Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kesasar di Singapura
Hidup pas-pasan itu ada enaknya, tapi ada tidak enaknya. Enaknya, pas ada keinginan ke luar negeri, eh pas ada yang menawari. Tidak enaknya adalah bisa bikin kaki kram.
Akhir bulan Februari, pak Iskandar Saher dari Pusat Pengembangan dan Pelayanan Holistik (P3H) menawari untuk mengikuti kursus Peacebuilding. Tanpa banyak membuang waktu, saya mengiyakan tawaran itu.
Peserta dari 40 negara lebih
Pelatihan ini diselenggarakan oleh The Mindanao Peacebuilding Institute (MPI), berupa 13 macam kursus perdamaian yang diklasifikasi menjadi tiga kategori, yaitu Dasar, Tematik dan Kunjungan Lapangan. Materi pelatihan disampaikan oleh narasumber berkompeten yang telah berpengalaman dalam mengangani berbagai konflik di berbagai negara.
Pada tahun ini, P3H bersama dengan CRWRC (The Christian Reformed World Relief Committee) mengirimkan 3 utusan, yaitu saya sendiri mewakili GKI Klaten, pdt. Erik Timoteus Purba dan Oki Hajiansyah Wahab dari Yayasan Bimbingan Mandiri, Yabima, Metro, Lampung. Selain CRWRC, peserta dari Indonesia juga diutus oleh Mennonite Central Committee (MCC) dan juga dari biaya pribadi. Total ada 12 orang dari Indonesia. Ada yang dari Medan, Lampung, Klaten, Salatiga, Solo, dan Papua. Jumlah ini adalah yang terbesar kedua setelah tuan rumah Fillipina. Peserta yang lain berasal dari India, Pakistan, Afganistan, Myanmar, Kamboja, Thailand, Papua Nugini, Nepal, Nigeria, Jepang, Jerman, Australia, Amerika, Inggris, Kanada, Timor Leste, dan lain-lain.
***
Hidup pas-pasan memang enak. Dalam hal perdamaian ini, hidup saya sepertinya memang pas dengan garis yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Sejak lama saya memang sudah meminati tentang perdamaian. Saat masih menjadi jurnalis, saya merasa prihatin melihat peran media yang justru memanas-manaskan situasi di daerah konflik. Saat itu sedang terjadi konflik antar kelompok agama di Ambon. Ada sebuah perusahaan media yang menerbitkan satu koran untuk kelompok Muslim dan menerbitkan satu koran untuk kelompok Kristen. Masing-masing koran cenderung untuk membangkitkan kebencian atas kelompok lain.
Kegelisahan itu saya tuangkan dalam sebuah tulisan tentang Jurnalisme Perdamaian. Salah satu titik kritis dalam jurnalisme adalah anggapan bahwa konflik itu memiliki nilai berita yang sangat penting. Itu sebabnya, dimana ada konflik, di situlah ada wartawan. Bagi saya, ini seperti burung pemakan bangkai yang berkerumun di sekitar hewan yang sedang terluka. Tulisan tersebut memenangkan hadiah ke-2 dalam Lomba Penulisan Essay yang diselenggarakan majalah Genta Kelana, Bandung, 2002.
Pelatihan penggunaan boneka di Bali
Garis hidup itu bergerak lagi, ketika saya mendapat kesempatan mengikuti pelatihan penggunaan boneka untuk kesiap-siagaan bencana, yang diselenggarakan oleh Yayasan Idep, di Bali. Salah satu materi dari pelatihan itu adalah tentang peace-building juga.
Garis hidup itu kembali bergerak manakalah terjadi gempa bumi di Tasikmalaya. Tim tanggap bencana GKI SW Jateng bekerja sama dengan CRWRC memutuskan untuk membangun 36 rumah inti (core-house). Tim tanggap bencana yang dibentuk itu diberi nama Derap Kemanusiaan dan Perdamaian. Pemilihan nama itu didorong oleh semangat untuk membangun perdamaian melalui karya-karya kemanusiaan.
