Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Berkisah dengan Kamera
Ada ungkapan, gambar dan foto bisa mewakili lebih dari seribu kata-kata. Ketika akhirnya Soeharto tunduk pada kemauan IMF, suasana ini terekam dengan apik pada saat penanda-tanganan MOU. Soeharto terlihat sedang menandatangi berkas MOU dengan posisi menunduk, sementara pejabat IMF mengawasi di belakang sambil melipat tangan di dadanya.
Demikianlah, begitu vitalnya foto bagi penerbitan pers. Coba bayangkan betapa menjemukannya sebuah koran yang tidak dihiasi foto sama sekali. Lebih jauh lagi, fungsinya tidak sekadar mempermanis penampilan saja, tetapi juga mengisi kekurangan yang tidak bisa diisi oleh jurnalisme kata-kata. Semua berita yang ditulis jurnalis di dasarkan atas kemampuan otak untuk merekam dan merekonstruksi suatu peritiwa. Dengan cara ini, jurnalis tidak bisa sepenuhnya obyektif karena ia sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai yang diyakininya. Selain itu kemampuan manusia untuk mengingat fakta juga ada batasnya. Apalagi harus mengingat puluhan fakta dalam waktu singkat.
Foto sanggup menyajikan fakta secara relatif lebih realistik dan obyektif. Foto sanggup membuat pembaca percaya bahwa suatu peristiwa benar-benar terjadi. Dalam fotografi jurnalistik, masalah yang mendasar adalah bagaimana sebuah foto dapat melukiskan dan merekam sebuah peristiwa secara tepat. Nilai foto berita terletak pada sejauh mana foto itu menggugah minat khalayak banyak. Karenanya, foto berita harus memiliki kemampuan konseptual dan ketrampilan teknis. Pengetahuan konseptual berkaitan dengan isi (picture content). Sedangkan ketrampilan, berkaitan dengan penyajian teknis yang matang.
Foto yang Berkisah
Inti dari foto berita ialah kemampuan mengabadikan unsur cerita dan sanggup mengisahkan cerita dengan baik. Seperti diketahui, dalam berita harus mengandung unsur 5 W + 1 H. Apabila semua unsur ini terpenuhi, sebenarnya berita itu sudah memenuhi syarat minimal. Namun yang namanya naluri manusia, selalu saja ingin tahu kelanjutan sebuah berita. Berbagai pertanyaan muncul di benak pembaca yang berusaha membayangkan kelanjutan berita itu. Imajinasi pun berkembang sesuai penafsiran masing-masing, hingga terjadi ketidak-pastian. Dengan hadirnya foto yang merekam peristiwa apa adanya, maka berakhirlah segala fantasi itu. Hanya dengan memasang foto gedung federal di Oklahoma city yang ‘krowak’ (menganga) separo akibat ledakan bom yang dipasang Timothy McVeigh, pembaca bisa membayangkan kedahsyatan kekuatan bom itu. Foto jurnalistik hadir melengkapi unsur How dalam sebuah berita.
Teknik-teknik yang terdapat dalam fotografi bisa kita pakai untuk memberi tekanan tertentu pada sebuah peristiwa. Misalnya untuk menggambarkan gerak, kita bisa memakai teknik panning (dengan speed rendah kamera mengikuti gerakan subyek) atau blur (dengan speed rendah, kamera tidak bergerak). Untuk menangkap momen-momen dramatis, kita bisa memakai kecepatan rana yang tinggi.
Dalam ilmu jurnalistik, ada dua macam peristiwa: pertama peristiwa yang dapat terjadi tanpa diduga. Kedua, peristiwa yang terencana. Untuk yang pertama, orang yang kebetulan berada di tempat kejadian dengan membawa kamera, -meskipun bukan seorang jurnalis-, ia bisa membuat foto jurnalistik. Meskipun secara teknis tidak memuaskan, namun karena ia beruntung berada di tempat kejadian pada waktu yang tepat, nilai fotonya bernilai tinggi. Ketika truk tangki BBM terbakar hebat yang menyebabkam kerangka baja jembatan Krasak meleleh, kebetulan ada pemilik studio foto yang berhasil memotret kejadian itu. Hasil jepretannya menjadi satu-satunya foto yang dipajang di hampir semua koran di Indonesia.
Sedangkan untuk peristiwa yang terencana, seorang jurnalis foto punya kesempatan untuk mempersiapkan peralatan fottonya. Misalkan saja, dia berencana meliput kongres di sebuah gedung dengan pencahayaan kurang. Sebelum berangkat, dia mestinya sudah membawa film berkecepatan tinggi, lampu blitz berkekuatan besar, tripod dan lensa dengan bukaan diafragma lebar. Dengan persiapan yang matang, hasilnya relatif lebih memuaskan.
