Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kaswargan
Debu jalanan sudah melekat erat di setiap jengkal bagian kakiku, tebal sudah telapak kakiku entah mungkin kaki ini sudah lupa empuknya sandal jepit, jalanan menempa kakiku menjadi roda tak kenal lelah berjalan sepanjang jalan ke mana kaki ini melangkah. Senasib dengan kakiku, pundakku… keras, tebal dan mulai muncul gundukan bukit kecil ‘punuk’, tak terhitung lagi sudah berapa ‘pikulan‘ yang menekannya dengan beban berat bergelayut.
Sudah tiga hari berlalu semenjak aku berangkat dari Mojokerto mencari minyak tanah untuk aku jual ke Tulungagung berharap mendapat sedikit untung. Perutku sudah mendendangkan irama tangis kelaparan, maklum semenjak berangkat aku belum merasakan nasi ‘tiwul’.Kemarin aku hanya mengganjal perutku dengan sedikit ketela rebus yang aku beli di warung dan berharap kenyangnya boleh bertahan sampai hari berikutnya.Kalo mujur bisa ketemu pohon ‘asem ranji’ yang tumbuh liar dipinggir jalan, bisa kupetik men jadi menu sarapan pagiku.Ini semua aku lakukan untuk istriku, untuk anak – anakku supaya mereka tidak terlalu kelaparan, berharap persediaan jagung selama seminggu tuk makan keluargaku tidak telat. Aku tahu mereka dirumah sana juga jarang sarapan.
Ini semua karena keadaan yang tak menentu, mencari pekerjaan sulitnya setengah mati, sawah dan ladangpun tidak bisa digarap karena susahnya air didapat dan hanya mengandalkan turunnya hujan. Ditambah lagi nasib petani penggarap seperti aku ini yang tidak banyak mendapatkan hasil karena pembagian hasil panen yang tidak seimbang dengan pemilik sawah.Hasil dari menggarap sawahpun masih harus dipotong karena hutangku pada pemilik sawah.Tapi mau bagaimana lagi yah…beginilah nasib orang kecil seperti aku dan keluargaku ini.
Ah…andai saja bapak tidak berkelakuan seperti itu, pasti sawah yang luas itu bisa menghidupi anak cucunya.Ya andai saja bapak tidak suka main perempuan dan kegemarannya mengoleksi istri sebanyak – banyaknya.Bapak menjual sawah sepetak demi sepetak untuk kawin lagi, terus menjual sawah – sawah itu untuk membelikan kain jarik dan gelang kalung para istri – istri mudanya.Mbok yang dari muda membantu bapak untuk ini semua malah di sia – siakan, kami anak – anaknya tidak diurus demi gamelan kesayangannya.
****
Syukurlah minyak tanah yang aku bawa ke Tulungagung mendapat untung lima puluh rupiah cukup untuk membeli jagung lima kilo, aku harap bisa tahan untuk pangan keluargaku selama seminggu.Gos Kasdi kakakku yang juga menyertai perjalananku ini mengusulkan untuk mampir dulu ke alas Kracil di Gunung Kelud.Di sana banyak ditemui rebung dan kunyit yang tumbuh liar bisa buat sangu pulang dijual di pasar Jombang lumayan buat tambah uang belanja.
Dari Tulungagung kami berjalan ke timur ke arah perbatasan Blitar dan Kediri hendak menuju arah hutan Kracil, sesampai di sisi barat hutan Kracil di kaki Gunung Kelud aku dan Gos Kasdi melewati jalan yang sedikit licin dan berlumpur sisa-sisa hujan mengguyur kawasan itu. Tiba-tiba seekor ular weling yang cukup besar melintas tepat melintang di depan jalan yang hendak kami lewati.
” Wan firasatku ga enak…” gumam Gos Kasdi padaku setelah melihat ular weling itu karena memang ada mitos bahwa jika perjalanan seseorang di hadang oleh ular weling maka di depan sana sudah menunggu aral rintangan yang mendatangkan bencana.
