Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
PAK GURU BEJO
Hujan di luar membuat suasana hati Bejo makin peka. Tanpa bisa ia tahan, setitik air mata terjatuh. Orang yang menciptakan lagu ini pasti sudah merasakan beratnya tugas guru, membuat Bejo merasa terharu. Apalagi anak-anak itu menyanyikannya dengan penuh perasaan. Dalam sanubari mereka, sudah terukir sebuah prasasti, tanpa guru, mereka tidak akan bisa menjadi presiden, menteri ataupun anggota DPR. Ini bukan sekedar lagu ciptaan Pak Guru Sartono. Bukan! Ini adalah lagu ungkapan hati setiap murid kepada para patriot bangsanya.
***
Guru adalah panggilan hidupnya. Panggilan karena ia memerlukan sebuah jaminan pekerjaan setelah lulus. Pengangguran dimana-mana, bahkan akhirnya, untuk menjadi guru, ia harus menyingkirkan banyak saingan. Ancaman pengangguran itu membuat lebih banyak orang memilih menjadi patriot pahlawan bangsa.
Guru sekolah dasar, itu pilihannya. Padahal dulu bercita-cita menjadi dokter. Semua orang sepertinya memang ingin menjadi dokter, tetapi akhirnya ia sadar, semua orang harus terbangun dari mimpi terindah sekalipun. Ia tahu, Bung Karno berkata, “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit,” tetapi sekarang ia menyadari, dirinya tidak memiliki sayap untuk menggantungkan cita-cita itu di langit. Kalaupun kuliah, ia hanya bisa masuk perguruan tinggi pas-pasan, lulusnyapun bakalan menjadi pengangguran. Mau ia kuliah di perguruan tinggi bergengsi, tetapi bukan hanya uang yang ia tidak punya, otak pun kurang mendukung. Maklum, kebanyakan minum air tajin.
Guru, pilihan yang tepat. Air sejuk di tengah gurun pasir. Ia sudah merasakan sekolah dasar. Sudah melihat kalau guru-gurunya tidak harus pintar. Mereka tinggal mendiktekan atau menulis di papan tulis apa yang tertulis di buku pelajaran. Begitu teliti, sampai koma dan titik tidak ketinggalan. Dan sama seperti ia dulu, murid tidak suka bertanya. Ingin cepat-cepat pulang, pantat terasa cepat sakit kalau kelamaan duduk di kursi kayu yang keras.
Bejo pun ikut ujian masuk PGSD. Hanya ada kesempatan untuk dua ratus orang, tetapi enam ribu orang mendaftar. Banyak juga ternyata peminat jadi guru, membuat Bejo sedikit ragu. Satu-satunya yang membuatnya sedikit terhibur, selama ujiannya jujur seperti yang dijanjikan, masih ada harapan. Orang-orang yang sangat pintar tidak berminat menjadi guru sekolah dasar, sehingga tingkat persaingannya tidak terlalu ketat. Merekalah yang bisa menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit -- menjadi dokter, arsitek, ahli hukum, dan ilmuwan dan pengusaha. Mereka yang tersisa, seperti Bejo, memilih menjadi guru sekolah dasar.
Orang tua Bejo punya kecemasan lain. Mereka ragu Bejo bisa ‘menang’ dengan cara jujur. Ayahnya menjual sebidang tanah di kampung, lalu menemui orang tata usaha, memberinya tiga juta. Si wanita berjanji akan mengembalikan uangnya kalau Bejo gagal masuk. “Satu sen pun, uangmu tidak akan berkurang waktu kukembalikan,” janjinya.
Ajaib, Bejo tidak termasuk dari enam ribu orang yang batal menjadi guru sekolah dasar. Tiga juta itupun melayang, padahal orang tata usaha itu tidak melakukan apa-apa. Ayah Bejo tidak pernah tahu, sudah tidak ada sistem jatah bagi pegawai rendahan. Dulu, memang ada, tetapi setelah ada istilah KKN, orang rendahan harus tahu diri saja.
Mereka menyembunyikan kenyataan ini.
Bejo pun kuliah. Banyak tugas terjemahan. Ia selalu tersenyum menerima tugas seperti ini. Mengira dosennya begitu gagap teknologi sehingga tidak tahu ada tombol Translate.
Apakah dosennya se-gaptek itu? Tidak! Mereka hanya berkata, "Sakarepmulah." Makalah yang tersampul rapi sudah cukup, mahasiswa mereka hanya akan mengajar anak sekolah dasar di pedalaman. Anak-anak yang hanya membutuhkan pelajaran membaca dan menulis-- pelajaran dasar di pendidikan dasar. Mereka ini pasti menjadi petani atau penyadap karet.
Bejo juga tidak peduli. "Sakarepmulah juga," katanya. Ia pernah bersekolah dasar. Menghafal nama-nama negara Asean, menebak letak Selat Madura dan Selat Malaka, serta mengingat tanggal, bulan dan tahunnya G30S-PKI. Ia juga pernah belajar sastra dengan menghafal nama-nama sastrawan angkatan Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan angkatan 66. Ia akan melakukan hal yang sama. Tetapi pelajarannya tidak akan ketinggalan jaman, ia, Bejo, akan selalu memakai buku pelajaran bertuliskan “Sesuai Kurikulum Terbaru”.
Bejo akhirnya benar-benar menjadi guru, agak gugup di hari pertamanya. Masuk kelas tiga itu dengan hati deg-degan. Ketakutan yang tidak perlu, murid-muridnya begitu manis, tidak seperti murid-murid di televisi. Tidak ada murid yang berani melempar guru dengan kertas di sini, sehingga Bejo bisa mengajar dengan tenang. Murid-murid yang manis ini menulis apa yang sudah ia tulis di papan tulis. Titik dan koma pun tidak ada yang hilang.
Ketika lonceng berbunyi, tidak ada anak yang langsung keluar, baru mereka berani keluar setelah Bejo menyuruh mereka keluar. Mereka begitu manis.
"Bagus sekali kamu mengajarnya,” kata kepala sekolahnya di teras ruang guru, “anak-anak sama sekali tidak ribut.”
"Terima kasih, Pak," jawab Bejo. Hatinya begitu berbunga, guru memang panggilan hidupnya. Ia bisa menguasai kelas dengan baik di hari pertama mengajar.
Ia telah memenuhi panggilan hidupnya. Sampai bertahun-tahun, selalu menikmati pekerjaannya dan selalu menitikkan air mata setiap kali mendengar lagu yang indah itu.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4593 reads