Tim Derap Kemanusiaan dan Perdamaian ini juga bergerak ketika Merapi erupsi besar tahun 2010. Kami membuka tempat pengungsian yang menampung ribuan pengungsi. Ketika masa tanggap darurat selesai, kerja kemanusiaan dilanjutkan dengan penanaman lereng Merapi dengan menggandeng teman-teman lintas agama. Kami menamai komunitas ini sebagai “Mitra Multikultur Indonesia” atau disingkat menjadi MMI. Tapi MMI yang ini bukan MMI yang menyerang diskusi buku di LkiS itu. MMI yang kami bentuk ini justru mempromosikan toleransi, pedamaian dan multikulturalisme. Dengan dimotori oleh Gus Jazuli, dari pondok pesantren Pancasila Sakti, teman-teman dari berbagai agama membangun komunikasi dan persaudaraan. Aksi nyata yang sudah dilakukan adalah menanami lereng Merapi dengan 50.000 batang pohon.
***
Cerita di atas adalah tentang enaknya hidup pas-pasan. Tapi ada juga tidak enaknya hidup pas-pasan. Ceritanya begini: Dalam perjalanan ke Davao, saya harus menginap semalam di Singapura. Saya berangkat dari Jakarta bersama Oki Wahab dengan menumpang Singapore Airlines.
Pesawat kami mendarat di Changi pukul 21:40. Kami sudah mengatur agar bagasi dikirim langsung ke Davao. Jadi kami bisa langsung keluar dari bandara dengan hanya membawa ransel. Kami bergegas menuju tempat penginapan ke Hotel Chinatown. Oki sengaja memilih hotel ini karena berada di kawasan pecinan. “Di sini kita bisa membeli oleh-oleh yang murah, mas,” kata Oki,
Berbekal informasi dari teman yang tinggal di Singapura, kami disarankan naik MRT. Karena pengetahuan kami tentang Filipina yang pas-pasan, kami sempat bingung cara membeli tiket MRT. Oleh petugas, kami disuruh membeli di mesin otomatis tanpa menjelaskan caranya.
Selama beberapa menit kami bingung. Setelah mempelajari dengan seksama (maksudnya melihat orang lain yang membeli tiket), ternyata kami menekan stasiun tujuan pada layar sentuh. Selanjutnya mesin itu akan menghitung berapa yang harus kami bayar. Setelah itu memasukkan dollar Singapura ke celah sempit seperti pada ATM. Mesin ini memang canggih. Kalau yang dimasukkan itu uangnya berlebih, maka mesin akan memberikan kembaliannya. Mesin juga mengeluarkan tiket seukuran kartu nama. Kartu ini digunakan untuk masuk ke pintu peron. Caranya adalah dengan meletakannya pada sensor, maka pintu akan terbuka secara otomatis. Tidak ada kondektur yang akan memeriksa karcis. Semua serba otomatis.
Suasana dalam MRT
Masih lengang di dalam MRT. Kami mendapatkan tempat duduk. Namun pikiran masih gelisah karena tidak tahu harus turun dimana.
Di depan kami, ada tiga orang yang bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Wah kebetulan, ada yang bisa ditanya.
“Kalian turun di Tanah Merah, lalu naik MRT ke arah Joo Koon. Setelah turun di Central Park, naik MRT jalur merah,” saran mereka.
Kami menuruti.
Sesampai di Tanah Merah, kami berganti kereta. Di atas kereta, kami tanya ke seorang ibu. Dia menyarankan untuk turun di stasiun Tiong Bahru. Sementara itu, teman saya yang tinggal di Indonesia, menganjurkan turun di stasiun Outram. Kami bingung lagi. Turun dimana nih?Dengan beriman, kami memutuskan untuk memilih Outram Park.
Sekeluar dari stasiun, suasana sudah sepi. Jalanan lengang. Taxi dan bus sesekali melintas, tetapi jarang sekali terlihat kendaraan pribadi. Kami bertanya arah kepada seorang perempuan muda yang sedang duduk merokok di taman.
“Where is Chinatown Hotel?” tanya kami.
“Sorry I don’t know” jawabnya. Dan setiap kali kami bertanya kepada perempuan muda, mereka cenderung menghindar atau bilang tidak tahu. Kalau dalam bahasa Mandra, ‘Auk ah. Gelap!” Barangkali wajah kami terlihat lusuh dan menyeramkan sehingga mereka khawatir.
