sejati
Badoi bukan lelaki dan suami yang sempurna : OK! Setuju! (Jangan ditambahi lagi tanda serunya,ya...).
Laki-laki yang seharusnya berinisiatif : benar sekali. Pengalaman saya ketika mencoba menolong beberapa rumah tangga yang sedang bermasalah membuat saya sampai pada kesimpulan : sebagian besar (kalau tidak semua) rumah tangga itu akan bisa melewati masa sulit jika saja sang suami menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangganya dengan baik.
Sayangnya, kebanyakan banyak lelaki yang menikah sekarang ini tidak menyiapkan diri menjadi pemimpin keluarganya. Sementara itu, harapan sang isteri akan suami yang "bisa mengerti" membuat kondisi semakin runyam, karena di sisi lain banyak suami masa kini memang "agak bodoh" dalam relationship suami-isteri (itu yang saya temui dalam beberapa kasus). Memang kadang-kadang saya juga merasa muak melihat lelaki-lelaki yang "berani nikah" tapi "letoi" untuk memperjuangkan kelangsungan pernikahan dan kebahagian kekasih hatinya; dan kasihan melihat perempuan yang menikah dengan lelaki demikian, tapi mau apa lagi... stok "lelaki sejati" semakin tipis. Sebagian besar perempuan sekarang terpaksa harus puas menikah dengan "lelaki rata-rata" seperti Badoi. (Mungkin menarik juga jika Deta bisa menulis blog tentang bagaimana cara menciptakan lebih banyak "lelaki sejati")
Nah, bukannya mau membela para Badoi (he..he..kenal juga tidak, lagian itu 'kan cuma karakter rekaan AP yang buat cerita, ya). Yang saya maksudkan adalah : perempuan tak usah banyak berharap mendapatkan lelaki masa kini yang "mengasihi isterinya seperti Kristus mengasihi jemaat." Perempuan juga berperan banyak dalam kebahagiaan rumah tangganya - jika mau rumah-tangganya langgeng dan bahagia, meskipun tidak seindah dan seromantis yang dimimpikannya dalam rumah tangga ala cerita peri dan novel Barbara Cartland. Salah satu caranya adalah : bersikaplah terbuka, buatlah ekspektasi menjadi eksplisit, ojo mendem jero; kasihanilah lelaki bodoh yang terlanjur kau terima jadi suamimu, dan bantulah dia men-decode sinyal-sinyal yang engkau pancarkan dan tak bisa dipahaminya. He...he...kok jadi nasihat. Wis,ah...
om AP
aku suka ceritanya, gpp om AP gini udah pas kok. Masalah deta and yang lain2 protes gpp lah.. namanya juga penonton hehehehhee..
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
apa itu sejati?
badoi bukan lelaki sejati... hmm... apa liana adalah wanita sejati?
kadang2 pengen tau sih, kenapa laki2 selalu sibuk mempertanyakan apa dirinya sejati atau tidak... sementara wanita tidak begitu. mereka tidak mempertanyakan seperti apa wanita sejati. yang mereka lakukan adalah ikut sibuk menggunjingkan seperti apa lelaki sejati itu.
:-D
@nis : lelaki sejati vs wanita sejati
... sementara wanita tidak begitu. mereka tidak mempertanyakan seperti apa wanita sejati. yang mereka lakukan adalah ikut sibuk menggunjingkan seperti apa lelaki sejati itu.
He...he... ada-ada saja, Om Dennis ini.
Sebenarnya salah satu definisi lelaki sejati sudah saya temukan di iklan obat kuat, tetapi takut membahasnya dengan Debu Tanah karena beliau sedang gemar menggunakan banyak tanda seru dan huruf bold merah untuk Badoi. Nah, yang biasa dipertanyakan lelaki tentang kesejatiannya 'kan yang seperti di iklan itu, bukan seperti yang disebut oleh Deta.
@deta
hahaha tunggu deta dulu ah :-D
@all Sejati..??
Sejati
Itu yang kau ucapkan
Bila janji kugenggam
Bawah pohon kemboja
Yang sekecil kita
LIRIK wings ... enak-enak..
Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.
@all:
Terima kasih atas tanggapan-tanggapannya.
Tentang cerita ini, apakah based on true story atau tidak? Saya suka membaca buku-buku atau majalah tua, kali ini Intisari tahun 1977.
Ada sebuah artikel di sana. Kisah nyata. Seorang suami membaca buku harian istrinya yang sudah meninggal.
Selama hidupnya, si istri selalu berkata, "Aku ingin meninggal di usia 54 tahun," si suami tidak menanggapinya.
Tepat di usia tersebut, istrinya meninggal karena kanker. Betapa sang suami lebih kaget lagi saat mengetahui--melalui buku harian istrinya--tiga puluh tujuh tahun pernikahan itu merupakan sebuah "siksaan" bagi sang istri.
Cerita tentang minumam botol, obat, tidak ada dalam buku harian. Ending Badoi yang tidak menyesal, itu juga hanya "sentuhan pribadi". Karena secara pribadi, saya setuju dengan bygrace: ...bukankah lebih baik seorang isteri berupaya menolong suami mengatasi kebodohannya dengan memberi "clue" apa yang diinginkannya?"
Dalam cerita aslinya, sang suami membuktikan penyesalannya dengan membukukan buku harian tersebut. Berharap para Badoi lain bisa belajar dari kesalahannya.
pertanyaannya:
apa yang ANDA pelajari?
[jadi inget seseorang ]
Sedih .. hiks .. hiks ..
Terus terang sejak pertama di pajang blog ini saya malas membacanya, biasanya tulisan AP panjang-panjang, jadi terkadang hanya mengikuti komentar-komentar. Tetapi, komentar anak patirsa yang menggambarkan inti cerita maupun versi cerita asli cerita, membuat hati tak tahan pengen membaca blognya.
Sedih .. hiks ..hiks .. wanita yang malang .. pria yang malang juga .. Thx buat Badoi yang sudah share (di versi aslinya) dan anak patirsa yang sudah menuliskannya. Kisah yang cukup menyentuh.
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Saya tunggu cerpennya
Karena membaca cerpen-cerpennya, maka setiap kali saya membuka rubrik cerpen di Koran Tempo atau kompas, saya selalu berharap nama anda (maksud saya nama samaran anakpatirsa) ada di rubrik cerpennya tersebut.