Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Sekolah Gratis Kacamata Gratis
Hampir 2 tahun saya mencari dana untuk menyantuni SPP mereka. Tetapi baru pada tanggal 7-Januari-2011 untuk pertama kalinya saya berdiri di depan mereka untuk menyampaikan Firman. Pelayan persekutuan Jumat kelompok kelas 3 dan 4 minta cuti selama bulan Januari-2011. Kesehatan ibu sepuh yang istri pendeta itu terganggu akibat seringnya hujan. Walau demikian anak-anak telah mengenal saya karena begitu saya memasuki kelas ini seorang meneriakkan aba-aba dan kemudian serentak mereka berteriak, “Selamat pagi, Pak Pur.”
Beberapa anak mengenakan kacamata dengan frame yang seragam bentuknya walau warnanya berbeda-beda. “Siapa yang sebelum liburan Natal mendapat kacamata tetapi hari ini tidak membawanya?” tanya saya. Enam anak mengacungkan tangan. “Mengapa tidak dibawa? Apa tidak enak dipakai?” Jawab mereka, “Lupa.”
- o -
Kamis malam tanggal 9 Desember telepon rumah berdering. Saya angkat dan terdengar suara perempuan yang tak saya akrabi. Setelah ia memperkenalkan diri tahulah saya dia seorang warga jemaat gereja dan pemilik sebuah salon kecantikan papan atas di kota ini. Ibu Helen bukan aktivis gereja. Jika berpapasan jalan kami hanya saling menganggukkan kepala tanpa bertegur sapa.
“Ada yayasan Kristen dari Jakarta yang care terhadap kesehatan mata anak-anak,” katanya. “Yayasan ini membagikan kacamata kepada anak-anak yang membutuhkannya. Tim yayasan ini ada di Semarang dan besok pagi mereka dijadwalkan ke kota lain. Tetapi karena sesuatu hal, lusa mereka harus kembali ke Jakarta. Karena itu target kerja esok hari mereka alihkan ke Semarang. Pak Pur ‘kan mengurusi SD Tabita? Bagaimana kalau besok mereka juga ke sekolah itu?”
“Saya tidak mengurusi sekolah itu, Bu,” saya menjelaskan. “Saya hanya sekedar mengumpulkan dana untuk menyantuni SPP mereka. Karena itu saya akan menghubungi kepala sekolahnya dulu. Malam ini juga saya akan menelepon Ibu. Omong-omong, Ibu tahu dari siapa saya tersangkut-paut dengan SD Tabita?”
Dia menyebut nama seorang majelis. Seingat saya, saya tak pernah membicarakan proyek SD gratis dengan orang itu. Lalu dari mana penatua ini mengetahuinya? Ah, itu nanti sajalah. Segera saya menelepon Kepsek menjelaskan tawaran ini. Kepsek yang baru ini bukan seperti sebelumnya yang berani cepat mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya. Ia bercerita tentang orang-orang yang pernah menawarkan bantuan gratis tetapi kemudian meminta biaya ini dan itu. Uang transportlah. Ongkos angkut baranglah. Karena itu dengan halus ia minta saya menyarankan yayasan berkirim surat agar ia bisa mempelajarinya terlebih dahulu.
Saya tertawa. “Pak, bagaimana mereka sempat menulis surat? Begini saja. Biar besok mereka datang. Bapak sendiri yang bertanya apakah pemberian kacamata ini tanpa pungutan biaya. Bila ya, terima saja. Bila tidak, usir mereka pergi.”
“Tetapi besok anak-anak masih mengerjakan testing akhir semester,” Kepsek berkilah. Ini saya tahu sehingga selama bulan Desember persekutuan Jumat siang saya liburkan.
“Suruh mereka menunggu. Kalau mereka tak sabar, persilakan mereka pergi. Tak usah sungkan. Sudah ya Pak. Saya tutup dulu telepon ini. Nanti saya telepon lagi.”