”Gos Di…masakan kita ini yang katanya sudah menjadi pendereke Gusti masih percaya dengan hal-hal takhayul seperti itu” timpalku. Bukankah hidup kita itu sudah ditebus-Nya jadi apapun yang terjadi di dalam hidup kita tak lepas dari perhitungan-Nya seperti yang sudah diajarkan pandito Untung dalam katekesasi sebelum aku dan Gos Di mengaku percaya menjadi pendereke Gusti Yesus.
Akhirnya aku dan Gos Di mantab melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan menuju alas Kracil dimana kami hendak mencari rebung hutan di kaki gunung Kelud.Entah tindakanku dan Gos Di ini termasuk bondo nekat atau karena terpaksa oleh tuntutan kebutuhan hidup, ya tuntutan tanggung jawab sebagai Adam yang harus bersusah payah mencari nafkah, sebagai bapak dan suami yang harus memberi makan anak dan istrinya.
Pesan mbok dan bapak yang selalu aku ingat hingga hari ini ialah “Ojo sok pek pinek barange liyan” yang juga sama dalam sepuluh hukum yang berbunyi “Janganlah kamu mencuri” dan pesan itu akan aku selalu pegang kemana aku pergi. Melihat ranumnya buah mangga atau pepaya yang menguning matang menggoda tuk dipetik, akupun akan bertahan untuk tak mengambilnya di pekarangan orang meski ketika perutku melilit kelaparan.
Gos Di dan aku sesampai di dalam hutan sudah sore menjelang ‘surop’ dengan rintik-rintik gerimis yang turun sisa hujan lebat. Bergegaslah kami memotongi rebung-rebung muda di bawah rindangnya bambu hutan ini dengan arit yang kami bawa dan kumasukan di dua karung sampai penuh. Ketika dirasa cukup rebung-rebung muda yang aku dan Gos Di hendak bawa pulang kami sempatkan ‘ngaso’ sejenak tuk sedikit menghilangkan penat kami.
“Ayo Gos kita lekas keluar dari hutan ini sebelum kemalaman disini”ajakanku, Gos Di balas mengangguk dan segera kami memikul rebung-rebung muda itu.
Srrraaapattt…. Kulihat sekelebat bayangan sesuatu yang tak ku ketahui itu apa, tapi rasa takut menyeruak membuat bulu kudukku berdiri.Aku dan Gos Di berdiri termangu sambil mata saling berpandangan bertanya-tanya apakah gerangan bayangan tadi. Akhirnya bayangan tadi muncul menampakkan wujudnya yang berupa seekor anjing hutan yang biasa disebut “asu hekk” oleh penduduk desa sekitar hutan ini.
Asu hekk sebenarnya bukan binatang seperti pada umumnya karena menurut cerita anjing ini adalah jenis anjing siluman atau jenis lelembut.Ia mempunyai tubuh yang pendek kurus dengan bulu-bulu gimbalnya, kepalanya kecil, mempunyai mata merah yang melotot, dari mulutnya terlihat taring-taring tajam yang menyeringai disertai air liur beracun menetes.
Menurut cerita, asu hekk biasanya terlihat oleh korbannya hanya seekor, tetapi ketika menyerang dengan sasaran jeroan korbannya disertai bunyi “hekkk…” maka seperti memberi komando kepada kawanannya munculah ratusan ekor asu hekk lainnya langsung mengeroyok korbannya dengan membabi buta.
Melihat sosok itu aku menjadi menggigil ketakutan diam tak bergerak, seketika itu juga mengalir deras keringat dingin dari sekujur tubuhku. Gos Di pun mengalami hal yang sama tampak dari raut wajahnya yang pucat pasi. Apalagi ketika asu hekk itu menyarap “hekk…” dan sekonyong-konyong ratusan kawanan anjing hutan siluman lainnya itu muncul entah dari mana. Kunaikkan doa kepada Gusti Yehuwa untuk meminta perlindungan dariNya dan aku memejamkan mata sambil merapal “sahadad kalih welas”:
1.Kawula pitados dhateng Allah Sang Rama, ingkang Mahakawasa, ingkang nitahaken langit kaliyan bumi.
