Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Keuntungan Menjadi Orang Miskin
Siapa yang tidak mau kaya. Saya pun tidak menolak jika ditawari menjadi orang kaya. Namun entah mengapa, tampaknya Tuhan lebih menyukai orang miskin daripada orang kaya. Walaupun Abraham, Ishak, Boas, Daud, Salomo, Ayub, dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya adalah orang-orang kaya. Dan kenyataan sekarang ini banyak pengajaran yang diam-diam atau terang-terangan menyamakan menjadi kaya sama dengan kehidupannya diperkenan Tuhan.
Lalu mengapa ada teguran kepada orang kaya? Misalnya dalam Lukas 6:24, “Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu.” Atau apa maksud perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang berakhir tragis nasib si kaya (Lukas 16:19-31)? Padahal si kaya tidak diceritakan memperoleh kekayaannya dengan cara yang jahat: korupsi, bertindak curang, atau cara-cara licik lainnya.
Bahkan, Yesus pun memilih menjadi orang miskin, dari sekian banyak pilihan hidup di bumi, demi menyelamatkan umat manusia – anak tukang kayu yang hanya mampu mempersembahkan merpati di saat memberi persembahan wajib di Bait Allah. Kedatangan-Nya di dunia pun demi mengabarkan berita kesukaan kepada orang miskin (Lukas 4:18). Janda miskin lebih dipuji daripada orang kaya yang memberi persembahan (Markus 12:41-44). Bahkan orang miskin dianggap sebagai pewaris takhta Kerajaan Allah bersama-sama orang-orang yang mengasihi Dia (Yakobus 2:5).
Jadi ada rahasia apakah di balik orang-orang miskin? Mengapa mereka disebut sebagai orang berbahagia (Lukas 6:20)? Mengapa mereka mendapat semacam keistimewaan, Allah sendiri berdiri di sebelah kanan mereka menjadi pembela dan benteng (Mazmur 109:31)? Mengapa orang kaya tidak mendapat keistimewaan itu? Bahkan seorang kaya yang ingin mengikut Yesus pun diminta-Nya membagikan seluruh kekayaannya kepada orang miskin – yang berarti ia tidak berharta lagi, baru boleh menjadi pengikut-Nya – padahal kehidupan rohaninya nyata-nyata lebih bagus daripada kebanyakan kita (Markus 10:17-27)? Mengapa sepertinya mereka lebih beruntung daripada orang kaya?
Bukan maksud saya bersikap sinis terhadap kekayaan dan kepada orang kaya. Bukan maksud saya juga memuja kemiskinan dan orang-orang miskin. Seperti penulis Amsal mengatakan, “Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku” (Amsal 30:8). “Sebab si miskin pun ada kemungkinan mencuri dan mencemarkan nama Allah,” tuturnya kemudian.
Monika Hellwig menuliskan keuntungan menjadi orang miskin (saya menyadurnya dari buku Bukan Yesus yang Saya Kenal – Philip Yancey):
1. Orang miskin tahu mereka sangat membutuhkan penebusan.
2. Orang miskin bukan saja tahu mereka tergantung pada Tuhan dan orang yang berkuasa, tetapi mereka saling tergantung satu sama lain.
3. Orang miskin bukan menggantungkan rasa amannya pada harta benda, tetapi pada manusia.
4. Orang miskin tidak merasa dirinya keterlaluan penting dan tidak mempunyai kebutuhan berlebihan akan privacy.
5. Orang miskin tidak terlalu mengandalkan persaingan, tetapi mengandalkan kerja sama.
6. Orang miskin bisa membedakan antara kebutuhan dan kemewahan.
7. Orang miskin bisa menunggu, mereka telah memperoleh sejenis kesabaran panjang yang lahir dari kesadaran akan ketergantungan.
8. Ketakutan orang miskin lebih realistis dan tidak begitu dibesar-besarkan karena mereka tahu seseorang bisa bertahan hidup menghadapi penderitaan besar dan kekurangan.
9. Bila orang miskin mendengar Injil, itu kedengaran seperti kabar baik, bukan seperti ancaman atau teguran.
10. Orang miskin bisa menerima panggilan Injil untuk meninggalkan segalanya dengan totalitas penuh karena mereka akan kehilangan sedikit dan siap untuk menerima apa saja.
Mungkin karena itu, orang-orang Kristen abad pertama banyak yang menjual kekayaan mereka dan lebih memilih hidup dalam komunitas yang sederhana (Kisah Para Rasul 4:32-37). Namun entahlah, sepertinya gaya hidup semacam itu sudah tidak lagi dikenal di kalangan orang Kristen zaman sekarang. Seperti yang saya tulis di awal, jumlah uang yang dimiliki orang Kristen sebanding dengan tingkat imannya. Makin banyak kekayaan, berarti makin beriman. Makin miskin, makin tidak beriman. Benarkah?
- Bayu Probo's blog
- 6143 reads