Langsung saya menelepon Ibu Helen merundingkan waktunya. Besok tim menargetkan 2 sekolah. Dia setuju SD Tabita ada di urutan ke-2 sehingga tim akan datang pada pukul 10.00 pagi. Saya melihat agenda saya. Besok pagi ada 2 acara yang harus saya kerjakan. Saya mencoretnya. Saya harus ada di SD Tabita untuk menjaga agar berkat ini tidak melayang hilang gara-gara birokrasi organisasi atau tata tertib administrasi.
Keesokan harinya tim itu datang pukul 10 lebih 30 menit. Mereka bercerita baru menyelesaikan tugasnya di SD Negeri yang berada di daerah tambak dan dari 80 anak ditemukan 29 anak yang butuh kacamata. Anak-anak yang diperiksa hanya kelas 6 dan 5 saja. Saya menjelaskan 2 kelas itu di SD ini hanya berjumlah 34 anak. Bagaimana bila ditambah kelas 4 yang berisi 26 anak? Mereka setuju.
Lalu mereka minta diantar melihat ruang guru. Sampai di ruang guru mereka terbengong. Mengapa? Ternyata mereka membutuhkan ruang lapang untuk menguji pandangan mata anak-anak. Ngomong dong dari tadi, gerutu saya dalam hati. Ruang guru ini memang penuh sesak dan berantakan. Kepsek mengajak mereka ke ruang TK. Ruang ini cukup lapang dan bangku-bangku kecil mudah dipindahkan. Mata mereka memandangi lantai yang tampak agak basah dan dinding kelas yang di beberapa tempat menggelembung.
“Ini daerah rob,” saya menjelaskan. “Lantai semua kelas 20 cm lebih rendah daripada halaman depan sekolah. Halaman sekolah lebih rendah daripada jalan dan pemukiman di sekitarnya. Hari ini agak lumayan karena ‘mata air’ yang biasa muncul di sana sini sedang mengering.”
Kepsek yang mendampingi saya berbisik, “Nanti waktu liburan Natal lantai kelas TK ini akan ditinggikan 30 senti dan ubinnya diganti keramik.”
“Sudah ada dananya?” tanya saya.
“Sudah. Pemkot menyumbang 50 juta rupiah.”
“Dari yayasan sekolah?”
Ia tertawa kecil. Dan itu cukup menjadi tanda bagi saya untuk tidak usil bertanya lebih lanjut.
Kepsek pergi ke kelas-kelas untuk memberitahu mereka yang sudah selesai mengerjakan testing agar langsung ke ruang TK untuk diperiksa matanya. Tim mempersiapkan diri. Di papan tulis mereka menggantung selembar karton yang bertuliskan huruf-huruf dari ukuran besar sampai kecil. Di dinding kelas mereka menggantungkan spanduk yayasan untuk foto dokumentasi. Tempat duduk ‘pasien’ diatur di tengah kelas. Satu meja kecil dipergunakan untuk memajang contoh kacamata dengan frame bermacam warna. Mengamati kesibukan mereka saya berpikir mengapa kegiatan ini tidak pernah terpikir oleh saya. Bukankah ini bisa dikerjakan sendiri? Panggil penjual kacamata yang biasa mangkal di Pasar Johar. Mereka punya kacamata penguji. Jika seluruh anak di SD ini yang berjumlah 100 orang misalnya harus memakai kacamata, biaya yang diperlukan 100 x Rp.15.000=Rp.1.5 juta. Jika membeli kwalitas lebih baik yang harganya 25 ribu rupiah hanya perlu dana 2.5 juta rupiah. Saya bilang ‘hanya’ karena jumlah itu masih di bawah santunan SPP yang harus saya siapkan setiap bulan.
Anak-anak yang telah selesai mengerjakan testing berdatangan ke ruang itu. Asyik melihat tingkah mereka. Seorang anak yang matanya bagus protes karena tidak boleh memilih contoh frame. “Kamu ini bagaimana? Bukannya bersyukur punya mata bagus malah mengomel. Apa mau punya mata yang harus pakai kacamata tebal?” kata guru yang membantu kami.
