“Aku setuju kisah tentang ‘Anak Yang Hilang’ menjelaskan bahwa selama manusia masih bernafas pintu taubat tidak pernah tertutup,” kata Lestari ketika kami makan bareng di kantin. “Tetapi kisah yang memeras air mata ini, seperti juga cerita-cerita sedih sinetron, punya cacat dari penalaran akal sehat.”
Lestari adalah teman sekantorku dan ia OKB – orang Kristen baru – akibat perkawinan. Mengetahui aku orang Kristen sejak lahir, ia minta diajari segala sesuatu tentang kekristenan dengan syarat aku tidak boleh marah bila ia mengajukan pertanyaan yang berbau “ah, apa iya sih?” Sebaliknya aku juga mengajukan syarat. Yaitu, jangan karena aku tidak bisa menjawab pertanyaannya ia menganggap agama Kristen adalah agama orang bodoh. Aku menjelaskan bahwa makin dalam aku mempelajari Alkitab makin banyak aku menemukan hal-hal yang tidak bisa diterima oleh otakku.
Kepada Lestari aku meminjamkan buku-buku rohaniku. Ketika ia mengetahui aku juga menulis artikel-artikel rohani ringan, ia minta salinannya. Terakhir aku memberinya kopi artikel “Tewas terbenam dalam makanan babi” yang dilandasi perumpamaan ‘Anak Yang Hilang’.
“Sering kali sebuah kisah dalam Alkitab tidak bisa berdiri sendiri. Ia terkait dengan kisah-kisah sebelum atau sesudahnya. Perumpamaan Anak Yang Hilang juga berkaitan dengan perumpamaan-perumpamaan sebelumnya. Mbak sudah membaca cerita Domba Yang Hilang dan Dirham Yang Hilang?”
“Sudah. Karena itu aku bingung,” jawabnya sambil memasukkan potongan siomay terakhir ke mulutnya.
“Seorang gembala tentu tidak meninggalkan begitu saja 99 dombanya ketika ia mencari 1 dombanya yang hilang. Ia membuatkan pagar dahulu untuk domba yang ditinggal agar tidak ke mana-mana atau dimangsa binatang buas. Dirham yang hilang juga dengan tekun dicari karena tanpa 1 dirham itu, 9 dirham yang tersisa tidak ada artinya. Sepuluh dirham itu kemungkinan besar adalah hiasan kepala seorang perempuan yang menunjukkan bahwa ia sudah menikah. Seperti cincin kawin jaman sekarang. Bersama dengan perumpamaan ‘Anak Yang Hilang’ jelaslah Yesus bermaksud menegaskan betapa berharganya manusia bagi Allah.”
Aku menghentikan ceramahku karena melihat Lestari menahan senyum. “Ada yang lucu dengan keteranganku?” tanyaku.
“Sering kali pekerjaan tanpa disadari membentuk karakter seseorang,” jawabnya. “Kamu ini seperti SPG parfum di pintu mol. Begitu aku masuk kamu semprotkan parfum ke bajuku dan langsung menceritakan kehebatan parfum itu tanpa bertanya aku ke mol mau beli apa. Padahal aku cuma mau beli terasi. Dasar, orang marketing.”
Kami tertawa bersama. Aku menepuk-nepuk dahiku, “Sori, sori. Aku belum bertanya apa yang Mbak Tari bingungkan.”
“Begini,” jawabnya sambil mengeluarkan block note. “Dalam perumpamaan Domba Yang Hilang, yang hilang one of one hundred,” katanya sambil menulis angka 99, lalu di samping kanannya ia menulis angka 1. Di samping kanan angka 1 ia menggambar orang.
“Satu dari seratus adalah satu prosen. Pemiliknya mencari 1% hartanya yang hilang,” katanya sambil menggambar anak panah dari gambar orang menuju angka 1. “Jangan lupa, aku orang finance lho.”
“Dalam perumpamaan Dirham Yang Hilang, yang hilang one of ten,” katanya sambil menggambar angka 9, 1 dan orang. Lalu ia menarik anak panah dari orang ke angka 1. “Sepuluh prosen hilang, pemiliknya mencari dengan tekun.”
