Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Apakah saya menghakimi?
Sekitar sepuluh tahun yang lalu saya melakukan pelayanan ke seseorang yang melakukan seks bebas. Menarik buat saya ketika mendengar apa yang dikatakannya. Dia sudah pernah menggugurkan kandungan satu kali ketika dia masih kelas 2 SMU. Lalu ketika dia tingkat dua di sebuah universitas ternama, dia melahirkan bayi di luar nikah. Saya masih ingat ada pernyataan bahwa Tuhanlah yang salah karena dia sampai hamil. ”Tuhan tidak adil, mengapa saya hamil?”
Sebenarnya hanya ada satu orang yang boleh berkata demikian yaitu Maria, ibu Yesus. Selain dia sangat mudah jawabannya. Bukankah kalau dia tidak melakukan hubungan seks pasti dia tidak hamil? Mengapa menyalahkan Tuhan? Teman saya tersebut sedang mengambil alih tugas Tuhan yaitu menghakimi. Dia mulai menghakimi Tuhan, mengungkapkan kesalahan Tuhan.
”Mengapa Tuhan tidak mencegah saya melakukan hubungan seks?”
”Mengapa Tuhan mendatangkan pria brengsek tersebut? ”
”Mengapa Tuhan mengijinkan dan membuat situasi memungkinkan kami behubungan seks?”
”Mengapa Tuhan tidak memberikan petir supaya kami benar-benar sadar?”
Dan banyak pertanyaan mengapa lainnya yang ditujukan kepada Tuhan. Tujuannya sudah jelas, supaya Tuhan menjadi terdakwa dan dia memutuskan bahwa kesalahan ada di pihak Tuhan bukan pihaknya.
Pada kehidupan saya pun tidak jauh berbeda. Ketika saya mengobrol dengan seseorang, saya mulai mengambil posisi sebagai hakim. ”Dia salah, seharusnya begini dan begitu.” kami pun terus berbincang-bincang sampai suatu saat saya sadar, ”jangan-jangan, kita melakukan kesalahan yang sama dengan orang tersebut?” dan teman mengobrol saya menjawab,”Iya, jika demikian berat dia menerima diri kita, mungkin hal yang sama yang terjadi pada kita. Demikian berat kita mneerima dirinya.”
Posisi hakim memang menyenangkan. Orang yang suka menghakimi biasanya selalu menganggap orang lain slaah dan dirinya yang benar. Lebih parah lagi, dia tidak mau mengakui kesalahannya, jsutru balik menyalahkan orang lain. ”Ya, ini memang salah saya tetapi itu semua disebabkan mereka yang tidak mau melakukan pekerjaan mereka.”Begitulah bahasa diplomatis seorang hakim. Ketika mengakui kesalahan, tetap saja orang lain yang disalahkan.
Memang benar kita umat Allah dan diberikan banyak kuasa tetapi kita tidak diberikan kuasa untuk menghakimi. Bagaimana menjaga diri kita supaya tidak menghakimi?
Berkacalah sebelum menghakimi. Setiap kesalahan merupakan kontribuasi banyak orang. Apakah kontribusi kita dalam kesalahan tersebut? Misalnya ketika kita meminta sesuatu kepada orang lain, lalu kita mendapatkan jauh berbeda dengan apayang kita minta. Bisa saja kita menyalahkan orang lain, mengambil posisi hakim dan mengetukkan palu,”Kamu salah. Kamu bodoh, hanya diminta seperti itu saja tidak bisa.” Cobalah terlebih dahulu pahami, jangan-jangan karena cara kita berkomunikasi yang tidak baik. Atau jangan-jangan kita meminta di waktu yang salah. Berdirilah di posisi orang tersebut supaya melihat sebenarnya masalah apa yang terjadi.
Adakah kasih di dalam diri kita? Sebelum kita mengatakan tentang orang lain, adakah kasih yang kita miliki kepada orang tersebut? Untuk apa kita berkata-kata? Ada kalanya seseorang berkata-kata tentang orang lain supaya dirinya puas. Yach..puas karena mengetahui dan membuktikan bahwa dirinya lebih baik daripada orang lain. Pengamatan saya hal ini sering dimiliki oleh orang yang melankolis, orang yang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dan ingin dirinya selalu lebih baik dari orang lain. Ada juga yang melakukannya supaya dia bisa menunjukan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kembali menunjukan bahwa dirinya lebih baik dari orang tersebut. Jika tidak ada kasih, lebih baik diam saja (saya masih belajar untuk hal ini).
