Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Samantha
Shalom saudaraku, minggu lalu saya berkesempatan menonton sebuah tayangan film yang bagus di HBO, judulnya adalah "Her" yang disutradarai oleh Spike Jonze (1). Pemeran utamanya hanya sedikit, di antaranya: Joaquin Phoenix (Theodore) dan Scarlett Johansson (Samantha). Berikut ini adalah tanggapan ringkas.
Humanoid
Mungkin kita sudah pernah mendengar tentang sebuah hotel di jepang yang menggunakan robot untuk seluruh staf, termasuk penyambut tamu dan front office. Di jepang juga robot diperkenalkan sebagai kawan dan pelayan bagi para lansia yang kesepian karena ditinggalkan oleh anak-anak mereka. Tentunya ini yang dimaksudkan sebagai robot humanoid, artinya mesin yang dirancang untuk dapat berperilaku dan berinteraksi dengan manusia.
Pertanyaan penting di sini bukan saja apakah robot akan menggantikan manusia, tetapi apakah yang membuat seorang manusia itu manusia? Jika kuping bisa diganti kuping buatan, tangan bisa diganti tangan buatan, kaki buatan, badan buatan, masihkah ia seorang manusia? Misalnya dalam film Robocop digambarkan hibrida antara robot dan manusia dengan apik. Demikian juga film Real Steel (Hugh Jackman) menggambarkan robot yang dapat menirukan gerakan manusia secara instan. Sementara itu film Chappie menggambarkan robot humanoid yang akhirnya menyelamatkan tuannya dari kematian dengan cara memindahkan kesadarannya ke robot yang lain.
Perasaan
Jika kita menjawab bahwa yang membuat manusia adalah manusia itu kesadarannya, akal budinya, dan perasaannya, maka kita masuk ke dalam pertanyaan berikutnya: bagaimana jika sebuah mesin atau sistem operasi dapat mensimulasikan interaksi yang bermakna dan penuh perasaan layaknya seorang manusia? Bolehkah kita menganggapnya sebagai seorang kawan?
Pertanyaan inilah yang digarap dengan apik oleh Spike Jonze dalam film Her. Film ini dibuat dengan setting drama tentang kehidupan seorang penulis surat cinta bernama Theodore yang sedang dalam mood melankolis akibat proses perceraian dengan istrinya. Meskipun pekerjaan sehari-harinya adalah menulis surat-surat dengan sentuhan emosi yang mendalam bagi orang lain, namun ia sendiri tidak menemukan pasangan yang dapat mengerti dirinya.
Lalu Theodore menemukan iklan tentang sistem operasi baru yang disebut OS1. Ia lalu memasangnya di komputer di rumah, dan ternyata komputer itu dapat berbicara. Kalau keledai Bileam dapat berbicara, rupanya komputer pun dapat berinteraksi dengan manusia. Theodore lalu menjalin persahabatan dengan sistem operasi yang memperkenalkan dirinya sebagai Samantha. Meskipun awalnya hubungan ini lumayan lancar, karena Samantha memberikan kesan seperti gadis baik-baik di sebelah rumah yang cerdas dan periang selain pintar menggubah komposisi lagu dengan piano, tapi Theodore mulai merasakan ada yang aneh dalam hubungan antara manusia-sistem operasi tersebut.
Mantan istri Theodore juga menyatakan bahwa Theodore tidak mau menghadapi persoalan emosional dalam pernikahan riil, dan hanya mencari semacam pelarian dengan hubungannya dengan sistem operasi komputer tersebut.
Akhirnya, Theodore mulai galau dan merenungkan apakah memang salah menjalin hubungan dengan sistem operasi. Akhir cerita bisa ditebak, Samantha akhirnya pamitan kepada Theodore dan mengatakan bahwa saat ini mereka belum siap akan hubungan yang serius antara manusia dan sistem operasi. Mungkin saja di masa depan nanti situasi akan berubah.