Kemudian ia menggambar angka 1, 1, orang dan memberikan tanda tanya di atas kepala orang itu. “Mengapa ketika yang hilang 50% pemiliknya tidak mencarinya? Ia hanya menunggu. Aneh ‘kan? Padahal di pasal sebelumnya, Yesus sendiri berkata ‘Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?’ (Lukas 14:5).”
“Apa Tuhan sudah kecapaian setelah mencari domba yang hilang dan dirham yang hilang? Apakah Dia . . . ,” ia mengetuk-ngetuk meja lalu berbisik, “amit-amit, Tuhan yang malas?”
Lestari melirik arlojinya, lalu merobek kertas itu dari block note dan memberikannya kepadaku yang tidak tahu bagaimana menjelaskan keanehan itu. “Jam istirahat sudah habis,” katanya. “Sori ya, aku orang finance sehingga melihat 3 perumpamaan itu dari kacamata the property value.”
Kembali ke kantor aku meletakkan kertas itu di atas meja kerjaku. Sambil bekerja antara sebentar aku melirik ilustrasi di kertas itu. Baru sekali ini aku harus memikirkan perumpamaan dengan memegang kalkulator. Yang dikatakan Lestari betul. Lalu apakah Yesus salah? Yang jadi pertanyaan di otakku adalah apakah Yesus ketika membuat perumpamaan itu tidak berpikir bahwa kelak ada orang yang mengkalkulasi angka-angka yang dipakai-Nya?
Sampai jam kantor selesai aku belum mendapatkan jawabannya. Lestari melintasi meja kerjaku. “Ing, pekerjaanmu belum selesai? Aku duluan ya.”
“Sebentar Mbak Tari,” seruku sehingga ia berbalik dan mendekati mejaku. Aku mengeluarkan sebuah buku dari laci dan menyodorkan kepadanya. “Aku bawa buku ‘Mengungkapkan misteri-misteri dalam Alkitab’. Mau kamu pinjam untuk tambah-tambah pengetahuan?”
Ia membuka buku itu dan jarinya menelusuri halaman daftar isi. Wajahnya sumringah. “Nah, ini dia yang aku bingungkan selama ini. Ini juga. Aku pinjam ya. Aduh, terima kasih sekali Mbak Inge.”
“Emmmbak? Mbak Tari ini gimana seh. Masak lupa umurku lebih muda daripada Mbak?”
“Kamu tahu, dulu sebelum menikah suamiku pernah berjanji akan membimbingku belajar mengenai kekristenan. Sekarang ia terheran-heran melihat pengetahuan Alkitabku jauh melebihi dia. Dia tanya siapa pembimbing rohaniku. Nah, apa salahnya mulai sekarang aku memanggil saudara seimanku ini dengan kata ‘Embak’? Boleh ‘kan aku angkat kamu jadi kakak rohaniku.”
“Jadi pembimbing rohani boleh-boleh saja. Tapi jangan panggil embak dong. Jatuh tiarap nanti index point-ku di bursa jodoh.”
Dia tertawa renyah. Tak sengaja mataku melihat kertas ilustrasinya. Kata “kakak rohani” meletikkan sekejap cahaya dalam benakku. Bergegas kubuka laci mejaku dan kuambil Alkitabku. Jariku menelusuri Lukas 15:11-20. “Eureka!” teriakku.
Aku mengambil kertasnya. Pada gambar ketiga dengan balpoin aku menarik tanda panah dari angka 1 di sebelah kiri ke angka 1 di sebelah kanan. Aku melirik ke atas. Lestari memperhatikan apa yang aku lakukan.
“Di dalam Alkitab tidak ditulis Sang Bapa menunggu. Hatinya berbelas kasihan setelah ia melihat si anak bungsu datang menghampirinya. Dalam perumpamaan ini Sang Pemilik diam tidak pergi mencari miliknya yang hilang karena ia berharap anak sulungnya yang pergi mencari adiknya, saudaranya.”
“Dalam perumpamaan pertama, si pemilik pergi mencari karena 99 domba tidak bisa mencari 1 domba yang hilang. Dalam perumpamaan kedua, si pemilik mencari karena tidak mungkin 9 dirham mencari 1 dirham yang hilang. Dalam perumpamaan ketiga, si pemilik diam karena ia tahu 1 anaknya yang masih tinggal bersamanya bisa mencari adiknya yang terhilang.”
