Apakah Yesus sungguh-sungguh miskin? Kalau melihat profesi Yesus sebelum masuk dunia pelayanan secara full time, Dia dikenal sebagai seorang tukang kayu. Pada masa itu, keahlian seperti ini cukup terhormat dan mendatangkan rejeki yang lumayan. Apakah Dia bekerja tanpa dibayar? Atau Dia selalu menghabiskan penghasilan-Nya? Pertanyaan-pertanyaan "nakal" seperti ini rasanya tidak lazim ditemui di antara umat Kristen. Jarang sekali ada orang Kristen yang berani mengajukan pertanyaan pada pastor atau pendetanya seperti ini: Apakah Yesus pernah jatuh cinta? Bagaimana masa kecil Yesus? Apakah Dia selalu menang dalam permainan petak umpet? Bagaimanakah perasaan Yesus saat diludahi oleh tentara Romawi?
Sejak kecil, orang Kristen telah mendapatkan berbagai ajaran tentang iman Kristen. Entah itu di rumah, sekolah atau gereja. Akan tetapi ajaran-ajaran itu bersifat baku, yang kurang memberikan ruang untuk merenungkannya secara kritis. Ibarat anak kecil yang sedang disuapi, mereka diperintahkan supaya langsung menelan setiap makanan yang dijejalkan tanpa perlu mengunyah, mengecap dan mencoba kualitas dari makanan itu.
Penulis mengibaratkan fenomena seperti ini seperti film
Mr. Bean. Dalam pembukaan film komedi ini, kita melihat ada seberkas sinar kecil yang menyertai kejatuhan sosok
Mr. Bean, entah dari mana asalnya. Kita tidak pernah tahu darimanakah asal Pria lucu ini. Meski begitu, penonton tidak pernah memusingkan hal ini. Yang penting bagi mereka adalah menikmati kekonyolannya, dagelannya, dan perbuatan gilanya. Hampir sepeerti itulah pemahaman sebagian orang Kristen tentang Yesus. Pada awalnya, pengetahuan itu merupakan pasokan dari luar. Setiap hari Minggu mereka datang ke gereja untuk dibombardir dengan pemahaman teologis yang jatuh dari awan-awan. Orang-orang datang ke gereja untuk terus menerus diingatkan tentang dogma dan ajaran gereja: "Kamu tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus begini, harus begitu. Pokoknya otoritas gereja mengatakan begitu. Titik."
Dalam kristologi, pendekatan seperti ini dikenal sebagai "kristologi dari atas" (descending christology). Alhasil, umat memang taat pada asas dan dogma, tetapi sama sekali tidak mengenal Kristus yang mereka sembah. Pemutlakan dogma, membuat mereka takut untuk mencoba memahami Yesus secara kreatif. Daripada repot-repot, lebih baik datang kepada-Nya untuk minta disembuhkan dari penyakit, dibebaskan dari stress dan melihat mukjizat-mujizat-Nya. Mereka lebih tertarik melihat "perbuatan gila" Yesus, daripada mengenal Yesus.
Berbeda dengan Mr. Bean, kehebatan dan kegilaan dalam film James Bond telah dibingkai dalam kisah dengan alur yang jelas. Dalam film ini, kita bisa mengetahui lebih banyak tentang sosok Mr. Bond : mengenai asal-usulnya, misinya, relasinya, kecerdasannya, karakternya dan sebagainya. Penonton mempuniay informasi yang memadai tentang sosok mr Bond ini. Dalam scene tertentu penonton juga disodori fakta-fakta dan diajak untuk berpikir dan menebak misteri dalam film tersebut.
Film james Bond ini merupakan gambaran dari pendekatan "kristologi dari bawah" (ascending christology, historical approach). Pendekatan ini mencoba memahami Yesus secara historis, terlepas apakah dogma gereja mengatakannya, atau tidak. Titik berangkatnya adalah pengalaman perjumpaan dengan Yesus di dalam sejarah. Meski begitu, pendekatan ini tidak hendak menyangkal keilahian Yesus. Kristologi ini merupakan cara alternatif untuk memahami iman kjepada Yesus Kristus.
