Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kegagalan Eli di dalam Mendidik Anak bag. 3 (Habis) (ayubw)
Kegagalan Eli di dalam Mendidik Anak bag. 3 (Habis) Dipublikasi Artikel blog by ayubw BELAJAR DARI KEGAGALAN ELI DI DALAM MENDIDIK ANAK 3. Karena teladan yang tidak baik dari orangtua (2:29) BIS: "Jadi, mengapa engkau masih serakah melihat kurban-kurban yang sesuai dengan perintah-Ku, dipersembahkan bangsa-Ku kepada-Ku? Mengapa engkau Eli, lebih menghormati anak-anakmu daripada menghormati Aku, dan membiarkan mereka menggemukkan dirinya dengan bagian yang terbaik dari setiap persembahan bangsa-Ku kepada-Ku?" Apa yang dilakukan oleh Hofni dan Pinehas, sebenarnya mereka hanya mengikuti contoh atau teladan yang diberikan oleh ayahnya sendiri. Eli sendiri memandang dengan loba, serakah, tamak kepada korban yang diberikan kepada Allah. Bukan hanya itu saja, Eli bahkan menggemukkan dirinya dengan bagian yang terbaik dari dari setiap korban sajian umat Israel. Jadi kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Hofni dan Pinehas kalau mereka akhirnya bertumbuh menjadi anak-anak yang tamak, serakah dan curang. Tepatlah peribahasa yang mengatakan: "Like Father, like Son", "Kacang ninggal lanjaran", "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Ilustrasi: Doa Pendeta dan doa anak kecil Sdr. cerita ini menyatakan betapa hebatnya kekuatan sebuah teladan. Anak-anak seringkali menanggapi dan menitu apa yang dilakukan orang dewasa. Dan di sinilah pentingnya teladan bagi anak-anak. Dampak sebuah teladan/contoh jauh lebih efektif daripa ribuan kata-kata. Dan pada umumnya anak-anak kita akan melakukan apa yang kita katakan sampai mereka remaja (usia 15 tahun), tetapi di atas umur itu seorang anak akan melakukan apa yang dilakukan orangtuanya. Penginjil semilyar umat, Billy Graham berkata, "Orangtua sudah bebruat salah kalau mereka tidak berhasil menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka." Penutup: Beberapa tahun yang lalu, tim sosiolog dari negara bagian New York menyelidiki pengaruh yang ditimbulkan oleh kehidupan ayah terhadap anak-anak dan generasi penerusnya. Mereka menyelidik dua keluarga yang hidup dalam kurun waktu yang bersamaan di abad ke-18, yaitu Keluarga Max Jukes dan keluarga Jonathan Edwards. Max Jukes adalah orang yang tidak punya prinsip, ia juga bukan orang yang takut akan Tuhan. Ia menikah dengan orang yang tidak percaya. Dari catatan diketahui bahwa 1.200 dari keturunannya adalah: 440 orang hidup dalam pesta pora 310 orang menjadi gelandangan dan pengemis 190 orang menjadi pelacur 130 orang menjadi narapidana 100 orang menjadi pecandu minuman keras 60 orang mempunyai kebiasaan mencuri 55 orang menjadi korban pelecehan seks 7 orang menjadi pembunuh Tidak satu pun keturunan Jukes memberi kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Bahkan keluarga ini terkenal karena keburukannya dan secara kolektif telah merugikan negara bagian New York sebesar 1.200.000 dolar. Dan sama sekali tidak ada warisan yang diringgalkan. Sedangkan Jonathan Edwards adalah seorang pendeta. Ia pernah menghadirkan kebangunan rohani yang luar biasa di Amerika. Ia juga menjabat sebagai rektor Princeton College. Jonathan berasal darei keluarga yang taat dan takut akan Tuhan. Ia menikah dengan Sarah, seorang wanita yang sangat setia kepada Tuhan. Ia mempunyai 11 orang anak. Ia mengajar anak-anaknya sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, dan dari catatan diketahui bahwa dari 1.400 keturunannya: 300 orang menjadi pendeta, misionaris/guru besar di bidang teologi 120 orang menjadi profesor 110 orang menjadi pengacara 66 orang menjadi dokter lebih dari 60 orang menjadi pengarang buku bermutu 30 orang menjadi hakim agung 14 orang menjadi rektor universitas 3 orang menjadi anggota Kongres Amerika 3 orang menjadi walikota 3 orang menjadi pengawa kota 2 orang menjadi menteri keuangan 1 orang menjadi wakil presiden Amerika Serikat banyak yang lain menjadi pemilik pabrik di Amerika Sdr. kedua-duanya sama-sama memiliki banyak anak dan keturunan, tetapi keturunan mereka berbeda bahkan sangat bertolak belakang. Di mana letak perbedaannya? Jawabannya adalah terletak pada cara mereka mendidik anak-anak mereka. Jonathan Edwards mendidik anak-anak mereka hidup takut akan Tuhan sejak kecil, sedangkan Max Jukes tidak. Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln pernah berkata, "Saya tidak peduli siapa kakek saya; yang saya risaukan adalah akan jadi apa cucu saya nanti?" Pertanyaannya buat kita adalah kira-kira akan seperti apakah anak cucu kita kelak? Pengalaman adalah guru yang baik. Biarlah pagi ini kita mau belajar dari kegagalan keluarga Eli di dalam mendidik anak-anak. Oleh karena itu, marilah kita tegas di dalam mendidik anak-anak kita, mau meluangkan waktu untuk terlibat secara teratur dengan anak-anak kita dan sebagai orangtua kita menjadi teladan yg baik bagi mereka. Amin.
- 5468 reads