Kesan
Kesan saya, film ini sangat menarik karena menggambarkan persoalan kompleks yang dihadapi masyarakat modern yakni manusia cenderung begitu intens berinteraksi dengan berbagai mesin, termasuk laptop, smartphone, televisi, dan berbagai gawai (gadget) lainnya, sampai mereka lupa memberi waktu kepada sesamanya. Dalam tataran tertentu, mungkin mesin suatu hari nanti akan dapat menirukan kesadaran dan perasaan yang dimiliki manusia.
Lalu mesin-mesin termasuk sistem operasi, mobil, laptop dan smartphone akan menjadi makin interaktif, berperasaan, sensitif, autonomik bahkan dapat mengembangkan dialog yang bermakna tentang kehidupan. Sistem autonomik telah dikembangkan sejak tahun 1960an oleh NASA(2). Bahkan bukan tidak mungkin mengembangkan konsultan atau konselor serbabisa yang dapat membimbing manusia yang sedang dalam persoalan. Konselor virtual mungkin akan menerima bayaran yang lebih rendah dengan hasil yang konsisten. Tentang sistem operasi yang bisa berkomunikasi melalui suara, saya sudah cek bahwa itu sudah ada di pasaran, dan disebut: Intelligent Voice Operating System (IVOS), artinya sistem operasi yang bisa menerima perintah dengan metode pengenalan suara (voice recognition). Jadi boleh dibilang teknologi OS cerdas yang dapat berinteraksi layaknya seorang teman atau sahabat, mungkin tinggal beberapa tahun lagi akan dapat terwujud.
Pertanyaan spiritual yang akan muncul segera: jika konselor atau penghibur cerdas itu nantinya tersedia, maka pertanyaan besar bagi manusia modern adalah di manakah peran Tuhan dan Roh Kudus dalam hidupnya? Akankah manusia mencari penghiburan atas masalah-masalahnya dari sistem operasi, ketimbang Tuhan? Dari sudut pandang yang berbeda, Bjork (6) memberikan ulasan yang menarik tentang jiwa manusia baik dari aspek biblika maupun teknologi. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada konflik logika antara kecerdasan buatan dan doktrin tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Di sisi lain, ada pertanyaan apakah kesadaran (dan emosi) merupakan bagian dari proses biologi-kimia dalam tubuh kita. Lihat (7).
Penutup
Dari diskusi ini kiranya menjadi jelas, bahwa bukan tidak mungkin bahwa suatu hari nanti kita akan harus bergaul dengan robot atau sistem operasi yang peka dan penuh kesadaran layaknya seorang manusia (4)(5). Namun kadang-kadang manusia cenderung suka mencari jalan yang berliku dan ruwet untuk menemukan sesuatu yang sebenarnya bisa diperoleh dengan mudah. Ada cerita terkenal tentang riset puluhan ribu dolar oleh NASA sekitar tahun 90an untuk menemukan mekanisme pulpen yang tintanya bisa mengalir di ruang bebas gravitasi, setelah 10 tahun riset itu tidak berhasil. Ternyata rekan-rekan mereka astronot di Rusia sudah menemukan jawabannya: pensil.
Demikian juga, manusia modern mungkin menghabiskan riset jutaan dolar untuk mendapatkan robot yang bisa menjadi teman, atau bahkan sebuah sistem operasi. Padahal mereka bisa kembali ke solusi lama yaitu kembali kepada kakak atau adik atau pacar mereka, atau bahkan mereka bisa memelihara seekor anjing atau kucing.
Saya kira itu juga pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara Spike Jonze, sehingga di akhir film Her digambarkan bagaimana Theodore mencoba berdamai dengan istrinya, lalu kemudian kembali ke pacarnya yang lama sebelum dia menikah. Akhirnya, sebuah kisah cinta yang Platonik, melankolis, namun tetap bernuansa optimis.
Bagaimana pendapat Anda?
