Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Belajar Berhitung Dari Vampire
Suatu hari cerah, saat makan malam. Matahari masih menyembul di horison sebelum akhirnya benar-benar menenggelamkan diri. Rumah yang tidak begitu besar, juga tidak terlalu kecil. Hanya empat orang yang tinggal di situ. Saudaraku, istrinya, dan kedua anaknya.
Namun yang ada sekarang tinggal empat orang. Kedua anak mereka. Saya dan dia. Papa mereka belum pulang dari kerja, dan mama mereka baru saja pergi keluar, meninggalkan kami berdua membersihkan dapur dan membantu kedua keponakan mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
"Om, om .. Is there any vampires?"
"Ada. Santa Klaus juga ada."
Kekasihku menoleh.
"Jangan ngajarin yang gak-gak."
"Loh bener kan. Semua itu ada. Vampire ada. Santa Klaus ada. Yesus juga ada."
"Jangan sampai nanti batu kilangan diikat ke leher kamu."
Saya tertawa.
Begitu juga kedua keponakan kami, Clay dan Dinda. Mereka tertawa melihat saya tertawa. Saya tidak tahu apakah mereka tahu apa yang saya tertawakan.
Sudah satu jam berlalu, kedua orang tua mereka masih belum pulang. Seharusnya tidak seperti ini. Tidak ada janji dan permintaan sebelum kami datang bahwa kami harus tinggal menunggu mereka. Apalagi menjaga kedua anak mereka.
Clay, si bungsu, mendekatiku dan bertanya lagi.
"Om, can you help me do my homework?"
Great! Saya bukan guru yang baik. Apalagi anak kecil.
Setengah jam berlalu. Clay mengerjakan semuanya dengat tepat walaupun beberapa kali perlu dibantu.
"Delapan ditambah sembilan berapa?" Aku bertanya mengulangi apa yang tertulis dibukunya
Dia terdiam. Jari-jarinya bergerak seakan mengikuti total jumlah dari hasil perhitungan tersebut.
"Sixteen?" Tanyanya ragu.
"You're close" kataku mendukungnya.
"Fifteen?" Clay mulai menebak.
Aku menghela nafas.
"Sabar. Dia umurnya baru enam tahun." Katanya mengingatkan.
"Perasaan waktu aku enam tahun, gak kaya gini deh."
Dia tergelak penuh tawa,"Kamu tuh cuma ingat sebagian kecil sewaktu umur enam tahun. Inget-inget lagi pelajaran kuliah kamu soal human development."
Aku terkekeh-kekeh. Kalau sudah mengenai mengingatkanku, dia jauh lebih baik dari siapa pun.
"Begini." Kataku mulai menyusun strategi, seakan ingin mengalahkan satu bataliyon tentara yang dilengkapi persenjataan lengkap.
"Kalau ada penjumlahan, delapan ditambah sembilan seperti ini, coba ingat delapan ditambah sepuluh berapa. Hasilnya delapan belas, kan? Karena pertambahan sepuluh selalu paling mudah. Setiap dapat hasilnya, tinggal dikurangi satu. Karena sepuluh kurang sembilan hasilnya satu. Jadi delapan belas dikurangi satu, hasilnya ...?"
Aku menaruh jeda di akhir kalimatku. Menunggu dia menjawab.
Sepertinya penjelasan aku masuk akal.
Tapi jelas dia tidak menyimak. Atau lebih buruk, dia tidak mengerti apa yang aku baru katakan. Clay menghitung lagi dengan jarinya, dan tampak kesulitan mencerna apa yang baru aku katakan.
"Bukan begitu caranya." Kekasihku menginterupsi proses belajar yang sangat amat serius antara seorang anak enam tahun dan pamannya.
"Anak umur enam tahun, gak tahu bahwa pertambahan sepuluh itu hasilnya bisa diperoleh dengan mudah."
"Tapi kenyataannya iya, kan?" Kataku membangun benteng.
"Betul. Tapi kamu baru menyadarinya setelah melakukan proses perhitungan ribuan kali. Coba ingat-ingat, kamu bisa lancar berhitung cepat by imagination itu di kelas berapa? Tiga? Empat? Lima?"
Aku terdiam.
"Lupa" Kataku sekenanya.
"Biasanya anak paling pintar bisa berhitung dengan cepat tanpa alat bantu di bawah angka seratus, itu baru mulai kelas dua. Anak jenius, sebagian kecil di populasi dunia, bisa berhitung tambah-tambahan di umur empat atau lima tahun. Nah Clay ini anak cerdas, tapi dia baru kelas satu. Right, Clay?"
