Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
KUE LEKKER
Kue Lekker berbahan utama adonan dari terigu, tepung beras, telur, gula halus, vanila, garam dan air. Dijajakan berkeliling dengan sepeda atau motor yang membawa wajan dan kompor kecil. Adonan kuning itu dituangkan ke wajan, wajan digoyang berputar sehingga adonan melebar tipis. Ketika masakan setengah matang, ditengahnya dibubuhi irisan pisang atau ditaburi coklat meises, lalu dilipat dua, dipanaskan sampai matang. Sebiji dijual 1000 rupiah. Anak-anak SD menggemarinya.
Walau namanya pakai bahasa Belanda, kue ini bukan peninggalan pemerintah kolonial. Waktu aku masih SD kue ini belum ada. Bagi mereka yang belum tahu rasanya, bayangkan saja kue Crepes dalam bentuk sederhana.
Suatu ketika aku datang ke sebuah pesta pernikahan. Hidangannya prasmanan dalam bentuk pondok-pondok makanan. Ada pondok yang antriannya paling panjang. Aku mendekati dan di atas pondok itu tertulis “Lekker Paimo Loyola”. Inilah kue Lekker yang top-markotop di kota Semarang
Pada tahun 1978 dengan gerobak dorong Paimo menjual Lekker di depan SMA Kolese Loyola di Jalan Karanganyar. Tetapi dia tidak bertahan pada “format default” karena tahu siswa di SMA ini berasal dari berbagai strata ekonomi yang makin lama makin didenominasi oleh kelompok mapan. Maka pelan-pelan dia mulai membuat varian-varian baru. Bahkan saat ini kabar-kabarnya sudah ada varian kue Lekker-nya yang dibanderol hampir 20 ribu rupiah sebiji. Wooow, apa istimewanya?
Kue Lekker itu tebal dengan pilihan isi sosis, telur, jagung manis, abon, ikan tuna, atau keju mozarella. Gerobaknya selalu ramai dan tak perlu mengomel bila kita harus mengantri sampai setengah jam. Walau sudah laris manis dengan Lekker “high class”, Paimo masih menyediakan Lekker-format-default yang seribuan. Dia tidak melupakan dari mana dia mengawali bisnisnya. Dia tidak mau menelantarkan mereka yang hanya mampu membelanjakan uang seribu rupiah untuk memanjakan lidahnya dengan kue Lekker-nya .
Ah, omong-omong perihal Lekker Paimo jadi kangen bertemu dengan pendeta-pendeta yang seperti Paimo. Biar kelas-kelas katekisasinya paling tidak berisi 40 orang, masih saja dia mau melayani kelas katekisasi di sebuah lorong kecil yang hanya berisi 5 orang lanjut usia. Biar dia sering dijemput mobil berkelas untuk mendoakan orang sakit, masih saja dia mau bersepeda-motor masuk ke kampung untuk memenuhi permintaan seorang anggota jemaatnya mendoakan anaknya yang sakit. Walau dia sering memimpin seminar-seminar rohani dengan jumlah peserta paling tidak 200 orang, masih saja dia mau melayani retreat pemuda gereja kecil yang hanya mampu mengumpulkan 25 peserta.
Jadi ingat kepada seorang pendeta tamu yang melayani ibadah Minggu di gerejaku. Selesai ibadah aku menemuinya dan bertanya tentang kelas PA di gerejanya yang juga berlokasi di kota Semarang.
“O, sudah lama gereja kami tidak menyelenggarakan kelas PA,” jawabnya.
Aku terkejut. “Jadi kelas PA yang pernah ada itu ditutup? Mengapa?”
“Yang hadir hanya 50 orang. Tidak efektip dan efisien bila dibandingkan dengan jumlah rata-rata hadir seluruh jam ibadah Minggunya yang hampir 2500 orang.”
Aku melongo dan tidak berani bertanya lagi. Sebetulnya aku tidak boleh berharap setiap pendeta berkinerja seperti Paimo. Seharusnya aku mengerti pendeta adalah penggembala jiwa, bukan pedagang kue Lekker. Iya ‘kan?
** Semarang 15.05.2016
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4095 reads