Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menyimpan Sampah
Wajar saja bila kala musim hujan, hujan tumpah setiap hari. Sayangnya hujan yang memang wajar turun di Januari membuat pihak-pihak yang bertugas membuang sampah merasa wajar menunda membuang sampah hingga hujan reda. Alhasil, berhari-hari sudah sampah itu 'ngendon' di depan rumah menanti dipindahkan ke tempat lain.
Setelah sabar menunggu beberapa hari, akhirnya sampah itu terbuang juga. Lega rasanya. Terbuangnya sampah itu diiringi keluhan si pembuang sampah. "Wah, sampahnya sudah busuk dan berbelatung. Baunya minta ampun," begitu ujar si pembuang dalam bahasa Jawa krama. "Maklumlah, cuaca begini. Sampah gampang terurai," begitu sambut ibu sok bijaksana meski kemarin sempat marah karena jengkel melihat tumpukan sampah itu tak jua berpindah tempat.
Beruntung sampah itu hanya ada di luar tempat tinggalku. Jadi meski ia busuk bau berbelatung, ia dapat disingkirkan dengan mudah. Lalu bagaimana bila sampah itu ada di dalam diri kita. Wah, tentunya lebih sulit memindahkannya.
Sampah apa pula yang begitu betah 'ngendon' dalam diri kita? Sampah di depan rumah itu mengingatkanku pada kesalahan-kesalahan orang yang terus kusimpan dalam hati. Memaafkan bukanlah hal yang gampang dilakukan oleh beberapa orang. Perasaan yang tercabik-cabik yang hanya bisa disambut dengan frasa "kok tega ya?" yang terlontar penuh ketidakberdayaan tak begitu saja dapat terhapus. Setelah berliter-liter air mata, sepenggal kata maaf agaknya belum cukup menebus rasa sakit.
Sampah di depan rumah itu membawaku pada pencerahan. Menyimpan kesalahan orang pada kita tak ubahnya seperti menyimpan sampah dalam hati kita. Bila ia tidak dibuang, makin hari ia makin membusuk -- menebarkan penyakit dan bau tak sedap. Bahkan, lama kelamaan hati kita pun dapat lebur hancur bersama sampah itu. Semuanya berlangsung perlahan, dan kadang tanpa kita sadari.
Bila diibaratkan, hati mungkin serupa dengan wadah. Bila wadah itu kotor oleh sampah, maka semanis dan semurni apa pun air yang dimasukkan ke dalamnya maka air itu tetap tak dapat menyegarkan karena telah tercemar oleh sampah. Ya, menyimpan kesalahan orang lain pun dapat mencemari persepsi kita secara menyeluruh.
Ah, sekarang aku benar-benar mau membuang 'sampah-sampah' di hatiku. Biar dapat kupersembahkan sebentuk hati yang indah buat DIA. Dan mulailah bibirku memadahkan doa...
"dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami...."
- clara_anita's blog
- Login to post comments
- 4056 reads