Anak ini berhahahihi. “Kalau begitu saya minta kacamata yang ukurannya nol,” katanya. Cerdas juga dia.
Yuda mengomel ketika kacamata penguji untuk kedua kalinya diganti kacanya.
“Percuma, percuma, aku tak bisa membaca tulisan itu.”
Petugas yang memeriksa kacamata yang biasanya dipakai Yuda berkata kepada rekannya, “Ini minus empat.” Guru yang ada di ruang itu bercerita 3 tahun yang lalu Yuda mendapat kacamata itu dari Rotary Club. Pemeriksaan matanya dilakukan di toko optik kelas satu. Orang tuanya mengambil kacamatanya di sebuah hotel berbintang.
Ketika untuk ketiga kalinya kaca penguji diganti, Yuda kembali mengomel, “Bapakku marah kalau nanti ia datang aku tidak ada di depan gerbang sekolah. Bapakku orang galak. Jangan salahkan aku kalau nanti ia membunyikan klakson motornya terus-terusan.”
Dokter yang ada di samping tempat duduknya tertawa.
“Kamu selalu stress ya? Di sekolah kamu stress?”
“Ya stress. Nilai ulanganku selalu jelek.”
“Pasti angkamu jelek karena kamu tidak bisa membaca tulisan di papan tulis. Gurumu juga marah karena kamu malas menyalin tulisan di papan tulis ke bukumu. Kalau kamu sedang ulangan, untuk melihat teman di sampingmu kamu harus mendekatkan mukamu ke wajahnya. Nah, gurumu marah lagi karena mengira kamu menyontek.”
“Memang guruku bakatnya galak,” katanya disambut tawa guru.
“Sudah di kelas kena marah terus di rumah kena marah lagi,” dokter menggodanya.
“Iya, betul. Kalau aku disuruh selalu saja sambil dimarahi. Katanya aku tidak bisa cepat.”
“Padahal kalau kamu cepat, kamu menabrak tembok,” dokter menimpalinya.
Yuda ngakak keras sekali.
“Ini sudah jelas belum?”
“Sudah.”
“Serius?”
“Ya.”
Dokter menulis di secarik kertas kecil. “Minus delapan!”
“Wah, itu tak perlu kacamata,” kata saya. “Pakai pantat botol sampo saja pasti pas.”
Yuda tak bisa berlama memelototi saya karena petugas di meja contoh frame memanggilnya. Kertas kecil yang didapat dari dokter diserahkan kepada petugas meja itu. Kode frame yang dipilihnya dibubuhkan di situ. Kacamata akan dikirimkan dari Jakarta seminggu lagi sebelum liburan Natal.
Ninik dari kelas 4 bertubuh kecil untuk anak seusianya. Agak lama dokter memeriksa matanya secara langsung karena kacamata penguji gagal menentukan ukuran minus atau plusnya.
“Anak ini untuk sementara waktu tidak perlu kacamata. Dia menderita katarak,” katanya.
“Anak bisa kena katarak?” tanya guru dengan heran.
Dokter memberi penjelasan panjang lebar. Setelah Ninik keluar dari ruang pemeriksaan saya mendekati guru itu. “Bu, rumah sakit Kristen di utara sekolah ini sedang mengadakan operasi katarak gratis. Sebaiknya Ibu memberitahu orang tua Ninik untuk segera mendaftar. Kalau nanti ditolak, hubungi saya. Kebetulan saya ada koneksi di dalam.”
“Dokter matanya?”
“Bukan. Direkturnya.”