Adakah kemarahan di dalam diri kita? Ketika seseorang menghina saya di depan umum, saya pun bereaksi mulai menghakimi orang tersebut. Ada kalanya masih di dalam forum juga ada kalanya sudah di luar forum. Penghakiman pun mulai saya lakukan. Semua itu dilakukan karena ada kemarahan di dalam diri saya. Kemarahan itu baik jika kita bisa mengendalikannya tetapi merusak jika sudah diluar kendali kita.
Apakah kita merasa paling benar? Jika perasaan bahwa kita paling tahu, paling benar, dan paling berkuasa, maka sebaiknya kita diam saja. Sering kali hal ini juga memancing saya untuk berkata-kata tentang apa yang saya tahu. Misalnya, saya menemukan atau mempelajari sebuah teori lalu menganggap di luar teori tersebut maka salah. Cara Tuhan bekerja sangat tidak terbatas. Ada kalanya sebuah metode atau teori dianggap salah tetapi hasilnya snagat bagus. Begitu juga apapun yang kita yakini benar, belum tentu benar buat orang lain. Perasaan paling benar ini sangat berbahaya dan memancing kita untuk menghakimi ornag lain.
Apakah kita sedang membantu orang tersebut? Ketika saya bertemu dengan orang yang saya ceritakan diatas, saya menegur dia dengan sangat keras. Saya sedang membantu dia supaya dia bisa kembali kepada Tuhan. Tetapi saya sangat berhati-hati supaya bantuan saya ini tidak dalam bentuk menghakimi. Jika saya mengatakan kepadanya,”Kamu tidak mungkin berubah,” maka saya sudah mulai menghakimi.
Hanya Tuhan Allahlah yang berhak untuk menghakimi umatNya. Tetapi ketika saya memahami tentang Allah, saya sendiri menyadari bahwa Allah tidak sepenuhnya menggunakan hakNya untuk menghakimi. Sebelum Dia menghakimi umatNya, Dia memberikan solusi kepada kita supaya tetap bisa lolos dari hukuman. Dia berikan PutraNya supaya kita terselamatkan dari penghakiman. Hal yang sama seharusnya saya lakukan. Saya memberikan solusi terlebih dahulu, saya rela mengorbankan diri saya sendiri sebelum melakukan penghakiman. Penghakiman bukan lagi masalah adil atau tidak adil, benar atau tidak benar. Penghakiman dilakukan tetapi terlebih dahulu ada pengampunan. Barangsiapa menerima pengampunan tersebut maka dia bebas dari penghakiman.
Sudahkah saya memberikan pengampunan sebelum saya mengambil posisi sebagai hakim? Sudahkah saya mengorbankan sesuatu supaya yang dihakimi menjadi benar dan terbukti tidak bersalah? Memang kita tidak boleh menghakimi tetapi jika sampai kita menghakimi, apakah kita sudah memberikan pengampunan sebelum penghakiman?
Saya belum bisa dan saya harus belajar. Saya berharap tulisan ini tidak menghakimi.
Bandung, 13 Januari 2008.
Small thing,deep impact
- Sri Libe Suryapusoro's blog
- 6092 reads
cUcok banget..jgn menghakimi
orang Bali
Small thing,deep impact
bahan bacaan teman minum kopi buat mas libe :-)
Menghakimi atau menegur"
semua baik
syalom pak Libe, cara kerja Tuhan memang ajaib dan tidak terbatas yah pak.
Mungkin menghakimi itu tidak selalu jelek. Dari pihak yang dihakimi, saya kenal orang-orang yang imannya semakin kuat setelah penghakiman (terlepas dari apapun motivasi si penghakim), dan bahkan bisa menjadi berkat buat orang lain. Mereka percaya bahwa semua yang terjadi adalah atas sepengetahuan dan seijin Tuhan, maka itu baik adanya.
Tuhan Yesus ahlinya mendatangkan kebaikan dari segala yang buruk/jelek, penghakiman yang kejam bisa saja blessing buat yang lain.
Tulisan pak Libe penuh pertimbangan dan halus, saya percaya bapak hakim yang ber-empati. Jangan berhenti menghakimi yah pak, someone somewhere maybe need it. Apakah sudah atau belum melepaskan pengampunan? Menurut saya biarlah Tuhan yang merubahnya menjadi kebaikan bagi sang hakim maupun yang dihakimi.
(Pak Libe, happy bday yah... Gbu)