Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Banjir
Genangan itu kembali lagi, memenuhi dataran rendah di ruas-ruas jalan. Cerita yang belum habis itu kini mulai lagi dengan serangan yang lebih besar dari sebelumnya.
Bila kemarin masih bisa menghindar, maka sekarang terpaksa harus melawannya. Tidak ada cara lain, ini jalan satu-satunya, tidak ada gunung yang membuat aku tetap kering sampai ke tujuan.
Jalan yang kemarin belum tersentuh ini, harus mengalah sekarang juga, tak mampu lari dari kejaran banjir. Padahal jalan inilah alternatif terakhir yang selalu aku gunakan untuk menghindar bila ada banjir.
Tak ada pilihan lain, bila ingin tetap berada di tempat kerja hari ini, aku harus bisa melewati genangan ini. Ada perasaan was-was setelah melihat beberapa kendaraan lain macet dijalan. Berhenti sebentar sambil menggulung celana supaya tak basah terkena air, seorang bapak menyapaku “mau berenang ?” katanya, membuat aku langsung menoleh kearahnya, “yang lain bisa pak, pasti saya bisa juga” kataku sambil memandang kearah antrian panjang kendaraan-kendaraan baru saja selamat melewati genangan air didepanku, memang tidak semuanya selamat, sebagian diantarannya terlihat berjalan sambil mendorong kendaraan roda duanya. “Iya memang bisa sekarang, tapi bagaimana kalau nanti mogok ditengah-tangah” katanya sambil berlalu membelokkan motor dan meninggalkan tempat yang dipenuhi dengan orang yang masih ragu-ragu untuk menyebrang dan yang kendaraannya mogok. Perkataan bapak itu sempat membuatku perasaanku ciut untuk bisa melewati banjir, tapi setelah mengingat perjalananku kemarin sore yang berhasil aku kembali berpikir untuk mencobanya.
Perlahan berjalan digenangan air, aku berharap tidak terkecoh oleh truck besar yang beberapa kali aku lewati. Meski sudah menggulung celana panjangku, tetap saja basah karena gelombang yang timbul akibat putaran roda besar dan arus air yang lumayan deras menyembur ke kakiku, terciprat keatas membasahi celana yang sudah aku gulung. Sedikit kesal namun tak dapat berbuat apa-apa.
Sekarang aku sudah berada dipertengahan jalan, entah apa yang membuat aku bisa tertawa saat itu, mungkin karena aku merasa saat itu seperti berada diatas perahu, aku benar-benar melihat air mengalir disekitarku dan berada diatasnya seperti terapung seperti didalam perahu. Yang membedakannya hanya suasana sekitar yang dipenuhi kendaraan yang bukan perahu. Pikiranku benar-benar melayang, jauh ke kampung. Aku berharap yang aku liat bukan truck besar, mobil-mobil atau pun motor yang sedang antri tetapi pohon-pohon hijau dan perahu-perahu yang terapung dan tipuan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku (mungkin sudah karena kangen ama kampung halaman). Sadar aku tak lagi berkonsentrasi aku berusaha menyadarkan diri, aku menurunkan kedua kakiku untuk menghentikan motorku yang ternyata terus berjalan tanpa aku sadari, mencoba menenangkan perasaanku yang sudah yang sedikit kacau balau karena arus dan suara mesin-mesin kendaraan yang menderu. Belum sempat aku menarik napas, suara klason motor dibelakangku menuntut supaya aku segera kembali menjalankan motorku, sekarang aku baru benar-benar sadar kalau aku sebenarnya tidak sedang diperahu, pinggangku terasa sakit karena menahan beban berat didalam arus deras. Dengan terpaksa aku harus maju juga, mengikuti antrian yang ada didepanku. Ternyata tak seperti yang aku bayangkan, ini bukan sebuah kesenangan saat berada dalam perahu di kampung, karena aku sudah mulai merasa letih. Terus berjalan mengikuti antrian, aku akhirnya tiba pada sebuah gundukan yang aman untuk selanjutnya memasuki jalan tak tergenang. Perasaan lega kini menjalar, memacu gas segera meninggalkan jalan banjir.
Aku pikir aku sudah benar-benar terlambat tiba di tempat kerja, namun tiba disana aku hanya mendapatkan beberapa orang saja, beberapa teman lain yang tak terlihat ternyata tidak bisa masuk kerja karena rumahnya terendam dan harus mengungsi ketempat kerabat atau keluarga.
Hal ini membuat aku merasa bahwa apa yang aku alami dijalan tadi belum seberapa dibanding dengan mereka yang tempat tinggalnya tak lagi dapat dihuni, mereka yang kendaraannya mogok dipinggir jalan, anak-anak sekolah yang terpaksa diliburkan dan usaha-usaha kecil yang tak dapat dijalankan.
Memang benar kakiku terasa gatal karena terendam air berwarna cokelat berbau itu, tapi masih ada yang lebih dari itu, mereka yang seluruh tubuhnya terendam, karena banjir disekitar rumahnya setinggi dada orang dewasa, tak bisa ku bayangkan bila mereka harus menggaruk seluruh tubuhnya sepanjang hari.
Apalagi lagi mereka yang terjebak dalam banjir, seperti beberapa minggu lalu saat banjir yang sama melanda, seorang teman bercerita bahwa dia tak makan seharian karena tak ada makanan, pulsa untuk minta tolong pun tak tersedia, bersyukur ada team penolong yang lewat didepan kostnya sehingga dia bisa keluar dari jebakan banjir.
Semuanya membuat aku menahan keluhanku yang ingin keluar dari mulutku. Jadi ingat waktu membaca balasan sms dari teman kemarin, setelah mengirim sms untuk mengetahui keadaan rumahnya,aku menerima balasan kalimat, “q baik z, rumah q belum terendam, tapi mungkin nanti terendam juga, alx skr airx masih naik, tapi q bersyukur, pasti lewat banjir ini ada sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada kita” aku sependapat dengan sms ini, sms yang melihat masalah dari sudut pandang lain, bukan meratapinya tapi mengambil hikmah darinya.
Mudah-mudahan banjir akibat bendungan yang katanya hanya dibuka sedikit untuk menghindari terjadinya kerusakan bendungan ini dapat menjadi sebuah pesan yang bermakna bagi kami.
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
- ely's blog
- 4206 reads
Banjir
Banjir.
Sayang di luar daerah, tidak ada siaran langsung kalau ada acara banjir. Kalau di ibu kota, helikopter sepertinya laku untuk membuat acara siaran langsung.