Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
TEOTWAWKI -- Sebuah Narasi
TEOTWAWKI = The End Of The World As We Know It
---
Akhir jaman selalu menjadi topik hangat di kalangan agama, bahkan di kalangan prakisi entertainment, dan atheists sekalipun. Begitulah isi obrolan kami di tengah-tengah break waktu itu, sesaat sebelum kami mengetahui bahwa kapal induk harus memutar arah karena perintah dari pusat.
" Ada apa?" Tanya saya
"Kita ke kordinat 46N 756656 613963!" Teriak atasan saya ketika dia berjalan terburu-buru, memberikan lokasi tersebut dalam satuan UTM, Universal Transverse Mercator.
Saya terdiam sejenak. Berusaha menghapal angka-angka tersebut dan mengkonversi ke dalam satuan WGS, World Geodatic System. Hati saya sudah agak tidak enak, karena kalau perhitungan saya benar, lokasi ini tidak jauh dari lintasan Equator, Asia Tenggara, tepatnya Indonesia.
Karena tidak sabar, saya pergi ke dek atas, supaya bisa menggunakan mesin kordinat untuk mencari lokasi yang tepat. Perut saya seperti terhantam martil, ketika berhasil mengetahui kordinat lokasi tersebut: 5° 33′ 0″ N, 95° 19′ 0″ E.
Saya mencari tahu siapa yang mendapatkan order untuk ikut dalam Baby Bird Farm, istilah yang digunakan untuk memakai helikopter dalam sebuh operasi. Semoga saya termasuk, demikian dalam hati saya.
Sedikit kecewa, setelah saya menemukan bahwa nama saya tidak termasuk di dalamnya. Tapi saya pikir saya harus menyatakan ke mereka kenapa saya harus ikut.
"Jelas karena ada hubungannya dengan background kamu, makanya kamu tidak boleh ikut" Demikian penjelasan salah satu atasan kapal
"Tapi ini bukan perang, ini kemanusiaan" Nada saya agak tinggi sedikit
"Ini hanya trip pertama kita, chopper bahkan tidak akan mendarat hari ini. Terlalu beresiko. Kita hanya menjatuhkan makanan darurat buat siapapun yang masih survive."
Penjelasan yang masuk akal. Dengan demikian saya berasumsi ini mungkin akan memakan waktu berhari-hari mungkin berminggu-minggu. Dan asumsi saya benar.
-----
4 Hari Kemudian
Saya sepertinya agak menyesal memaksakan diri untuk ikut pergi ke darat. Karena saya tidak tahu apakah saya tahan dengan pemandangan seperti ini. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Bau anyir dan bunyi lalat-lalat berterbangan membuat perut mual. Saya sempat melihat 1-2 sukarelawan dari Red Cross atau dari organisasi kemanusiaan yang lain yang menangis bahkan muntah, mereka tidak menyangka akan bertemu dengan kenyataan buruk seperti ini.
Teringat akan perkataan ibu saya, setiap kali melihat kejadian yang tidak mengenakkan, berdoa saja, kalau perlu berbahasa roh dengan pelan. Ibu saya adalah seorang dokter, dia sudah terbiasa melihat darah dan organ manusia. Tapi tidak berarti dia juga selalu terbiasa melihat hal-hal yang parah seperti ini. Buktinya dia juga sempat muntah setelah menjahit perut seseorang di mana usus orang tersebut sudah berceceran keluar.
Setelah dulu pernah saya doakan supaya mendapat karunia Roh Kudus, ibu saya selalu rajin berbahasa roh. Pernah saya tegur untuk membaca penggunaan bahasa roh di dalam surat-surat Paulus. Tapi ternyata itu tidak mengurangi ketekunannya untuk berbahasa roh, walaupun setidaknya di dalam kebaktian-kebaktian atau doa umum, beliau tampak menguasai diri. Tidak begitu adanya kalau sudah di dalam kamar. Saya bisa mencuri dengar, beliau berdoa di dalam bahasa lain. Apalagi kalau sudah panik, sepertinya gumaman beliau dalam berdoa jadi makin sering terdengar. Walaupun saya tidak di sana, tapi saya yakin beliau berbahasa roh sambil menjahit perut orang itu sambil menangis, dan akhirnya muntah. Pemandangan yang tidak enak tentunya, tapi entah kenapa, saya selalu tertawa setiap kali mendengar cerita yang satu itu dari ibu saya.