2.Inggih pitados dhateng Yesus Kristus ingkang Putra ontang-anting, Gusti kawula.
3.Ingkang kabobotaken dening Roh Suci, miyos saking prawan Maryam.
4.Ingkang nandang sangsara nalika jumenengipun Pontius Pilatus, kasalib, nglampahi seda, lajeng kasarakaken, tumedhak dhateng ing teleng palimengan.
5.Ing tigang dintenipun wungu malih saking antawisipun tiyang pejah.
6.Lajeng sumengka dhateng ing swarga, pinarak wonten ing tengenipun Allah Sang Rama Ingkang Mahakawasa.
7.Saking ngriku inggih badhe rawuhipun ngadili tiyang ingkang gesang kaliyan ingkang pejah.
8.Kawula pitados dhateng Roh Suci.
9.Kawula pitados wontenipun pasamuwan Kristen satunggal ingkang suci sarta wradin, inggih patunggalipunh para suci.
10.Punapa-dene pangapuntening dosa.
11Tanginipun raga.
12.Sarta gesang langgeng.
Ammin
Ketika aku selesai berdoa dan membacakan pengakuan iman rasuli kucoba membuka mataku perlahan-lahan, kulihat anjing-anjing itu mengendus-ngendus beringas mencari korbannya yang tak lain adalah kami berdua. Aku tercengang dan menjadi heran mengapa mereka yang berlarian mengendus kesana kemari mengitari kami seperti tidak dapat melihat dan mengendus bau keberadaan kami berdua. Aku merasakan perasaan yang nyaman, aman walau ditengah marabahaya asu-asu hekk ini yang siap menerkam dan mencabik-cabik tubuh kami. Seperti ada sesuatu yang membentengi kami hingga indera penciuman asu hek tak mampu mengendus keberadaan kami. Malaikat Tuhan pasti di utus untuk melindungi kami dari asu hek yang ganas ini pikirku “Puji syukur konjuk dumateng Yehuwah Allah ingkang paring pangayoman dumateng kulo...”hatiku berseru.Kami masih tercengang dengan apa yang telah terjadi didepan kami. Setelah lama tak menemukan korbannya satu per satu asu hek itu menghilang ditengah rerimbunan alas pring ini. Setelah mengatur nafas dan kondisiku tenang, aku dan Gos Di segera meninggalkan hutan kracil yang sudah mulai gelap dengan langkah cepat dan berharap segera bisa keluar dari hutan ini dan menemukan sebuah perkampungan tuk kami bermalam.
“23:1 Masmur anggitané Dawud. Gusti Allah kuwi Pangènku, aku ora kekurangan apa-apa.
23:2 Aku diengon ing pangonan kang akèh suketé seger; aku digiring menyang papan kang banyuné anteng.
23:3 Aku diparingi kekuwatan anyar, lan dituntun menyang dalan sing bener, kaya sing dijanjèkaké.
23:4 Lakuku senajan ngambah dalan sing peteng dhedhet, aku ora wedi bebaya, margi Paduka celak kawula;gada lan teken ingkang Paduka asta, menika njagi kawula.
23:5 Paduka nata pasegahan kanggé kawula, wonten ing ngajenging para mengsah kawula. Paduka ngurmati kawula srana netepaken mawi lisah ing sirah kawula; tuwung kawula Paduka isi ngantos mencep-mencep.
23:6 Kasaénan lan sih Paduka tansah badhé ngiring lampah kawula salami kawula gesang, lan kawula badhé manggèn ing Pedaleman Paduka, selami-laminipun.
Bersambung….
- kaswan's blog
- Login to post comments
- 4684 reads