Jurnalis juga bisa meminta susunan acara pada panitia sehingga ia bisa memperkirakan momentum yang bernilai jurnalistik tinggi. Dia pun bisa mengamati dituasi tempat pertemuan supaya mendapat sudut pengambilan (angle) foto yang bagus.
Foto Potret
Termasuk dalam kategori pertistiwa yang terencana ini adalah janjian wawancara dengan nara sumber. Di sini, foto jurnalistik digunakan untuk menampilkan sosok nara sumber yang diwawancarai. Ini yang disebut foto potret. Sosok yang dipajang bukan sekedar foto pose (karena terlihat dingin, kaku dan datar), melainkan gambaran ekspresi yang alami. Untuk mendapatkannya biasanya digunakan teknik candid camera (kamera tersembunyi), yaitu memotret tanpa disadari oleh subyek foto. Namun dalam wawancara hal ini sulit dilakukan karena nara sumber jelas sudah menyadari kehadiran sang fotografer. Untuk itu, trik yang biasa dilakukan adalah dengan wawancara oleh dua jurnalis. Jurnalis pertama bertugas mengajukan pertanyaan dan mengalihkan perhatian nara sumber, sementara jurnalis lainnya berkonsentrasi mengatur dan membidikkan kamera.
Sebelum melakukan pemotertan, si jurnalis sebaiknya lebih dulu mempelajari latar belakang nara sumber. Misalnya kebiasaan dia, sisi menariknya yang perlu ditonjolkan, hobinya, ciri tubuh yang khas dsbnya. Dengan demikian ia mepersiapkan konsep pemotretan sejak awal. Bila ia ingin menonjolkan wajah dan bentuk kepala dengan head shoot (misalnya karena sang tokoh punya kerut-kertut yang eksotis), jurnalis itu harus memasang lesa tele. Namun jika ia ingin menampilakn orang lengkap dengan atmosfer kerjanya, ia bisa memakai lensa sudut lebar.
Kesalahan yang biasa terjadi pada fotografi potret atau close up ini adalah terjadinya mata merah (red eye). Setelah dicetak, mata orang yang kita potret ternyata terlihat memancarkan api berwarna merah. Hal ini terjadi karena mata orang itu memantulkan sinar blitz yang datang tepat dari arah mukanya. Untuk menhindari hal ini cara yang ditempuh adalah dengan memotret dari samping, memakai cahaya pengisi (fill in) atau dengan memantulkan sinar lampu kilat ke samping (bouncing). Cara yang terakhir ini lebih praktis. Selain itu juga menciptakan kesan tiga dimensi.
Komposisi
Foto yang secara teknis memenuhi syarat, belum tentu menarik perhatian orang. Foto yang baik tidak cukup hanya tepat pencahayaan atau gambarnya tajam, tetapi juga bagaimana pengaturan komposisi foto.
Komposisi adalah rangkaian elemen gambar dalam suatu format. Komposisi yang bagus menimbulkan kesan yang mengigit dan berdampak kuat. Dalam hal ini kita perlu meminjam ilmu dari seni rupa. Berikut ini dasar-dasar komposisi:
· Dalil 1/3 Bagian
Foto yang berkomposisi kuat adalah foto yang tidak terlalu banyak memasukkan subyek foto. Satu subyek saja sudah dapat menarik perhatian asalkan ditempatkan dengan tepat. Menurut ilmu komposisi, umumnya subyek akan lebih menarik jika tidak diletakkan di pusat gambar.
Buatlah dua garis imajiner masing-masing secara vertikal dan horizontal, yang membagi bidang gambar menjadi 3 bagian (lihat gambar). Menurut dalil 1/3 bagian (Rule of third) dengan menempatkan subyek pada titik perpotongan garis-garis itu, gambar menjadi lebih menarik. Dalil ini juga dapat digunakan untuk menempatkan garis cakrawala (horizon).
· Garis
Garis adalah elemen gambar yang paling mendasar. Garis dapat memimbing mata ke pusat perhatian gambar. Misalnya jalan, pagar, atau tepi pantai. Seringkali garis pembimbing ini berbentuk huruf S dan C untuk menimbulkan kesan manis. Garis horizontal menunjukkan kesan stabil atau tenang, sedangkan vertikal menunjukkan suatu gerakan. Hindarilah garis utama yang membagi bidang dua sama besar atau membimbing mata ke luar bingkai gambar.
· Kedalaman (dimensi)
Pada dasarnya foto adalah bidang 2 dimensi. Tetapi kita dapat menimbulkan elemen kedalaman yang menimbulkan kesan 3 dimensi. Dengan kata lain, kita menimbulkan ilusi jarak, menciptakan ruang yang sebenarnya tidak ada dalam bidang gambar. Hal ini dapat dicitrakan dengan garis-garis yang bertambah sempit. Misalnya jalan raya atau rel KA, obyek yang bertautan, perbedaan ukuran dimensi, obyek yang jauh terlihat lebih kecil daripada yang dekat dsbnya.