Clay menganguk. Saya ragu apakah dia bisa memahami bahasa Indonesia yang panjang seperti itu. Atau mungkin dia hanya mendengar kata kelas satu di akhir kalimat.
"Emang kamu udah pernah bikin research soal itu?"
"Bukan penelitian. Itu yang aku pelajari sewaktu jadi guru sekolah minggu."
"Sejak kapan guru sekolah minggu mengajari murid-murid berhitung?"
"Sejak guru sekolah minggunya jadi idaman murid-muridnya!" Katanya sambil menarik tanganku.
"Minggir!"
Aku tertawa.
Sekarang gantian dia yang membantu mengajari mereka dengan pekerjaan rumah. Aku mengamati gerak tubuhnya, cara dia mengajari kedua keponakan kami. Perlahan sekali. Tapi aku suka. Aku malah kemudian menyadari, cara yang aku berikan kepada Clay lebih menyusahkan daripada cara yang dia lakukan. Cara yang standar, bahkan sangat standar. Semuanya diurut dari awal. Satu ditambah satu. Dua. Dua ditambah satu. Tiga.
"Kamu pinter ya ngajarin mereka" Aku memujinya dengan tulus, di depan kedua anak tersebut.
"Bukan pinter. Tapi anak-anak seperti mereka mesti dibangun pondasinya. Dan itu gak gampang. Makan waktu bertahun-tahun untuk seorang anak bisa mengerti dasar-dasar membaca dan berhitung."
Aku menganguk-nganguk. Sekarang muridnya bertambah menjadi tiga orang.
"Tapi bagaimana mereka tahu cara cepat berhitung kalau tidak dikasih tahu dari sekarang?"
"Kamu tahu perkalian sembilan selalu menghasilkan angka yang kalau dijumlahkan hasilnya selalu sembilan, itu dari mana? Kamu tahu penjumlahan angka genap ditambah angka genap selalu menghasilkan angka genap, itu dari mana? Karena kamu sudahberlatih mengerjakan ribuan soal kan? Karena kamu menemukannya sendiri. Anak-anak, jangan dikarbit. Mereka bukan mangga." Jawabnya dengan lembut.
Aku menganguk lagi.
"Om, Vampire ada, benar?" Tanya Clay lagi dengan tiba-tiba.
Aku tersenyum. Beginilah kalau di satu rumah seorang anak mendengar orang tuanya menggunakan lebih dari satu bahasa. Semuanya serba kacau.
Aku menyahut,"Benar. Vampire ada."
"How do you know, Om?" Sambut kakaknya, Dinda.
"I used to be a vampire." Aku mengambil pose bak seorang vampire, menarik kedua tanganku ke atas dan membuka mulutku lebar, seakan siap menggigit mereka. Mereka tertawa sambil berlari ke arah kamar mereka.
Keponakan-keponakan yang aneh. Tertawa tapi kenapa berlari?
"Hahahaha," Aku ikut tertawa, memancing mereka keluar.
"Blasphemy!" Dia berseru sambil tersenyum menuding jarinya ke arahku.
"Rajam aku dengan batu-batu cintamu, please!" Aku berlutut di kakinya.
Clay dan Dinda keluar dari kamar mereka, dan mungkin bingung melihat adegan Romeo dan Juliet.
Clay bertanya dengan polos,"What is rajam?"
"Rajam is like Indonesian food. It's very good. A lot of people want other people to have it, but they don't want to try it themselves."
"Gila!" Katanya sambil menggebuk pundakku dengan buku pelajaran Dinda.
Aku dengan cepat bertanya kepada Clay.
"Clay, what is gila?"
Dia mengggelengkan kepalanya.
Semua tertawa. Padahal tidak ada yang lucu.
Kami kembali pulang ke rumah. Tinggal berdua. Meninggalkan Clay dan Dinda yang sudah terlelap. Orang tua mereka baru saja kembali ke rumah.
"Kenapa sih kamu bilang ke mereka kalo vampire itu ada, santa klaus itu ada?" Dia bertanya, memecah keheningan malam.
Aku yang sedang menyetir berpikir sejenak. Kenapa? Sesungguhnya aku juga tidak tahu.
"Mungkin karena aku pikir mereka masih anak-anak. Mereka punya fantasi sendiri. Punya dunianya sendiri."
"Tapi kamu gak bisa begitu. Kamu mesti didik mereka supaya tahu mana yang benar atau gak, mana yang fantasi atau bukan."
"Kamu percaya Yesus, kan?" Aku bertanya untuk mengarahkan dia supaya memahami penjelasanku.
"Oh please. Don't go there." Katanya menggelengkan kepala.