“Yehuda yang bukan anak sulung ketika adik bungsunya – Benyamin – ditahan oleh penguasa Mesir berkata, ‘Oleh sebab itu, baiklah hambamu ini tinggal menjadi budak tuanku menggantikan anak itu, dan biarlah anak itu pulang bersama-sama dengan saudara-saudaranya’ (Kejadian 44:33). Tetapi apakah yang telah dilakukan oleh anak-anak sulung yang masih diam di Bait Suci pada saat Yesus menceritakan perumpamaan ini?”
“Mereka berpuas diri atas kesucian dirinya tanpa mau take care terhadap saudara-saudara sebangsanya yang tidak suci,” kataku sambil menyodorkan Alkitabku. “Kemunafikan mereka Yesus ungkapkan di pasal sebelumnya, pasal ke-14. Dan pasal itu berakhir dengan kalimat ‘Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja’ (Lukas 14-34, 35a).”
Lestari mengerutkan dahinya. Tetapi hanya sebentar dan sambil tersenyum ia berkata, “Buat apa punya saudara seiman bila ia tidak mau jadi kakak rohani untuk menuntun adiknya yang tidak tahu jalan?”
“Karena ia ingin menguasai seluruh sisa kekayaan bapaknya,” jawabku. “Ketika adiknya pergi, harta bapaknya tinggal 66%. Si sulung kemudian bekerja keras untuk menambah harta bapaknya. Celakanya kemudian si bungsu balik lagi tanpa modal dan bapaknya menerimanya kembali sebagai anaknya. Ia bagai share holder tanpa modal. Kalau bapaknya meninggal, maka sisa harta bapaknya yang 66% ditambah yang dihasilkan oleh si sulung selama si bungsu absen, akan dibagikan 22% kepada adiknya. Berarti si bungsu seumur hidupnya menerima lebih dari 55% dan si sulung yang bekerja seumur hidupnya tanpa pernah berwisata ke luar negeri hanya menerima kurang dari 45%. Ini tafsiran melalui kacamata finansial, lho”
“Jadi, perumpamaan ini bagai pedang bermata dua?” tanyanya. “Satu sisi membangkitkan pengharapan para anak bungsu yang tersingkir, dan sisi lainnya membongkar kejahatan para anak sulung yang ingin menikmati sendiri rahmat Allah.”
”Semoga aku tidak seperti anak sulung itu.”
“O tidak. Kamu adalah Embak sulungku yang baik,” katanya sambil melangkah pergi.
“Emmmmbak lagi.”
Aku mendengar tawa renyahnya. Tanpa menoleh ia melambaikan tangannya. ***
Catatan :
Ulangan 21:17 Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan."
Menarik
Just as i am,
kurnia
Just as i am,
kurnia
Anak sulung dalam diri saya
Trims Kurnia, telah mengingatkan buku yang bagus untuk saya.
Dirham, Domba dan Anak Bungsu
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Pendekar Sapta Tunggal – Seven in One.
Selamat berjuang membimbing “pendekar sapta tunggal”.
Begitu saja kok merot, eh repot.
Tujuh In Satu
Teman anda memang agak menyebalkan kok. Baginya orang marketing adalah tukang cuap seperti SPG sedangkan yang benar-benar bisa menghitung hanya orang finance. Coba anda perhatikan, setelah menghitung, dengan bangga dia mengingatkan bahwa dirinya adalah orang finance? Menurut saya, teman anda itu akan berprestasi jauh lebih hebat sebagai marketing dibandingkan finance.
Memberikan hadiah itu kepada anda sama dengan merendahkan lembaga atau orang yang menghadiahkannya kepada saya? Ha ha ha ha … Saya menyebutnya memberi dengan rasa sakit. Merasa sakit karena yang diberikan itu sangat berharga bagi kita, namun kita memberikannya dengan tulus. Itulah yagn saya maksudkan.