Buku ini merupakan hasil dari pergulatan alumni STF Driyarkara dalam menggali dan menemukan sosok Kristus. Suatu kali, dosen Universitasa Sanata Dharma ini begitu terusik dengan pertanyaan Yesus, kepada murid-murid-Nya: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Di dalam hatinya, seolah-olah pertanyaan itu berubah menjadi, "Bukan kata mereka, bukan kata pastor, kata suster, kata bruder, kata ahli sejarah, atau kata ahli kitab, tetapi katamu, siapakah Aku?" Kegelisahan itu mendorongnya untuk semakin mengenali sosok Yesusdari dekat dan menuangkan hasil refleksinya dalam sebuah buku. Dia ingin membagikan pengalaman pergulatannya itu pada siapa saja yang memiliki pertanyaan yang kurang lebih sama dalam mempersoalkan Yesus Kristus.
Di dalam buku ini, penulis berupaya mengupas sosok Yesus yang telah menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan perselisihan, tetapi juga menjadi sumber motivasi dan kekuatan begitu banyak orang. .Pada bagian pertama, penulis memaparkan berbagai problematika di seputar sosok Yesus. Bagian kedua, penulis mengenalkan dua pendekatan kristologi (dari atas dan dari bawah), lalu menawarkan fungsi simbol yang bisa menjembatani perbedaan kedua pendekatan itu. Menurutnya, tanpa memahami simbol, maka umat akan kesulitan memahami relevansi rumusan dogma dalam realitas kehidupan.
Bagian ketiga, terdapat paparan kronologis bagaimana kegilaan Yesus itu dipahami dan dirumuskan oleh para murid dan gereja purba, kemudian dilestarikan dalam bentuk tradisi gereja. Dalam perkembangannya, tradisi gereja ini memuncukanl suatu perdebatan tentang status Yesus Kristus: Apakah Dia itu manusia atau Tuhan? Pembahasan tentang status Yesus ini dikupas pada bagian keempat buku ini. Pada bagian kelima, penulis menjelaskan langkah-langkah untuk menerapkan kedua pendekatan tadi untuk memahami kristologi pada zaman sekarang. Bagian terakhir menunjukkan dimensi praksis dalam berkristologi.
Supaya bisa mengenal sosok Yesus, Setyawan mengajukan empat syarat yang perlu dimiliki orang Kristen: Syarat pertama, kita harus memiliki iman. Yang dimaksud iman di sini bukanlah sekadar mengamini dogma-dogma gereja begitu saja, melainkan suatu kehidupan rohani yang memiliki relasi personal dengan Yesus Kristus. Jika Anda ingin mengenal seseorang, tentu saja Anda terlebih dahulu harus menjalin hubungan dengan orang itu. Semakin dekat dan intens hubungan Anda dengan orang itu, maka semakin banyak Anda mengenal orang tersebut. Demikian pula, dalam mengenal Yesus. Mustahil bisa mengenal Yesus lebih dalam jika tidak disertai relasi yang akrab dengan-Nya.
Syarat kedua adalah meninggalkan cara berpikir dikotomis. Seringkali kita membuat dikotomi antara Allah dengan manusia, antara Pencipta dengan ciptaan, antara Hamba dengan tuan. Akibat dari pola pikir ini, kita cenderung menempatkan Allah di pojok ruangan atau di tempat yang jauh. Kita menganggap Allah hanya bersemayam di gereja atau ruang doa. Seolah-olah, Dia absen dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengganti cara pikir dikotomis ini, penulis menawarkan pendekatan pemikiran postmodern yang tidak lagi memisahkan antara subjek dan objek. Pembaca diajak supaya tidak membuat pemisahan secara ekstrim antara Allah dengan manusia. Allah bisa hadir dunia dalam berbagai rupa. Dia juga berkomunikasi dengan berbagai cara. Bisa saja Allah meminjam mulut orang lain untuk berbicara dengan kita. Mengutip Piet Schoonenberg, Allah berelasi dengan dunia ini dengan cara bekerja di dalam benda/makhluk ciptaan.
Syarat ketiga untuk mengenal Yesus, kita mesti mempunyai sikap pluralistis dan terbuka pada segala kemungkinan cara untuk mengenal Kristus. Karena perbedaan latar belakang dan keunikan manusia, maka dalam menangkap makna dan memahami sosok Yesus pun bisa menjadi berbeda-beda untuk setiap orang. Perbedaan ini perlu diakui dan disyukuri karena mungkin saja ada kebenaran di dalam cara pandang orang lain. Sikap ini dilandasi oleh keyakinan bahwa tidak seorang pun di dunia ini yang pernah mengetahui kebenaran Allah secara sempurna. Itu sebabnya kita perlu berpikiran terbuka dan menghargai adanya perbedaan pemahaman tentang sosok Yesus.