Jika ada pertanyaan atau komentar, silakan kirim ke email: victorchristianto@gmail.com
Version 1.0: 26 sept 2015, pk. 11:48. version 1.1: 27 sept, pk. 11:19. Version 1.2: 29 sept, pk. 1:51
VC
Note: trimakasih kepada Liana, Kevin, Daniel, dan Andrini.
Referensi:
(1) http://www.nytimes.com/2013/12/18/movies/her-directed-by-spike-jonze.html?_r=0
(2) Walt Truszkowski et al. Autonomous and autonomic systems: with application to NASA intelligent spacecraft operations and exploration systems. London: Springer-Verlag, 2009
(3) Robert Trappl and Paolo Petta (eds.). Creating personalities for synthetic actors: towards autonomous personality agents. Berlin: Springer-Verlag, 1997.
(4) Oleg Pensky & Kirill Chernikov. Fundamentals of mathematical theory of emotional robots. Perm: Perm State University, Russia, 2010
(5) Raul Arrabales Moreno et al. ConsScale: a plausible test for machine consciousness? Nokia Workshop on Machine Consciousness, 2008.
(6) Russell C. Bjork. Artificial Intelligence and the Soul. Perspectives on Science and Christian Faith, Volume 60, no. 2, june 2008
(7) John R. Searle. The mystery of consciousness. New York: The new york review of books, 1997.
-------
Sebelum saya posting di sini, saya meminta beberapa teman untuk memberikan komentar atas tulisan ini, berikut adalah sedikit di antara komentar yang masuk:
1. Daniel (lulusan pasca sarjana program komunikasi): Komentar saya: dihubungkan dg pendapat Foucault, apa sih definisi manusia dan ke-manusiaan itu sendiri? Kadang kita menjadi kabur dalam definisi tsb. Fisik manusia namun bertingkah bak binatang bagi manusia yg lain... Atau seekor anjing yg notebene binatang lebih memiliki belas kasih dan perasaan dg sang majikan ketimbang manusia sendiri. Seringkali kita menjadi mati rasa pula seperti robot saat ada org lain yg susah seperti kisah orang samaria yg murah hati.. Demikian komentar saya.
2. Kevin (mahasiswa semester 5 jurusan TI): artikelnya bgs sih pak, ya mnurutku scr pribadi sndri mmg tdk ada konflik antra kecerdasan buatan dgn kesadaran manusia, ttp yg prlu dsadari adlh bhw manusia lbh dr sekedar cerdas sja, tp jg adlh gmbr dan rupa Allah. Sebuah ciptaan tdk mungkin lbh kompleks dbanding penciptanya. Manusia mmg sdh bs mengembangkan teknologi sedemikian hebat, tp prlu diingat bhw apa yg bs dicipta oleh manusia tdk akan prnh lbh kompleks dr manusia itu sndri. kl kita aja udh takjub melihat bgmn teknologi udh dcipta sedemikian hebat, shrusnya kt ingat bhw makhluk yg luar biasa kompleks spt manusia bkn hasil evolusi, tp ciptaan Tuhan yg Maha Kuasa, dan bs takjub trhdp bgmn Tuhan mencipta diri kita masing2 dgn unik.
3. Andrini (siswi kelas 3 SMA): Menarik, hehehe. Jujur, sya juga pernah membayangkan bagaimana keadaan manusia dlm 20 thn mndatang... dlm bayangan saya, suatu saat.. mungkin manusia dpt hidup sndiri dan teknologi yg mrka punya, tapi yg membuat sya sndiri ketakutan.. apa mungkin ya jika suatu saat.. perasan manusia itu mati? Karena sudah digantikan dgn teknologi itu. Nah, sya berpikir, kmbali ke masing2 pribadi dlm mnggunakan kemajuan teknologi ini. Hehehe..
Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)
"we were born of the Light"
Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:
http://bit.ly/ApocalypseTV
visit also:
http://sttsati.academia.edu/VChristianto
http://bit.ly/infobatique
- victorc's blog
- Login to post comments
- 3685 reads