Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pengamalan Pancasila (2) (a tribute to hiskia22)
Pengamalan Pancasila
2.1. Mengenal T.B. Simatupang.
Almarhum Tahi Bonar Simatupang lahir pada tanggal 28 Januari 1920 di Sidikalang, Sumatera Utara. Pada Tahun 1940 – 1942 beliau menempuh pendidikan militer di Akademi Militer Bandung. Pada usia yang sangat muda, yaitu 29 tahun, beliau sudah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang R.I. (KSAP R.I). Pada tahun 1954 karena berbeda pendapat dengan presiden Soekarno beliau diberhentikan dari jabatannya. Dan setelah diberhentikan dari KSAP beliau menjabat sebagai Penasihat Menteri Pertahanan sampai tahun 1959. Ketika menjabat sebagai Penasihat Menteri, beliau mulai belajar teologi secara otodidak.
Setelah pensiun dari jabatannya yang terakhir ini beliau aktif dalam kegiatan Dewan Gereja – gereja Indonesia (DGI). Bahkan sempat menjabat sebagai ketua DGI. Dan kemudian beliau juga menjadi ketua Dewan Gereja – gereja se-Asia dan juga pernah menjabat sebagai ketua Dewan Gereja – gereja Dunia (DGD).
Beliau rajin menulis di harian Suara Pembaruan (sekarang Sinar Harapan). Beliau juga menulis beberapa buku. Akan tetapi sebagian besar karya beliau ada dalam bentuk esai – esai kecil.
2.2. Pemikiran T.B Simatupang Mengenai Pengamalan Pancasila.
Menurut almarhum pengamalan Pancasila sila pertama meliputi dua tugas, yaitu,
Pertama, adanya tugas bersama bagi golongan – golongan beragama untuk meletakan landasan moral, etik dan spiritual bagi pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Kedua, tugas bersama untuk membangun secara positif negara yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler, yaitu negara Pancasila.
[1]
Pendapat ini selaras denga isi ketetapan MPR no.II/ MPR/1988 tentang GBHN, pola umum Pelita V bagian pendahuluan butir 5.a. terbaca :
Pengamalan sila keTuhanan Yang Maha Esa yang antara lain mencakup tanggung jawab bersama dari semua golongan beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk secara terus menerus dan bersama – sama meletakan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
Kemudian khususnya bagi Kekristenan beliau melanjutkan,
Bagi teologi Kristen itu berarti mengembangkan pemikiran teologi yang pada satu pihak mempunyai landasan yang kuat dalam Alkitab dan pada pihak lain dengan bertolak dari Alkitab memberikan sumbangan yang dapat diterima oleh semua golongan umat beragama dalam rangka tugas bersama tadi, sebagai sumbangan pikiran yang memiliki kebenaran yang bersifat hakiki bagi setiap manusia, apapun agamanya.
[2]
Hal ini berarti setiap agama -khususnya Kristen- dituntut untuk memberikan sumbangan
pemikiran yang netral. Dalam arti tidak hanya bisa di gunakan bagi agama tertentu saja tetapi berlaku juga bagi semua umat beragama. Dengan demikian sumbangsih terebut tidak hanya bersifat agamis tetapi juga Pancasilais.
Kemudian pengamalan Pancasila sila ke dua harus bisa menlindungi hak – hak asasi manusia. Beliau mengatakan bahwa pengamalan sila ke dua adalah :
“… pada satu pihak menjamin, menghormati dan melindungi martabat dan hak – hak asasi dan aspirasi – aspirasi manusia yang melekat kepada dirinya sebagai makhluk yang luhur dan di pihak lain menjamin pula adanya pencegahan, pengawasan dan koreksi terhadap penyalah gunaan oleh manusia terrhadap mandat dan tanggung jawab yang dtierima dari Tuhan itu.”
[3]
Hal ini berarti menuntut suatu kehidupan manusia yang betul – betul beradap yang selalu bertidak dengan hati – hati dan senantiasa menghargai orang lain. Dengan demikian tindakan barbarisme yang membabi buta tanpa menghargai hak – hak orang lain tidak berlaku dalam negara Pancasila.
Kemudian pengamalan sila ketiga “... berarti menuntut adanya hak dan kewajiban dan tanggung jawab yang sama bagi tiap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Sebab diskriminasi bertentangan dengan peri kemanusiaan dan per keadilan.”
[4]
Disinggungnya perihal diskriminasi pada bagian ini karena diskriminasi bisa merusak persatuan Indonesia yang selama ini telah terjalin erat.
Pengamalan sila ke-empat menuntut peran agama untuk ambil bagian. Menurut beliau, “… tiap – tiap agama memberikan landasan bagi pertumbuhan demokrasi.”
[5]
Demokrasi membutuhkan kesiapan mental yang mantap. Jika salah satu pihak kalah dalam suatu pesta demokrasi maka pihak tesebut harus dengan lapang dada menerima kekalahan. Dan dalam hal ini agama turut berperan besar dalam membentuk manusia yang berjiwa besar.
Dalam pengamalan sila ke-lima beliau menuntut setiap agama untuk tidak hanya bekerja dalam dimensi operasional tetapi juga struktural. Karena menurut beliau selama ini pemikiran agama – agama mengenai keadilan hanyabersifat operasional saha dengan mengabaikan segi – segi struktural.
[6]
Khususnya bagi agama Kristen, beliau menekankan bahwa sumbangan pemikiran yang mengamalkan Pancasila harus bersifat positif, kreatif, kritis dan relistis.
[7]
Positif artinya terbuka terhadap yang baik. Kreatif berarti dalam kuat kuasa Roh Kudus menggantikan hal yang tidak berguna dengan yang baru atau menambahkan yang baru kepada yang sudah ada. Kritis berarti melihat sesuatu dalam terang Firman Tuhan. Dan realistis artinya sadar akan waktu dan batas – batas kenyataan dan tidak terbawa dalam impian yang kosong.
Dan yang menjadi penutup bagian ini sekaligus merupakan inti dari pemikiran beliau adalah :
“Sumbangan pikiran itu harus dekembangkan dalam perspektif iman Kristen dan memperoleh motivasi dan inspirasi iman Kristen. Namun sumbangan pikiran itu harus dapat ditawarkan kepada bangsa kita tidak selalu dengan cap “Kristen” melainkan sumbangan pikiran dalam rangka kemausiaan, ke-Indonesiaan dan ke-Pancasilaan kita bersama”
[8]
[1]
Simatipang,T.B.,Peran Agama – agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Membangun, Jakarta : BPK Gunung Mulia 1996.hal.27
- puellus's blog
- 13474 reads