Keempat untuk menghindari dikotomi dan relativisme, kita perlu menggunakan cara berpikir relasional. Di dalam berpikir relasional ini, kita mempunyai kemampuan dalam menafsirkan inti dari iman kita dan menerapkannya dalam konteks yang plural. Dalam hal ini kita memerlukan iman yang kuat sehingga memiliki titik pijak yang kokoh di dalam menghadapi pluralitas. Jika tidak, maka kita hanya akan diombang-ambingkan oleh prinsip relativisme.
Mahasiswa program magister dan licensiat teologi ini merangkum keempat syarat tersebut menjadi satu ungkapan, yaitu sebuah kesadaran terhadap imbol. Orang yang memiliki kesadaran ini biasanya mempunyai kemampuan melihat sesuatu di balik realitas yang kelihatan. Dia mampu membaca makna yang tersirat (read between the lines). Orang Kristen perlu memiliki kesadaran terhadap simbol ini karena dalam ritus-ritus kekristenan seindiri sarat dengan simbol. Tanpa memiliki pemahaman ini, maka kesertaan mereka dalam setiap ritual pembaptisan, perjamuan kudus, misa, kebaktian dan ibadah lainnya menjadi sekadar sebuah kebiasaan (just business as usual).
Membaca buku inii, kita diajak untuk menemukan relevansi beriman kepada Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari.. Menurut Setyawan, memiliki pengetahuan tentang Kristus tidak ada gunanya jika kita tidak memiliki pengalaman bersama Kristus: "Kita akan memiliki pengalaman Kristus ketika kita dengan sepenuh hati memperjuangkan keadilan bagi sesama dan saat kita mengalami teror, kita rela menerima teror itu sebagai bagian dari salib. Kita akan memiliki pengalaman kristologis ketika mengalami kekecewaan hidup, situasi ambang batas, keraguan, ketakutan dan pada saat kita sungguh menyuarakan pembelaan kepada pihak-pihak yang terkena penindasan." (h.230).
Pengalaman itupun belum sepenuhnya disebut pengalaman kristologis, kalau kita belum mengalami kebangkitan. Ada banyak lembaga sosial yang memperjuangkan kaum tertindas. Tidak sedikit di antara mereka menjadi frustasi ketika usaha merelka dipersulitm ditekan, diftnah bahkan mengalami kekerasan. Hanya mereka yang mengalami kebangkitan dari frustasi dan tekanan ini yang bisa memiliki pengalaman kristologis. "Syaratnya tidak banyak, kita hanya perlu mengakui bahwa seluruh perjuangan kita ini ada di tataran fisik. Segala yang fisik akan dengan mudah menimbulkan konflik dan akhirnya berujung pada kehancuran." (231)
Buku ini bisa menjadi pintu bagi kaum awam untuk memasuki ruang studi tentang kristologi. Dengan cerdas, penulis berhasil mendaratkan konsep-konsep yang abstrak menggunakan analogi dan metafora sehingga lebih mudah dipahami. Dengan bahasa yang akrab dan memakai idiom-idiom yang ngepop, kita dipandu mengenal konsep-konsep teologi seperti soteriologi (keselamatan), eskatologi (akhir zaman), kenostisisme, dll. Sayangnya, di dalam hal Trinitas atau Tritunggal Allah, penulis tidak menjelaskannya dengan tuntas. Padahal di sinilah sering menjadi ganjalan dalam relasi umat kristiani dengan umat agama lain. Setyawan mengaku mengalami kesulitan mencari analogi yang pas untuk menjelaskan hal ini. Penulis menduga Trinitas ini merupakan misteri yang memang sengaja diciptakan Allah untuk memberi ruang terbuka bagi pertanyaan-pertanyaan yang tiada habisnya.
Akhirnya dengan memiliki pengetahuan yang memadai tentang Yesus, penulis berharap umat Kristen akan semakin kagum terhadap sosok Yesus dari Nazaret. Itulah sebabnya dia sengaja memberi judul "Orang Gila dari Nazaret." Yang dimaksud "gila" di sini adalah ucapan yang keluar dari orang yang berdecak kagum. Setelah mempelajari dan semakin mengenal sepak terjang Yesus, maka niscaya dari mulut orang itu keluar kata-kata: édan tènan atau gilé bènèr.
Judul Buku : Orang Gila dari Nazaret
Pengarang : A. Setyawan, S.J.
Penerbit : Kanisus, Yogyakarta
Tahun : 2005
Tebal : 289 halaman
Ukuran : 12,5 cm x 20 cm
__________________
------------
Communicating good news in good ways