Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Borneo 1843
Lukisan sebuah kampung dengan pohon pisang di pinggir jalan dan sebuah gereja bertiang tinggi tepat di tengahnya. Bentuk menaranya menandakan gereja, selain judul yang mengatakannya, Suasana Kampung Melayu dan Sebuah Gereja. Di belakangnya, di kejauhan, di antara pepohonan, tampak beberapa rumah panggung. Kampung yang begitu sepi. Kecuali satu dua orang sedang membersihkan pekarangan, seorang anak bermain tanpa mengenakan apa-apa dan seorang ibu menuntun anaknya yang bertelanjang bulat.
Tujuh bersaudara bakalan tertawa bila mengetahui aku menempuh puluhan kilometer hanya untuk sebuah pameran lukisan. Bagi mereka jarak seperti itu terlalu jauh untuk sok nyeni. Mereka tidak mengenal Prameks, benda lonjong panjang yang menghubungkan Solo-Jogja hanya dalam satu jam. Selain itu, mereka mengenalku, saudara lelaki yang menertawai lukisan ekspresionis Affandi. Enam puluh lima kilometer untuk sebuah lukisan? Artinya ada yang sedang kesurupan; kami bukan keturunan seniman.
Tetapi bila mengetahui aku sedang memandangi lukisan gereja di tengah kampung yang sepi, dengan pepohonan di sekitarnya, mereka bakalan iri. Bila mengetahui tema pameran ini "Borneo 1843", mereka pasti patungan mengirimiku pulsa. Berharap lukisan ini segera muncul di ponsel mereka. Bila mengetahui pameran ini memamerkan gambar-gambar yang ada di buku tua yang pernah ada di laci kakek, mereka bakalan patungan memborong tiket murah tanpa jaminan mendarat. Tujuh untuk tujuh bersaudara, tiga untuk suami, satu untuk istri, lima untuk anak, dan satu untuk ibu.
Untunglah mereka baru bisa membaca artikel Sisa Kemolekan Borneo itu seminggu lagi. Itu pun kalau membeli koran nasional basi yang harganya dua kali lipat. Aku beruntung, kemarin, setelah melihat-lihat jadwal acara televisi, menemukan sebuah artikel tentang pameran lukisan. Pameran keindahan alam dan budaya pulau kami ketika hutan masih bernama rimba belantara, ketika anak-anak masih bisa mandi telanjang di sungai yang jernih.
Tujuh bersaudara pasti ingat lukisan sebuah gubuk di pinggir sungai. Gubuk beratap kajang, berdinding kulit kayu. Lantainya lebih tinggi dari lantai gereja dalam lukisan di depanku, sebelas anak tangga. Tangga yang mirip semua tangga gubuk di ladang belakang kampung atau di seberang sungai, dari batang pohon yang ditakik. Siapa pun pelukisnya, ia pasti tahu orang Dayak tidak pernah membuat tangga yang jumlah anak tangganya genap. Pintunya terbuka, penghuninya pasti ada di dalam, orang Dayak tidak pernah membiarkan pintu tertutup selama ia ada di dalam dan hari belum senja. Topi besar di samping pintu makin menunjukkan keberadaan pemiliknya, orang Dayak takut sinar matahari, tidak akan pergi ke ladang tanpa penutup kepala.
Gubuk itu ada di sampul sebuah buku tua. Buku yang bercerita tentang perjalanan seorang peneliti Jerman yang bekerja untuk Belanda ketika mengarungi dua sungai besar kami, sungai Barito dan sungai Kahayan. Ada banyak gambar berwarna dalam buku itu. Gambar sekelompok pria mengitari patung di bawah penerangan api unggun, gambar dukun menari untuk menyembuhkan wanita sakit, gambar orang mendulang emas di sungai dekat sebuah kampung pinggir hutan, dan gambar orang berperahu berpapasan dengan rakit yang ada rumah kecilnya. Juga ada gambar dua ekor babi berkeliaran di halaman sebuah rumah besar serta gambar upacara yang tidak boleh kami lihat, orang membakar mayat.