Seven in one? Sudah berhari-hari saya memikirkannya namun tidak juga mengerti artinya. Kok jadi sedikit merotnya?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
inspiring
@Dennis, terima kasih
Ajaran Yesus kontroversial?
andryhartandryhart@Andrihart, jika domba yang hilang
Kehilangan
setuju dengan saudara Inge
DAN...
kita sekarang yang hidup
di zaman M O D E R N ini
seharusnya
secara sadar,
M E N C E G A H supaya
tidak ada "anak yg hilang"
atau at least...
meminimalisasi
jumlah "anak yg hilang"
dengan menjadi
T E L A D A N
dalam praktek
kehidupan sehari-hari
Kelingan yen kelangan
Standar Ganda
Dear Inge, Ga ngira kalau Inge kelangan aku. Hehe.. Saya sedang sibuk berat. Banyak hal penting yang harus lebih diprioritaskan. Jadi tidak serajin dulu dolan ke pasar Klewer ini. Saya (seperti Dennis) salah satu fan mbak Inge. Eh, koq emmmbaaak lagi yaa? Kakak rohani maksud saya. Saya selalu donlot tulisan kak Inge, trus masukkan PDA. 'Tar klo dah sempet terus dibaca. Pagi tadi baru baca tulisan Inge di atas. Saya jadi teringat pada sebuah tulisan (tapi lupa baca di mana) tentang perumpamaan "Domba yang Hilang". Tepatnya lupa juga, tapi kira-kira begini :
Suatu hari sekumpulan ahli membahas tentang perumpamaan "Domba yang Hilang". Ahli Ekonomi : "Wah, secara ekonomi itu ga cucuk. Biaya dan resiko nyari yang seekor itu bisa lebih mahal. Mending beli seekor lagi di pasar hewan kalau kepengen dombanya tetep genep 100 ekor."
Ahli psikologi : "Biarin aja yang seekor itu merasakan akibat kenakalannya. Biar kapok. Biar belajar supaya lain kali nurut sama gembalanya, ga jalan mau-maunya sendiri ‘gitu."
Ahli hukum : "Iya, setuju. Kecelakaan itu pasti didahului oleh pelanggaran. Dia sudah dapat hukumannya sendiri dari akibat ketidak-taatannya pada sang gembala. Ga usah dicari, supaya yang 99 ekor lainnya takut berbuat pelanggaran yang sama."
Ahli sosiologi : "Kita memang harus mengutamakan mayoritas. Bagaimana kalau yang 99 ekor protes terus membuat huru-hara, demonstrasi karena ga terima si gembala koq mengutamakan yang seekor itu, dan membiarkan yang 99 ekor? 'Kan situasi bisa tambah runyam?"
Terus salah seorang pendengar yang bukan ahli tanya nih : “Bagaimana kalau seekor domba yang tersesat itu Anda sendiri? Sebaiknya dicari ga?”
Lah, para ahli itu langsung teriak :”Dicari dong!” “Ntar ga cucuk? Ntar memicu huru-hara atau demo? Kan biar dapat pelajaran dulu? Besok-besok aja nyarinya ya? Biar kapok!” Para ahli itu teriak lagi :”Jangan! Cari sekarang! Keburu kehausan, kelaparan, kedinginan, dan resiko diterkam binatang buas kalau nyarinya besok-besok!”
Begitu kan kita-kita ini? Punya standar ganda. Untuk orang lain beda dengan untuk diri sendiri.
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
@Puput, komen yang menyemangati
Terima kasih telah muncul ke permukaan. Saya jadi bersemangat kembali untuk menulis. GBU.
Salah satu yang pandai menulis
Ibu Inge,
Saya setuju dengan tulisan Pak Hai-hai bahwa tulisan Ibu bagus, tapi saya tidak setuju dengannya bahwa tulisan Ibu lebih baik dari tulisannya.
Menurut saya, tulisan Ibu punya gaya tersendiri dan sangat indah, namun perlu dibaca berulang-ulang untuk bisa menangkap maksudnya, paling tidak bagi saya pribadi.
Tapi Ibu Inge, saya punya pertanyaan.
Apakah benar dalam kisah anak yang hilang, Bapak itu tidak mau mencari anaknya yang bungsu karena Ia berharap anak sulungnya yang mencarinya?