· Keseimbangan
Keseimbangan formal dihasilkan bila obyek dengan ukuran/berat visual sama ditempatkan di setiap sisi gambar, atau subyek utama berada di pusat gambar. Dalam fotografi seringkali digunakan keseimbangan non-formal untuk keseimbangan visual. Misalnya dua obyek kecil dipakai untuk mengimbangi obyek yang besar.
· Irama
Komposisi yang baik mempunyai kesatuan. Ini dapat diperkuat dengan irama yang berbentuk pengulangan garis, tekstur, bentuk, dan warna dalam gambar. Misalnya pola jendela, teras sawah, dan gelombang lautan. Tetapi pola ini membosankan jika tidak terdapat point of intererest.
· Latar Belakang
Ketika meotret, jangan hanya terpau pada subyek utama. Perhatikan juga latar belakangnya. Mengapa? Latar belakang bisa merusak gambar. Mata Anda bisa memfokuskan pada subyek utama dan tidak menghiraukan latar belakang yang ramai. Tetapi kamera tidak. Contohnya, tiang listrik ada tepat di belakang kepala, sehingga seakan-akan tiang itu tumbuh dari dalam kepalanya. Dengan menggeser sedikit akan mengatasi problem itu.
Latar belakang yang menggangu juga dapat dihindari dengan mendekati subyek. Cara lainnya dengan penyinaran dari belakang untuk memisahkan subyek dari latar belakang. Langit, rumah, air dan pasir sangat ideal menjadi latar belakang.
· Pembingkaian (framing)
Bidang terang akan menarik perhatian mata. Tetapi bidang terang yang ada di bagian atas atau tepi gambar akan mengalihkan perhatian dari subyek utama. Untuk itu perlu dilakukan pembingkaian. Misalnya bila langit putih polos, kita dapat menyertakan ranting pohon di bagian tepi untuk menjadi bingkai.
· Sudut pengambilan (Angle)
Masalah terakhir supaya mencapai foto yang berkesan adalah sudut pengambilan foto (angle). Sering kita melihat foto lebih menarik setelah diambil dengan angle yang tidak lazim. Bagaimana mencari angle yang unik? Ada tiga angle dalam fotografi:
· Eye level Viewing: sudut pengambilan gambar seperti mata manusia melihat. Dalam angle ini tidak banyak keunikannya. Jika memutuskan memakai angle ini, maka subyek foto sendiri haruslah sudah unik dan menarik.
· Bird Eye Viewing: Sudut pengambilan dari atas. Angle ini ibarat burung terbang yang melihat ke bawah. Keunikannya dapat memberi kesan luas dan obyek terihat kecil. Angle ini tepat dipakai untuk motret orang yang sedang bertelut berdoa sehingga seolah-olah Tuhan memandang mereka.
· Low Angle: Sudut pengambilan foto dengan jongkok atau duduk.
· Frog Eye : Sudut pengambilan foto dengan meletakkan kamera di tanah. Si pemotrert harus (maaf) menungging atau tengkurap untuk bisa memotret. Dua teknik yang terakhir dipakai untuk menimbulkan kesan tinggi, besar dan agung.
Akhirnya, supaya bisa membuat foto yang menarik sekaligus bernilai berita tinggi tidak bisa diciptakan secara sekejap tau dengan mengucapkan “sim salabim abrakadabra”. Meskipun kadang-kadang membutuhkan faktor keberuntungan, namun yang lebih berpengaruh adalah soal jam terbang fotografer. Semakin sering ia melakukan pemotretan, kepekaan jurnalistik semakin terasah. Orang yang beruntung mendapat momentum langka sekalipun, kalau hidung jurnalisnya tidak sensitif, dia tidak bisa membuat foto yang bernilai berita?
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- 7467 reads
Praktek Poto Ah
Mao praktekin teorinya Pak Purnawan ah!
1. Foto Potret
Kagak ada yang mao jadi model, kucing tetangga, ta' sabet ah :D!
2. komposisi - dalil 1/3 bagian
Ini 1/3-nya masih ngaco, cuman yang namanya masih latihan, gimana dong? :P
3. Komposisi - Garis
Katanya, jangan membagi 2 bagian sama besar, nanti membosanken :)
4. Menangkap momen dramatis
Kalo lagi lompat, termasuk dramatis ndak?
Udah dulu ah!
Wow!!! Awesome
------------
Communicating good news in good ways
to purnawan dan rusdy
We can do no great things; only small things with great love -- Mother Theresa
Rusdi dan Pak Pur, Minta Tolong Diajarin
Rusdi & Pak Pur,
Tolong dong diajarin masukin gambar di blog seperti di atas. Saya coba berkali-kali koq ga bisa ya. Mau masukin ilustrasi jembatan dan ilustrasi roda di artikel saya, ga berhasil-berhasil.
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Mana Kepala, mana ...
Kalau yang ini bagaimana?
Judulnya: mana kepala dan mana...?