Apakah ini akhir jaman? Demikian pertanyaan yang berkecamuk yang ada di dalam kepala saya.
Ini bukan ratusan mayat lagi, tapi sudah ribuan. Untuk medis dan obat-obatan mungkin bisa dibantu oleh ratusan atau ribuan sukarelawan. Tapi mengurusi mayat-mayat, menggali timbunan puing-puing dan mencari orang-orang yang hilang, saya yakin ini butuh lebih dari buldozer dan alat berat lainnya untuk membereskan semua ini. Bisa menyelesaikannya dalam waktu 2-3 bulan saja perkiraan saya sudah termasuk sangat cepat
"We'll see." Demikian kata teman saya sewaktu saya ceritakan apa yang saya pikirkan saat itu.
----
Camp Echo, Gitmo
Tugas saya ternyata tidak berhenti di Kutaraja. Kaki saya sempat menapak di Guantanamo. Walaupun hanya melengkapi wawancara yang harus dilakukan dalam mother language, saya tetap merasa bahwa ada banyak hal yang tidak saya tahu mengenai hidup ini.
"Amerika adalah setan besar. Iblis. Anda harus tahu itu. Begitu Amerika hancur, agama kami akan menguasai seluruh dunia. Akhir jaman ditutup oleh kemenangan besar di pihak kami. Anda sebagai orang Indonesia harusnya malu, menyembah setan besar, percaya kepada agama sesat. Lihat pahlawan-pahlawan nasional. Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Diponegoro. Mereka semua berperang melawan penjajahan barat, mencegah supaya rakyat menjadi kafir."
Itulah salah satu dari sedikit yang saya dengar dari wawancara yang saya lakukan. Walaupun saya rekam dan saya catat, tapi di bagian tersebut yang mengganggu. Seandainya saya bisa membantah bagian tersebut, mungkin akan saya bantah. Saya akan ceritakan panjang lebar mengenai sejarah Indonesia pra-kemerdekaan, di mana tidak banyak orang tahu, atau setidaknya saya yakin dia tidak tahu. Sayang tugas saya bukan itu.
On second thought, mungkin kalau pun saya bantah, tidak akan menghasilkan apa-apa. Dia akan tetap percaya apa yang dia mau percaya. Satu hal yang menarik, dalam bagian tersebut dia menyinggung soal akhir jaman.
---
2010
Enam tahun setelah bencana tsunami di Asia Pasifik. Sejauh apa yang saya ingat, sudah ada gempa bumi di Nias, di Yogyakarta, di Irak, di India, dan dua bulan terakhir ini ada gempa bumi di Haiti dan Chili.
Para conspiracy theorists, end-times believers, tribulationists, pasti bersemangat dalam 6 tahun terakhir ini. Banyak hal yang terjadi, membuktikan bahwa apa yang mereka percaya akan segera terjadi. Belum lagi kalau ditambah dengan berbagai penelitian dan statistik yang mengatakn bahwa gempa bumi banyak terjadi tahun-tahun belakangan ini. Walaupun ada juga research dan statistik yang mengatakan bahwa jumlah dan tingkat gempa bumi yang terjadi dalam peradaban manusia justru berkurang di abad terakhir ini.
Hari ini, matahari tetap bersinar di pagi hari. Suara kicau burung tetap terdengar mengiringi keluarnya matahari.
Life goes on. Demikian kata banyak orang.
Sampai kapan? Mungkin sampai sebuah bencana terjadi. Dan life will go on again, setelah bencana tersebut mulai ditinggalkan orang-orang, karena sudah tertulis di dalam sejarah. Hidup akan berhenti lagi, dan akan berlanjut lagi. Terus begitu membentuk sebuah pattern.
Life goes on?
Yang pasti saya tidak punya jawabannya, dan tidak akan mencari jawabannya.
- PlainBread's blog
- Login to post comments
- 3939 reads