"Oh, I am right now. Sekarang kamu tau dari mana kalau Yesus itu nyata? Tahu dari alkitab? Betul, aku juga percaya. Tapi kamu pernah ketemu? Bukankah kamu tahu Yesus nyata karena iman?" Aku memulai percakapanku.
"Itu beda. Iman tidak sama dengan fantasi. Iman kristen tidak sama dengan orang beriman kepada santa klaus, vampire, atau kepada nyi roro kidul dan sebagainya." Katanya menjelaskan.
"Kenapa gak? Bukankah orang-orang lain juga punya iman untuk bisa percaya sampai ke arah sana?"
Mobil kami terus melaju, sambil kami terus berdiskusi mengenai iman, mengenai vampire, mengenai Yesus, mengenai alkitab, dan sebagainya. Kadang saya yang mengambil posisi sebagai pembela iman, kadang dia yang mengambil posisi sebagai apologis kristen. Itulah cara kami berdiskusi. Dan kami sungguh menikmatinya.
Malam itu hanyalah malam yang biasa buat kami, malam dari malam-malam yang telah kami lewati. Malam yang membuat kami menjadi satu.
- PlainBread's blog
- Login to post comments
- 3464 reads
Is there any vampires?
YES ABSOLUTELY.... in Meyer's tetralogy....
Have you read them?
There is one particular chapter in "New Moon" that fascinates me...; di bagian itu Sang Vampire berkisah tentang Tuhan, surga dan the life after death. Kisah yang tidak lazim karena (ceritanya) berasal dari mulut seorang Vampire.
Well, lepas dari Vampire itu ada atau tidak, satu konsep yang meski sederhana tapi toh sangat memarik dan sulit saya pahami muncul : Tuhan ada dalam setiap ciptaan -- dari yang terbaik hingga yang terburuk (menurut versi dunia ).
Benar-benar sulit saya pahami...
Cheers,
nita
@Clara: Anda Sesat Hahahaha
Saya paling sering ngatain orang sesat soalnya sering dikatain sesat juga. Biar impas. Hahaha.
Iya, dulu sebelum tetralogi tersebut jadi terkenal, saya pernah chat sama teman saya di Arizona, nanya lagi ngapain. Trus dia bilang lagi baca Stephanie Meyer punya tulisan. Katanya itu bocoran atau script atau apalah. Saya gak tertarik, karena saya pikir palingan roman picisan konyol. Trus dia bilang,"you like Rowling's, right?" Saya bilang iya. Dia balas,"this is way better than hers". Wowww! Hahaha. Akhirnya saya minta deh semua copynya :D
Waktu nonton filmnya, istri saya sampe terhanyut gak jelas gitu. Saya senggol2, "oi, sesat oi, sesat!" Hahahaha. Gantian saya yang bilang dia sesat. Sampe akhirnya saya bilang,"duh ngapain sih ngiler liat Edward, liat aku aja." Dan dia seperti biasa, mendelik gak jelas.
Anak2 emang punya daya imajinasi yang luar biasa. Kadang saya bingung apakah dunia saya yang nyata, ataukah dunia mereka yang nyata.
Belajar banyak dari anak2, saya menyadari proses menguasai dasar2 menghitung dan membaca itu memang gak gampang. Jauh lebih gampang untuk menerima dan menikmati semua fantasi dan literatur tentang hal2 misteri.
One man's rebel is another man's freedom fighter
fantasi
ngomongin imajinasi saya teringat film kartun anak doraemon.
film itu sudah puluhan tahun tayang di televisi tapi tetap menjadi favorite anak berarti dari generasi ke generasi. doraemon sudah membuktikan bahwa dia digemari oleh anak2
saya teringat waktu anak saya masih ikut sekolah minggu di gereja kami, guru SM nya pernah mengatakan bahwa film doraemon itu sesat karena mengajarkan anak2 bahwa untuk memperoleh sesuatu itu tidak boleh hanya mengandalkan sebuah kantong ajaib, tapi harus ada usaha yg dikerjakan.
saya sempat berpikir?...dimanakah letak kesesatannya?.
film itu bukan semata mata mengajarkan anak untuk menjadi anak pemalas toh?
yang di lihat dari anak2 kan fantasi yang ditimbulkan ketika doraemon bisa mengeluarkan benda2 ajaib dari kantongnya.
ya...begitulah ketika ada orang2 kristen yang sempit pemikirannya, mereka bisa demikian mudah mengatakan "sesat" atau tidak sesuai dengan nilai2 ke kristenan.
padahal ketika film itu dibuat pasti yang dipikirkan oleh si pembuat adalah merangsang daya imajinasi seorang anak.
Is there any fairytales?
I wish one.
Because my dad said there is. He said the world keeps fairytales.