Bukan karena saya orang hebat sehingga bisa mengenalnya. Dokter yang menjabat direktur rumah sakit itu warga jemaat gereja saya. Satu dua kali ketika mengantar jemaat yang sakit saya menelepon hape beliau memintanya ke front office untuk memberi jaminan karena saya tidak membawa uang untuk membayar uang muka rawat inap dan tidak membawa surat pengantar dari gereja. Ia mau mengerti gereja butuh waktu lama untuk menerbitkan surat pengantar sementara kondisi pasien sudah kritis. Bahkan suatu kali beliau menyarankan saya membuat sebuah yayasan penyantun kesehatan sedangkan ia yang mencarikan donasinya. “Daripada kamu dan teman-temanmu sering nombok pakai uang sendiri,” katanya.
Koneksi! Kata itu muncul kembali di otak saya ketika terpandang filling cabinet 3 laci di sudut ruang TK itu. Ketika mencari tambahan donatur untuk SD Gratis ini, saya menyodorkan sebundel proposal kepada seorang teman di gereja. Ia karyawan bank sentral dan hampir setiap bulan saya menitipkan sejumlah uang untuk ditukar dengan uang pecahan kecil. Ia menolak menerimanya dan berkata tidak akan jadi donatur SD Gratis ini. “Sudahlah, kamu bawa pulang dan masukkan ke tong sampah di depan rumahmu,” kata saya.
Ia bukan orang pelit. Hanya saja minat kami berbeda dalam diakonia. Ia lebih senang membiayai mahasiswa berprestasi tapi terancam drop out karena ketiadaan biaya tanpa peduli agamanya. Saya memberinya proposal agar ia tahu apa yang dibutuhkan oleh sekolah ini selain uang. Hanya itu. Project awareness! Ia pernah bercerita kantornya sering melakukan kegiatan amal.
Suatu malam ia menelepon saya berkabar kantornya akan mengapkir puluhan filling cabinet bekas. Kalau SD ini membutuhkan, Kepsek harus menulis proposal dan menyerahkannya sendiri ke bank itu. Tidak boleh diwakili.
“Kondisinya bagaimana? Jangan-jangan kalau dijual harus pakai timbangan karena pernah jatuh dari lantai tujuh.”
“Ini model lama. Masih pakai plat baja. Kamu injak-injak aku jamin tidak akan peot. Akan dicat ulang dan dibelikan kunci baru.”
Segera saya menghubungi Kepsek dan memintanya bersurat.
“Saya tidak menjamin sekolah ini akan mendapat lemari itu,” kata saya menjelaskan. “Dapat atau tidak, yang terpenting nama sekolah ini dan Ibu sebagai Kepseknya masuk dalam catatannya.”
Belum ada sebulan teman saya memberi saya fotokopi tanda terima 6 unit filling cabinet yang ditandatangani Kepsek pada saat acara penyerahan secara simbolik. “Kamu simpan kopi ini dan jaga jangan sampai ada lemari yang pindah ke luar sekolah,” katanya. “Dua hari lagi lemari ini akan dikirim oleh bank langsung ke sekolah tanpa memungut biaya.”
Melihat kondisi dan kwalitasnya jangankan para guru, saya sendiri yang tidak kekurangan lemari ingin memilikinya. Lamunan saya dibuyarkan oleh sebuah pertanyaan, “Kamu sudah kelas 6 tidak bisa membaca huruf yang di baris paling atas itu???”
Di kursi ‘pasien’ duduk seorang anak laki berpostur bongsor dengan wajah cengengesan sambil menggeleng-geleng kepalanya dan bola matanya bergerak ke kanan ke kiri. Anak-anak lain di bangku tunggu tertawa. Tidak ada seorang guru di ruang ini. Mereka pasti berkumpul di ruang guru.
Dokter berjalan ke papan tulis dan membalik karton. Sekarang deretan huruf berganti dengan deretan huruf E yang menghadap ke berbagai arah. Sambil jarinya menunjuk satu di antaranya ia bertanya, “Yang ini garpunya menghadap ke atas, ke bawah, ke kiri atau ke kanan?”
