Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Berani Kritis pada Agama Sendiri
Baru-baru ini saya membaca tulisan Irsyad Manji, Beriman Tanpa Rasa Takut. Judul aslinya Trouble with Islam Today. Saya
terguncang hebat dengan tulisannya. Bukan hanya karena ia begitu blak-blakan dengan
kepercayaannya—agamanya sendiri, berbagai fakta yang selama ini belum pernah
saya dengar tentang berbagai kebijakan politik luar negeri berbagai negara, dan
keberaniannya untuk menantang maut dengan meluncurkan tulisannya itu, melainkan
juga tulisannya menempelak saya dengan seluruh keyakinan saya.
Setelah itu, saya jadi banyak berpikir tentang keyakinan
saya sendiri. Saat Irsyad—seorang perempuan—menuliskan bahwa jika tafsir
terhadap kitab suci dilakukan secara harfiah tanpa memandang konteks zaman masa
kini, hal itu mendorong tumbuhnya fundamentalisme agama yang akhirnya memaksa
para penganut tafsir tersebut hidupnya mundur jauh mendekati zaman ketika kitab
tersebut dituliskan; hal itu menantangku untuk memeriksa lagi berbagai hal yang
telah saya percayai.
Salah satunya adalah keyakinan terhadap ketakbersalahan (inerrancy) kitab suci. Irsyad
mempertaruhkan nyawanya saat mengatakan kitab suci agamanya, yang banyak
diyakini langsung diturunkan dari surga, banyak mengandung kelemahan. Ia
memberikan banyak bukti kontradiksi dalam kitab itu dan bisa jadi ia benar (barangkali
ia salah juga). Lalu bagaimana dengan Alkitab? Apakah ia tidak mengandung
kesalahan secuil pun? Lalu apa maksud Yesus mengatakan tidak satu iota pun?
Apakah itu berarti Yesus pun menganggap Alkitab tanpa kesalahan?
Salah satu topik yang ramai dibahas di Sabda Space adalah kesalahan
dalam silsilah Yesus Kristus. Saya tidak tahu apa motivasi si penulis, tulus
atau sekadar untuk melemahkan iman. Mungkin, karena semangat yang menyala untuk
membela kekristenan agar tidak runtuh, tanggapan terhadap tulisan tersebut
begitu banyak. Ada
yang jawabannya bagus, tetapi kebanyakan cenderung ngawur, menggampangkan, dan
bahkan asal copy paste tanpa pernah mempelajari yang ia copy, tidak mustahil
hal itu malah jadi bahan tertawaan si penulis.
Namun, tulisan itu juga menantangku untuk banyak berpikir.
Berbagai pertanyaan timbul dalam benakku. Misalnya, seandainya benar silsilah
tersebut memang salah, apa akibatnya buatku? Apakah Alkitab tidak suci lagi?
Apakah imanku runtuh gara-gara ketidaksempurnaan daftar turunan nenek moyang
Yesus? Apakah aku berarti salah memilih agama karena ada ketidaksempurnaan
dalam Alkitab? Haruskah aku berpindah ke agama si penulis artikel tersebut?
Padahal mungkin saja kitab sucinya pun tidak lebih sempurna daripada Alkitab.
Saya malah dikuatkan oleh Ioanes Rakhmat yang tulisannya di
Kompas sempat membuat heboh kekristenan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa
meskipun Yesus akhirnya bisa dibuktikan tidak bangkit dari kematian, atau
seandainya pun sebenarnya para murid utama Yesus (yang tersisa 11 orang setelah
Yudas mati) ternyata menganggap kebangkitan Yesus sekadar kiasan, seharusnya
hal itu tidak mengguncangkan iman orang-orang Kristen. Mungkin yang kutulis
tidak tepat benar, tetapi semangat itulah yang kubaca dari tulisan Ioanes (pemahaman
tentang semangat itu sebenarnya adalah pemikiran seorang teman baik—sebab,
sejatinya aku sudah memahami teks-teks Alkitab dengan pandangan seorang
fundamentalis). Iman seseorang tidak lagi tergantung pada hal-hal yang kasat
mata, tetapi jauh ada dalam batin.
Semangat tulisan Ioanes mirip dengan semangat Sadrakh,
Mesakh, dan Abednego saat dihadapkan pada dapur api yang menyala-nyala, “Jika
Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami
dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi
seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan
memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan
itu.” Sungguh suatu iman yang timbul dari sikap kritis—mereka sudah menarik
berbagai kemungkinan terhadap kepercayaan mereka.
Orang-orang seperti Irsyad Manji, Salman Rushdie, Ioanes
Rakhmat, John Dominic Crossan, Karen Armstrong, Robert Funk, dan si penulis di
Sabda Space itu mungkin begitu membuat gerah iman kita. Godaan untuk
mengeluarkan kata-kata kutukan kepada mereka pun sangat besar; mengutuk mereka
jangan pernah hidup di dunia ini.
Namun, hal yang mencerahkan adalah orang-orang itulah yang menolong
kita untuk tidak gampang menelan mentah-mentah berbagai tafsir atau ajaran.
Mereka memacu kita untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri dan iman kita.
Allah telah menganugerahkan otak untuk dipakai berpikir. Bersikap kritis adalah
karunia dan mendewasakan diri kita sendiri yang menyebabkan kita tidak mudah
diguncang dengan berbagai hal di luar kita. Atau, dalam bahasa Rasul Paulus,
“Tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran.” Jadi, meskipun jika
Alkitab terbukti tidak sesempurna yang kita bayangkan, iman kita tidak
terguncang dengan kenyataan tersebut. Atau, ada orang yang berhasil membuktikan
Yesus bukan satu-satunya jalan, wajah kita tidak perlu tertunduk malu, tetapi
tetap yakin dengan sistem kepercayaan kita karena sudah terbiasa kritis.
- Bayu Probo's blog
- 5186 reads
Injil Utama
Setuju, pengkritik yang mempertanyakan keimanan kita adalah sebuah 'alat' yang sangat efektif dalam menguji kepercayaan kita. Dari pengalaman saya, banyak yang mengaku kristen sebenarnya tidak mengerti bahkan pada tingkat dasar, apa yang mereka percayai.
Seperti pak Bayu kutip dari Paulus, "Tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran", konsekuensinya adalah, kita harus mengerti mana yang benar, dan mana yang salah.
Untungnya, Paulus sendiri sudah mengulang berkali-kali apa yang dasar dari iman kekristenan, sampai dia berbusa-busa, dipenjara, direjam batu, dan lain sebagainya. Tidak ada yang baru tentunya, dia hanya mengulang apa yang Yesus ajarkan ketika dia berpijak di muka bumi.
Dasarnya? Ya apa lagi kalau bukan kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. (kalau ada yang tidak setuju atau ragu, dengan senang hati saya akan mencoba menjelaskannya)
Jadi, ketika ada yang berkata, bahwa:
Alkitab bisa saja salah.
A G A M A
Ciri-ciri Orang yang Tidak Kritis