Seorang pria memberi petunjuk yang menenangkan, “Dekat kok. Setelah lampu merah kedua, belok kanan.” Kami berjalan sesuai arah yang diberikan. Tapi ternyata lampu merah kedua itu cukup jauh. Kami mulai bimbang. Lalu bertanya kepada orang lain. Dia memberi petunjuk yang lain lagi.
“Inilah seninya jalan-jalan di luarnegeri mas. Kita harus sering bertanya,” kata Oki dengan optimis.
Namun, setelah kami ikuti, ternyata petunjuk itu mengarah ke Santa Grand Chinatown di kawasan pecinan. Tapi bukan hotel ini yang kami cari. Lalu kami bertanya pada pedagang kami lima yang ada di situ. Eh ternyata orang Indonesia! Sayangnya dia tidak tahu arah. Temannya, seorang warga Singapura, memberi arah yang menuju tempat kami yang semula. Dengan lunglai, kami berjalan lagi. Semakin banyak yang ditanya, informasinya semakin membingungkan. Di pecinan itu kami berjumpa dengan backpacker Indonesia yang juga kesasar.
Betis kaki mulai protes. Meski hanya menggendong satu ransel, tapi isinya adalah laptop, kamera DSLR, kamera video, charger dan dua potong pakaian. Ditambah dengan berat badan, maka kaki harus menahan beban sekwintal. Tak ayal lagi, betis mulai kram. Dengan sedikit terpincang-pincang saya berusaha mengejar Oki yang lebih gesit berjalan.
Akhirnya di persimpangan lampu merah kami berhenti karena kehabisan akal. Kertas voucher hotel yang menjadi petunjuk kami telah kumal dan basah oleh keringat.
“Ayo kita kita telepon hotel saja.” Saya mengusulkan.
“Malam-malam begini kita beli simcard dimana?” tanya Oki.
“Coba aku lihat HP-ku. Barangkali bisa roaming di sini,” kataku sambil merogoh saku.
Eh ternyata bisa! Segera saja kutelepon pihak hotel untuk minta petunjuk arah.
“Anda ada dimana?” tanya pegawai hotel.
Saya menyebutkan sebuah nama toko.
“Menyeberang saja, maka Anda akan sampai.”
Inilah Chinatowon Hotel yang bikin kaki kram
Alamak, ternyata hotel ibaratnya di depan hidung kami. Pria pertama yang kami tanya sebenarnya sudah memberikan arah yang benar: Lampu merah kedua kanan! Namun ada kesalahpahaman. Dia memasukkan lampu merah di dekat kami itu sebagai lampu merah pertama. Sementara kami menghitungnya mulai dari lampu merah berikutnya. Ada selisih satu lampu merah. Akibatnya kami kesasar, berputar-putar menjelang tengah malam.
Kami masuk ke dalam hotel sudah lewat tengah malam. Oki masih ingin keluar untuk jalan-jalan, tapi saya sudah tidak ada tenaga lagi. Saya harus menghemat tenaga untuk 21 hari ke dapan. Satu-satunya keinginan saya adalah merebahkan punggung yang pegal dan meluruskan betis yang kram. Akhirnya Oki pergi sendirian diiringi suara petir yang menggelegar (bukan sok dramatis, tapi cuaca memang sedang mendung). Setengah jam kemudian, dia sudah balik ke kamar lagi karena tidak banyak hal menarik untuk dilihat. Kami pun segera terlelap. ---- Ini adalah bagian pertama dari serial tulisan perjalanan dan pengalaman pelatihan tentang Peace Building yang diselenggarakan oleh The Mindanao Peacebuilding Institute, di kota Davao, Fillipina selatan, tanggal 14 Mei-s/d 1 Juni 2012. Saya akan berusaha untuk mengupdate tulisan jika ada kesempatan.
----------------
Baca juga:
- Catatan Perjalanan: Kesasar di Singapura
- Peace Building Training Note
- Catatan Pelatihan “Peace Building” (1)
- Peace Zone di Filipina | Catatan Pelatihan “Peace Building” (2)
- Melongo di Davao
- Menyerap Metode Partisipatif dalam Pelatihan Peace Education
- Menyemai Perdamaian Batin [Oleh-oleh dari Filipina]
- Belajar Tentang Prinsip Belajar Orang Dewasa
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 5077 reads