Sebagai ganti kata-kata, anak ini menggerak-gerakkan telunjuk tangannya menunjuk kakinya. Maka kemudian ia seperti polantas jaman dulu di tengah persimpangan jalan karena menjawab semua pertanyaan dengan menggerakkan tangannya ke kanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah.
Ketika akan memulai proyek sekolah gratis ini data diri Catur sudah membingungkan saya. Rumahnya di daerah Pecinan dan hanya berjarak tak lebih dari 1 kilometer dari SD Gratis milik kelenteng yang kondisi dan fasilitasnya jauh lebih baik daripada sekolah ini dan menginspirasi saya untuk mengusahakan santunan SPP untuk SD ini (lihat “Anda mau sekolah gratis?”). Tetapi orang tuanya yang Kristen menyekolahkannya di sini jauh dari rumah dan mengantar-jemputnya. Mungkin karena pertimbangan agama. Usianya saat itu hampir 16 tahun, usia anak kelas 1 SMA. Kepsek menjelaskan anak ini terlambat disekolahkan. Di SD ini bila anak bisa mengikuti pelajaran dalam setahun naik kelas 3 kalipun diperbolehkan. Memang Kepsek yang dulu itu boleh dikelompokkan dalam geng orang-orang mbeling yang tidak suka terikat peraturan resmi. “Ambil yang tersirat jangan yang tersurat,” katanya. “Saya tak mau ikut-ikutan menolak anak-anak yang terlambat bersekolah. Sekolah itu ‘kan harusnya untuk orang yang belum pintar. Cuma, murid kurang pintar atau terbelakang membuat guru bekerja lebih berat. Untuk tahu saja, murid-murid di sini menderita salah satu 3 K atau gabungannya: kurang uang, kurang otak, kurang ajar.”
Catur akan kehilangan kata-kata sampai tergagap-gagap bagai ikan kehabisan udara bila mendapat pertanyaan dengan nada tinggi. Sekarang ia duduk di kelas 6 dan bisa membaca Alkitab walau tidak cepat karena kesabaran pelayan persekutuan Jumat siang. Ia juga berani mengusili teman-temannya. Ketika guru kembali ke ruang ini dan melihat tingkah Catur, ia menggeleng-gelengkan kepala sambil menoleh ke arah saya. Mungkin ia heran mengapa saya tidak memberitahu dokter Catur tidak sebodoh sangkanya. Saya tertawa melihat tingkahnya tetapi tidak menertawakannya. Saya senang bercakap-cakap dengannya. Ia tak lagi minder seperti dulu.
Catur harus pakai kacamata minus. Di meja contoh frame ia mengambil yang berwarna pink dan mematut-matutkan diri di depan cermin. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya. “Aduh ‘cah bagus, warna pink itu cocoknya buat cewek. Kalau kamu mau terlihat lebih ganteng ambil yang ini,” katanya sambil menunjuk yang abu-abu. Catur menurut.
Dari 60 anak yang diperiksa 31 di antaranya harus memakai kacamata. Secara prosentasi ini jauh lebih banyak daripada SD di daerah tambak. Mungkin dikarenakan mereka menonton tivi dengan jarak pandang yang terlalu dekat karena rumah mereka sempit. Atau, mereka belajar di bawah penerangan lampu jalan seperti yang pernah saya lihat ketika suatu malam mengunjungi beberapa rumah mereka.
Karena masih punya waktu, dokter meminta para guru berkumpul untuk diperiksa juga. Sambil memeriksa mata para guru ia memberi ceramah tentang kesehatan mata.
“Lemari sudah dikirim. Kacamata sudah diberi. Berikutnya sumbangan apa, Pak Pur,” mendadak seorang guru bertanya kepada saya.
“Mudah-mudahan ada pabrik sepatu bot mau menyumbang seratus sepatu bot untuk anak-anak,” gurau saya. “Biar guru tidak keenakan kebanyakan libur gara-gara air rob menggenangi kelas.”
Hehehehehe.
(the end)
Catatan kaki: semua nama telah disamarkan.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5130 reads