Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Anak Ku.. Ratapan Mu, Airmata Ku
Anak Ku.. Ratapan Mu, Airmata Ku
Bicara ratapan dan air mata di dunia sekarang, mungkin kurang populer. Bicara menjadi yang terbaik, yang terkuat, yang terpintar, yang paling benar, yang paling berhasil, yang menang, yang paling paham kebenaran jauh lebih populer. Namun karena Kitab Tuhanku berisi banyak ratapan dan air mata, maka biarkanlah aku menangis.
Semalam aku membaca kitab Ratapan Yeremia, dan aku teringat pengalaman beberapa waktu yang lalu yang akan kutulis disini.
Malam itu anak-anakku bermain bersama. Aku sedang memandangi anak keduaku, Tev (3 th) bermain-main dengan si bungsu Yo (<1 th).
Tev tiba-tiba dengan kasar merebut mainan yang sedang dipegang Yo. Bayi mungilku tidak dapat membalas dan hanya bisa menangis.
Sebagai orang tua yang baik, tentu saja aku harus menegur, "Tev, kembalikan mainan itu".
Tev tidak mempedulikan aku, malah memasang wajah cemberut dan memalingkan muka. Aku mengulangi teguranku beberapa kali.
Tiba-tiba Tev melemparkan mainan itu ke muka adiknya. Mainan itu membentur kepala Yos, membuatnya menangis lebih keras karena kaget dan sakit.
"Tev, kenapa kamu lempar?", tegurku.
Tev, tidak mempedulikan aku, malah menangis.
"Tev, ambil mainan itu, dan minta maaf !", perintahku.
Tev tidak mau. Kuulangi beberapa kali dan Tev menjawab dengan memperbesar suara tangisannya.
Cukup sudah, batas kesabaranku habis.
"Tev, diam. Ambil mainan itu dan minta maaf ! Kalau tidak nanti kamu harus berdiri di turtle !", aku memberi ultinatum.
Turtle adalah kura-kura peliharaan Tev, diletakkan dalam akuarium kecil di pojok ruangan. Berdiri di turtle, adalah disiplin terhadap ketidaktaatan, bentuk disiplin yang sudah dipahami Tev.
"NGGAK MAU," teriak Tev diantara tangisnya.
"Kalau tidak mau, ayo yang taat, ambil mainannya dan minta maaf !", kataku menahan diri.
Tev menjawab dengan menendang-nendang mainan lain dan menangis tambah keras. Beberapa kali kuulangi permintaanku. Tev tetap menolak untuk taat.
Aku mengangkat Tev anak kedua yang kusayangi itu dengan sedikit paksa, dan kuberdirikan di tempat disiplin. Namun Tev tidak mau berdiri, ia menjatuhkan dirinya, dan bergulingan, menendang-nendang dan raung tangisnya ditambah dengan jerit melengking menjadi-jadi.
Vel (5 tahun), anak pertamaku, memperhatikan semua kejadian tersebut. Vel, sebagaimana umumnya anak-anak sering juga 'berkelahi' dengan Tev. Dan saat melampaui batas, Vel juga pernah mengalami disiplin serupa.
Vel memandangi Tev sedang melakukan ritual ekspresi pemberontakannya di tempat disiplin.
Biasanya Vel akan berkata, "Tuh.. ngga taat sih sama papa-mama, makanya dihukum".
Ucapan yang benar secara literal, namun sesungguhnya hatiku tidak ada di dalam perkataan tersebut.
Tapi hari ini secara tak terduga Vel mendekatiku dan berkata ,"Pa, kasihan Tev".
"Iya, Tev tidak taat, jadi harus berdiri disana", sahutku.
"Tapi kasihan Tev, pa.. tolongin Tev..", Vel mulai merengek dengan mata berkaca-kaca.
"Kalau Tev tidak minta maaf, maka adikmu itu tidak akan ditolong.", kataku menutup pembicaraan.
"De.. minta maaf sama papa..", desak Vel dengan suara keras kepada sang adik yang terus meraung-raung. Vel, sang kakak terus membujuk.
Aku tidak mempedulikannya. Kutinggalkan mereka berdua, dan masuk ke dalam kamar.
Selang beberapa waktu, Vel menyusul aku ke dalam kamar. Tampak air mata di pipinya , "Pa.. tolongin.. itu kasihan dede..", rengek Vel .
"Iya, suruh dede kamu minta maaf,.. nanti papa tolongin", kataku pada Vel.
Vel pergi meninggalkan aku. Sayub-sayub dari dalam kamar kudengar suara tangisan dua anak. Tangis Tev bercampur dengan tangis sang kakak Vel yang tidak kalah nyaring.
Tak lama kemudian, Vel kembali masuk ke kamar. Kali ini air matanya sudah mengalir deras.
