Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bagaimana cara marah?
Dua minggu yang lalu, saya menunjukan amarah saya ketika saya sedang memberikan training di sekelompok orang. Mereka terlihat enggan mengikuti training, mereka saya rasakan tidak serius dan merasa terpaksa. Memang training yang saya adakan merupakan kewajiban bagi mereka. Berbeda dengan training yang diadakan melalui pendaftaran, biasanya mereka akan lebih bersemangat. Tetapi saya lihat dampaknya sangat positif. Saya lihat mereka sangat bersemangat dibandingkan dengan ketika saya training di tempat lain. Mereka bahkan memberikan hasil lebih dari yang saya harapkan. Saya sungguh terkejut dengan apa yang mereka berikan sesudah saya menunjukan amarah saya. Terkadang saya berpikir, jika saya tidak marah apakah mereka akan menghasilkan seperti yang saya harapkan? Berdasarkan data yang ada seharusnya tidak. Mereka termasuk kelompok orang yang sulit mempelajari hal baru. Tetapi mengapa hasilnya menjadi luar biasa? Bahkan tugas dikumpulkan dengan tepat waktu. Saya memang belum memeriksa tugas yang sudah dikumpulkan, tetapi dengan datang tepat waktu, itu membuktikan keseriusan mereka dalam mengikuti training yang saya adakan. Memang kalau kita bicara itu adalah anugerah Tuhan, ya saya akui. Hasil yang mereka berikan yang luar biasa bisa dibilang mujizat buat saya. Tetapi apakah itu juga disebabkan saya menujukan amarah saya? Mengapa perubahan sangat nampak justru sesudah saya marah? Mungkinkah Tuhan memakai amarah saya untuk keperluanNya? Akhirnya saya menyimpulkan bahwa amarah saya memang dipakai Tuhan. Bagaimana bisa amarah justru melejitkan potensi orang lain? Inilah yang saya pelajari dari kejadian dua minggu yang lalu. Saya menunjukan kasih saya yang besar kepada mereka justru ketika saya marah. Amarah bukan berarti kita menjelek-jelekan orang, atau kata-kata kasar keluar dari mulut kita. Jika memang kita kemungkinan akan merusak orang lain melalui kata-kata kita, hindari orang tersebut. Jangan sampai kita marah ketika tidak ada kasih di dalam diri kita. Amarah adalah suatu bentuk kasih. Saya menyampaikan kepedulian saya kepada mereka ketika saya marah. Bukankah saat itu mereka sedang mendengarkan kita? Bahkan saya mengatakan,”Maaf jika saya berkata agak kasar. Jika Bapak Ibu tidak bisa melakukan apa yang saya training hari ini, saya tidak akan dipecat.” Saya menunjukan bahwa saya marah bukan karena kepentingan saya yang tidak terpenuhi tetapi justru ada kepentingan mereka yang akhirnya tidak bisa terpenuhi. Saya tidak menunjukan keegoisan saya dan kepentingan saya. Saya memperlihatkan apa yang saya perjuangkan supaya mereka bisa melakukannya. Saya menunjukan begitu dalamnya kasih saya kepada mereka. Selain kasih kita juga perlu membuka pikiran mereka tentang pentingnya mereka memahami dan begitu prihatinnya diri kita ketika mereka tidak memahami apa yang kita berikan. Jadi ketika marah kita tetap harus bisa mengontrol diri kita. Jangan sampai kita hanya membeberkan kesalahan mereka tetapi dalam hati mereka menyanggahnya. Mungkin mereka tidak berani untuk menyampaikannya tetapi mereka tetap tidak mau menerima apa yang kita katakan. Sampaikanlah apa yang membuat kita marah, tidak perlu terlalu detail dan menghakimi seseorang, tetapi kita perlihatkan pentingnya hal tersebut. Buka pikiran mereka supaya mereka memahami mengapa kita demikian peduli mereka melakukan apa yang kita minta. Berikan informasi keuntungan-keuntungan yang mereka dapatkan jika mereka berubah dan kerugiannya jika mereka tidak berubah. Jangan pisahkan diri sesudah kita marah, kembali bergabung dengan mereka seakan-akan memeluk mereka. Sebenarnya cara ini adalah cara yang dilakukan istri saya ketika menangani pegawainya. Ketika dia marah habis-habisan kepada pegawainya, dan tentu saja tidak menjelek-jelekan atau kata-kata kasar, sesudah itu dia memeluk pegawai tersebut. Istri saya sudah membuktikan, jika tanpa dipeluk, maka pegawainya cenderung memisahkan diri dan tidak mau lagi bersama dengan dia. Tetapi ketika ada pelukan, maka hubungan mereka tetap baik walaupun ada amarah sebelumnya. Begitu juga ketika kita marah di depan umum, kembali bergaul dengan mereka, menyapa mereka, menanyakan kabar keluarga mereka atau menanyakan masalah mereka. Intinya, kita tetap memperlihatkan bahwa hubungan kita tidak terputus hanya karena amarah. Kita yang perlu ambil inisiatif karena mereka biasanya tidak berani. Intinya, jika kita mau arah, jangan asal marah. Jangan hanya memuaskan emosi kita. Tetapi gunakan amarah tersebut untuk membangun orang lain.
Small thing,deep impact
- Sri Libe Suryapusoro's blog
- 4988 reads
Sungguh Bijaksana
Mas libie, tulisan anda sangat indah dan menarik. Dua kali saya membaca tulisan anda, untuk mencari-cari siapa tahu ada makna yang belum saya tangkap ketika membacanya pertama kali.
Selama ini saya berpikir, bahwa marah adalah tanda tak berdaya. Ketika merasa tak berdaya kitapun kehilangan kendali diri dan melampiaskannya dengan marah, untuk meraih kembali harga diri kita yang terinjak. Namun anda mengajarkan, tentang marah secara bijaksana. Kita boleh marah namun harus melakukannya dengan bijaksana dilandasi kasih.
Terima kasih mas libie.
Thanks dianpra, iya, salah tulis. Terima kasih mas Libe.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Kamu salah panggil Hai
Mmm... githu ya?
"I can do all things through Christ who strengthen me"
buat Priska
Small thing,deep impact
Ehm... bisa saja... :)
"I can do all things through Christ who strengthen me"
Kemarahan Yang Sehat
Ada kemarahan yang sehat, dan ... ada kemarahan yang tidak sehat. Membedakannya kadang-kadang agak sulit. Kalau yang Mas Libe ceriterakan di atas mah jelas yang sehat.
Bagus, ... bagus, ... saya juga masih mau belajar terus.
Syalom,
John Adisubrata
Aq gak bisa marah....