Aku baru tahu orang yang melukis gambar itu adalah seorang seniman Belanda bernama C. W. Mieling. Ia bukan pelukis tetapi pegrafis, gambar-gambar itu bukan lukisan tetapi grafis. Pameran ini bukan pameran lukisan tetapi pameran grafis. Karya Mieling adalah grafis berupa litografi atau chromolithograf.
Aku yakin tujuh bersaudara juga tidak tahu beda grafis dengan lukisan, juga tidak tahu apa arti litografi dan chromolithograf. Bagiku itu tetap lukisan berwarna, dan aku yakin tujuh bersaudara itu juga merindukannya. Sudah lama kami tidak melihatnya, buku tua itu sudah tidak ada sejak kedatangan dua turis Belanda. Mereka masuk rumah, memotret bagian rumah yang ingin mereka foto. Ketika masuk kamar kakek, mereka memotret laci tua di samping ranjang. Ayah yang memang suka pamer barang orang membuka lacinya, tanpa minta ijin kakek. Ia mengeluarkan buku bersampul gubuk di pinggir sungai. Kakek yang hatinya sedang senang karena bisa memamerkan bahasa Belandanya sama sekali tidak keberatan. Kamilah yang menjadi korban, ia menghadiahi kedua tamunya buku berjudul "Borneo Beschruving Van Het Stroomgebied Van Den Barito Volume II", catatan perjalanan Dr. C.A.L.M. Scwhaner satu setengah abad lalu. Orang yang namanya diabadikan sebagai nama pegunungan yang memisahkan provinsi kami dengan Kalimantan Barat.
Di pameran grafis ini pula aku mengetahui Schwaner pernah singgah di kampungku. Ia salah menuliskan nama kampungku. Bukan salahnya, ia hanya menulis nama yang ia dengar. Kampung lain juga ada yang salah tulis, Kampung Tewang Pajangan menjadi Kampung Tumbang Menjangan, Kampung Petak Bahandang menjadi Kampung Petak Pahantang. Nama kampungku meleset jauh, Kampung Dewa. Bunyinya memang hampir sama, hanya beda huruf awal dan kurang satu konsonan yang tidak terlalu penting di belakang.
Schawaner menceritakan pada dunia tentang kampung kami. Kampung yang menurutnya begitu subur. Di kampung inilah ia mengenal seorang pemimpin wanita. Melukiskannya sebagai wanita dengan mandau di tangan serta kemenangan yang selalu ia capai. Walaupun cukup lanjut umur, wanita ini begitu ditakuti dan disegani. Seorang Kahayan pemberani dan berpendirian kokoh bernama Nyai Balau.
Nama Nyai Balau tidak asing bagi kami. Sandung-nya di bawah pohon pinang, tidak jauh dari rumah. Suatu malam, hujan deras membuat dinding bawah sandung tua itu lepas. Air hujan yang masuk membuat gelang dan mangkok menjadi kuning mengkilap di antara tulang belulang kekuningan yang sudah tidak berbentuk. Nyai Balau begitu ditakuti sehingga tidak seorang pun berani menyentuh emasnya. Tante yang sorenya sampai di rumah mengajak aku dan adik laki-lakiku memeriksa kerusakan itu. Ia mengutuki orang yang menjadikan tiang pengikat kerbau Tiwah sebagai sasaran main katapel. Kepala patung bolong-bolong dan kerikil berserakan di sekitarnya. Tante berkata, betapa dungunya orang tua yang tidak mengajari anaknya arti sandung; betapa kurang ajarnya si anak, berani menembak sapundu sandung wanita yang pernah sangat ditakuti di sepanjang sungai Kahayan.
"Anak mereka tidak lama lagi akan mati bersimbah darah," kata Tante.
Aku hanya diam, Dein hanya melirikku. Selama beberapa hari kami selalu bersama. Ibu, ayah dan kakek sampai heran kami berdua begitu rukun. Mereka tidak pernah tahu, kemana-mana kami selalu bersama supaya bisa saling menjaga, supaya tidak mati bersimbah darah.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5149 reads
Anak Borneo
Cara bertutur yang luar biasa sangat unik.
Klik Ini kalah.
Maju terus anak borneo.