Alkitab sering membuatku banyak bertanya dan sering tidak mendapatkan jawaban yang pas
Alkitab sering membuatku banyak bertanya dan sering tidak mendapatkan jawaban yang pas
@Guang Ming, Apakah benar?
Guang Ming bertanya:
Apakah benar dalam kisah anak yang hilang, Bapak itu tidak mau mencari anaknya yang bungsu karena Ia berharap anak sulungnya yang mencarinya?
Saya menjawab:
Belum tentu benar. Bahkan bisa sangat salah. Itu penafsiran saya pribadi.
Alkitab tidak menjelaskan mengapa bapa itu tidak mencari anak bungsunya. Intisari perumpamaan itu adalah tangan bapa tetap terbuka bagi anak bungsu yang telah memboroskan harta bapanya, bahkan menajiskan nama bapanya, bila ia mau melangkah pulang. Demikian juga Bapa Sorgawi kita. Inilah yang benar dan harus selalu kita ingat.
Karena itu saya sependapat dengan jargon yang selalu diteriakkan berulang-ulang oleh JF, “Apalah kita ini? Hamba Tuhan? Bukan! Kita ini budak Tuhan yang sama sekali tidak punya hak apa-apa.” Dia benar. Kata “orang upahan” yang diucapkan oleh anak bungsu itu jauh di bawah status “hamba” di Lukas 15:22. Jikalau kemudian Allah semesta alam ini mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya, janganlah ini membuat kita kemudian membentak-bentak-Nya dalam menuntut berkat ini dan itu. Memohonlah, mengibalah, sambil ingat siapakah diri kita sebelumnya.
“Alkitab sering membuatku banyak bertanya dan sering tidak mendapatkan jawaban yang pas,” begitu motto Guang Ming
Saya sependapat dengan Sdr Manurung atas pernyataan itu. Untuk anak kalimat pertama “Alkitab sering membuatku banyak bertanya” adalah sebuah keharusan. Dan untuk anak kalimat kedua “sering tidak mendapatkan jawaban yang pas”. Sdr Manurung menambahi dengan telak “menurutmu”. Saya juga sering mencari jawaban Alkitab atas sebuah permasalahan tetapi diam-diam telah menentukan “bentuk” jawabannya menurut kehendak saya sendiri. Tentunya yang terjadi adalah jawaban yang saya dapat tidak pas dengan “bentuk” yang saya ingini.
Saran saya, rajinlah mengikuti acara penyelidikan Alkitab atau pendidikan teologi bagi kaum awam yang diadakan oleh gereja Guang Ming. Itu sangat bermanfaat.
Guang Ming, terima kasih telah meluangkan waktu membaca artikel saya.
Kiranya Tuhan memberkati Guang Ming.
guang ming...
Biarkan Alkitab sering membuatmu banyak bertanya... itu berarti RohNya bekerja di dalam mu...
biarkan kau sering mendapatkan jawaban yang tidak pas
menurutmu...
karena RohNya akan selalu membuatmu ingin tahu lebih banyak
dan selalu bertanya...
kalau belum puas juga...
jangan berasumsi sendiri... tanpa pimpinan RohNya...
karena bisa jadi roh lain membisiki... hehehe...
TUHAN KUASA!
BIG GBU!
BIG GBU!
@ Guang Ming : Logos dan Rhema
Kitab suci bisa dibaca sebagai buku sejarah, buku pengetahuan dan pengajaran, kita membacanya sebagai logos (pengetahuan). Namun suatu saat kamu baca ayat yang sama, tapi kamu merasa ayat itu pas dengan kondisimu saat itu. Ayat yang sama, tidak berubah, namun menjawab kebutuhanmu saat itu, itu namanya rhema. Dalam bersekutu dengan Tuhan, mintalah rhema, carilah rhema, namun boleh juga sering-sering membacanya sebagai logos. Firman Tuhan akan tersimpan dalam database memory kita. Pada suatu saat ketika kita memerlukannya, firman itu bisa muncul dalam hati kita dan jadi rhema.
Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. (Kolose 3:16)
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
inge mana sih?
*kangen ama inge*