Dengan suara tersedu-sedu dia mengadu,"Pa..,huuuu..hu.. dede ga mau minta maaf....hu..hu.. cici malah ditendang sama dede.. hu..hu....".
"Ya sudah, biar saja Tev disana", kataku.
"Pa.. tapi kasihan dede.. Pa.. tolongin kasihan...huu.uu..", kata Vel sambil tersedu.
"Kalau Tev tidak mau minta maaf, kamu biarkan saja.", jawabku menegakkan prinsip.
Vel berlari keluar kamar. Selang beberapa detik, kudengar seperti suara perkelahian bercampur suara jerit tangis.
Ketika aku masih berpikir apa yang terjadi, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Dan di depan pintu tampak pemandangan yang tak akan kulupakan.
Vel, sang kakak tampak susah-payah berjalan mundur sambil menyeret Tev masuk ke kamar. Tubuh Tev setengah terbaring di lantai, menjerit sambil meronta-ronta. Tev tampak kesakitan karena satu kakinya dipegang dua tangan sang kakak untuk diseret-seret. Satu kaki lagi tidak henti-henti menendang tangan sang kakak.
Vel tidak menyerah, sambil menangis dan menahan sakit, Vel berhasil membawa sang adik ke depanku. Bukan dengan menuntun atau menggendong, tapi dengan menyeret paksa.
Aku tertegun.
"Papa.. . ini Tev... kasihan Tev.... maafkan Tev... tolongin...", Vel meratap pilu.
Ratapan anakku, kini menjadi air mata yang membasahi hatiku. Aku berlutut memeluk Vel. Aku mengangkat Tev yang sedang tergeletak meronta dan kupeluk, "Papa sayang Tev". Aku menghapus air mata Vel, kubisikan juga padanya, "Jangan menagis lagi Vel, papa sayang Vel, dan sayang Tev".
Momen tersebut diriku seperti diselimuti suara , "Inilah ratapan yang dikehendaki Bapa, dari anak-anakNya".
RK, salam kenal
RK, sekedar sharing dengan Anda..
Pendisiplinan memang harus dan perlu karena itulah pembentukan untuk anak Anda. Melihat cerita di atas memang mengharukan, jika aku yang ditaruh sebagai posisi Anda yaitu ayah pasti terharu.Tapi seharusnya pendisiplinan Anda tidak berhenti walau derai air mata kedua anak Anda begitu hebat. Vel seorang yang tidak tahan hati melihat sang adik, Tev, mengalami pendisplinan. Vel melihat pendisiplinan sebagai sesuatu hukuman yang berat dan menyakitkan. Hati Vel lembut dan dia tidak tahan. Tapi bukan berarti Vel berada di jalur yang benar. Vel meminta ampun untuk Tev kepada Anda tanpa melihat dan mengerti arti pendisiplinan. Kenapa? Karena Vel belum cukup umur untuk tahu. Sekali lagi walau begitu bukan berarti Anda bisa membenarkan Vel. Justru momen ini tepat untuk mengajarkan Vel tentang pendisiplan melalui prosesnya Tev. Anda tidak perlu takut Vel tidak bisa melihat kasih Anda kepada Tev karena pada saat Tev tidak nakal saya yakin Anda juga mencurahkan kasih Anda sehingga Vel pun tahu.
Untuk Tev, Anda bisa melihat betapa kerasnya hati anak Anda yang satu itu. Dia tidak mau mengucapkan permohonan maaf apalagi benar-benar menyesali. Tev sang koleris berpandangan 'ini aku dan mauku'. Anak Anda harus didisiplinkan atau suatu saat Anda melihat dia lebih memberontak lagi. Tev tidak menggubris sang ayah, tidak menggubris sang adik dan juga tidak menggubris Vel sang kakak. Kenapa? karena dia adalah seorang anak yang keras. Dalam polesan yang benar maka anak Anda akan menjadi seorang yang ulet, berkemauan keras dan pantang menyerah. Hanya semasa mudanya bentuklah Tev.
Saudara RK coba renungkan baik ayat ini:
Ibr 12:5 Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; 6 karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." 7 Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? 8 Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang
Sdr. RK, janganlah takut mendisplinkan anak Anda. Ingat bahwa Allah juga memperlakukan kita seperti itu karena kasih. Pendisiplinan memang menyakitkan dan tidak mengenakkan tapi ujungnya adalah keindahan. Yang perlu Anda ingat adalah satu:
Displinkan anak Anda dengan KASIH Anda.
·siapa seperti Allah?·
·siapa seperti Allah?·
@whoislikegod
walau tulisan tersebut sama sekali bukan tentang mendidik anak, namun terima kasih atas komentarnya.