Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Ke mana kita pergi setelah meninggal?
Ellen
Johnson, ketua Perhimpunan Ateis Amerika, dalam wawancara di TV CNN, mengatakan
“Pada kenyataannya tidak ada satu pun
potongan bukti sekuler yang menunjukkan bahwa Yesus pernah ada. Jesus merupakan
gabungan pribadi sejumlah dewa: Osiris, Mithras yang keduanya memiliki asal
yang sama dengan kematian yang sama seperti cerita mitos tentang Jesus.”
Bahkan dalam sebuah tuntutan hukum terhadap Vatikan, gereja Katolik pernah
dituduh telah menciptakan kisah bohong tentang keberadaan Yesus. Meskipun kasus
hukum ini dibatalkan dalam bulan Februari 2006, namun sang Jaksa, Luigi
Cascioli, masih mengajukan permohonan banding. Untungnya, pada akhirnya kasus
pengadilan ini dihentikan oleh hakim pengadilan tinggi di Italia. Namun
demikian, beberapa cendekiawan tetap mempertanyakan keberadaan Yesus dan
beberapa musuh agama Kristen mencoba membuktikan bahwa Yesus itu tidak ada.
Seorang teman, dokter spesialis yang beragama Kristen, mengatakan kepada
saya, “Apakah Yesus ada atau tidak itu
bukan masalah. Kita tidak dapat membuktikannya karena tidak hidup di jamannya.
Yang penting bagi kita adalah jawaban atas pertanyaan apakah ajaran Yesus
relevan dengan kenyataan hidup sekarang ini?” Lebih lanjut teman saya itu
bercerita, “Bahkan seorang sahabat dari Australia mengatakan ketika dia diajak
berdoa sebelum makan, ‘For me, religion
is no but spiritual yes.” Sahabat itu datang ke Indonesia untuk
melaksanakan pelayanan kesehatan dan sosial pasca-Tsunami di Aceh dengan
uangnya sendiri. Dia menyumbangkan uang tabungannya kepada sesama dengan alasan
spiritual tetapi dirinya mengaku tidak beragama. Di negara-negara Barat,
kecenderungan untuk meninggalkan agama dan beralih kepada kegiatan spiritual yang
nyata seperti pelayanan sosial tampak semakin besar. Bahkan Bill Gates, seorang
pendiri Microsoft yang multimilyarder itu menyumbangkan sebagian besar
kekayaannya untuk lembaga sosial yang didirikan olehnya bersama isterinya. Hal
lain yang membuktikan penurunan kecenderungan beragama di negara Barat adalah
semakin kosongnya gereja-gereja di Barat. Sebagai gantinya, kelompok-kelompok meditasi,
Yoga dan berbagai ajaran pemberdayaan seperti New Age terus bertambah. Sementara gereja tradisional semakin
ditinggalkan kecuali gereja-gereja yang membentuk persekutuan karismatik dengan
model-model peribadatan yang menarik bagi kaum muda.
Apakah Yesus masih relevan pada jaman modern
ini?
Josh
McDowell merupakan salah seorang mahasiswa yang menganggap Yesus sebagai pemimpin agama yang ajaran-Nya mustahil untuk
diikuti. Menurut Josh, para pengikut Yesus memanggil-Nya sebagai rabbi di masa
lalu tetapi bagi kehidupan manusia di dunia Barat pada abad modern ini,
keberadaan Yesus sudah tidak relevan.
Pada sebuah perjamuan makan malam yang diselenggarakan oleh perhimpunan
mahasiswa, Josh duduk di sisi seorang mahasiswi yang terlihat sangat bahagia
dan bersemangat. Dia bertanya, “Mengapa
anda terlihat begitu bahagia?” “Karena
Yesus,” Jawab mahasiswi itu. Josh seketika menyanggahnya dengan berkata, “Oh, tolong jangan menyebutnya lagi. Saya
sungguh merasa jenuh dengan agama yang menimbulkan konflik di mana-mana. Orang
kerapkali bertengkar dan bahkan membunuh karena alasan agama.” Mahasiswi
ini tersenyum dan menjawabnya, “Saya kan
tidak mengatakan agama tetapi Yesus.”
Yesus merupakan figur religius dan jelas bukan bagian dari hipokrisi
religius masa kini. Dia memberikan makna penting bagi kehidupan orang yang
percaya kepada-Nya. Ketika kita mengetahui begitu luasnya galaksi yang disebut milky way (via-lactea) di mana bumi kita
laksana sebutir debu di dalamnya (milky
way hanya bisa terlihat dari satelit dalam jarak ratusan ribu tahun cahaya),
dan ketika kita mengetahui betapa rumitnya struktur terkecil partikel quark di dalam molekul DNA inti sel yang
merupakan batas terakhir kemampuan manusia modern untuk melihat dengan
menggunakan mikroskop elektron tercanggih, barulah kita menyadari keagungan
Allah yang telah menciptakan segalanya dengan begitu kompleks dan sempurna
sehingga tidak terlukiskan dengan kata-kata. Gambar milky way dan partikel quark
tersebut ternyata serupa, dan kenyataan ini memperlihatkan persamaan dengan proses
penciptaan manusia menurut gambar
Allah seperti dikatakan dalam Kejadian
1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar-Nya.”
Yesus juga menjawab pertanyaan besar
tentang eksistensi kita: “Siapakah aku
ini?””Mengapa aku hadir di dunia ini?””Ke manakah aku akan pergi ketika
meninggal nanti?” Meskipun banyak filsuf, cendekiawan dan para pemimpin
agama mencoba menjawab pertanyaan tentang makna hidup, namun hanya Yesus yang
mampu menjawabnya dengan kebangkitan-Nya dari kematian. Orang-orang skeptis
seperti Josh McDowell yang pada awalnya tidak mempercayai kebangkitan Yesus
akan menemukan bukti yang akan diakui kebenarannya. Yesus menawarkan makna
hidup sejati sebagai pengganti kehidupan sementara di dunia. Dia mengatakan
bahwa manusia pada umumnya hidup dengan mengejar kekayaan, mencari kesenangan
duniawi, memburu keberhasilan tetapi kemudian berakhir pada kematian. Seorang
dokter anestesi bekerja keras untuk mengumpulkan uang dan memenuhi semua
kebutuhan duniawinya dengan mengorbankan waktu bagi keluarganya dan bahkan
mengorbankan kesehatan dirinya sendiri untuk kemudian berakhir dengan
kematiannya yang tragis karena kematian itu terjadi mendadak tanpa didampingi anak-isterinya
sementara di kantung bajunya terdapat uang puluhan juta rupiah hasil kerja
kerasnya. Kisah ini mirip dengan perumpamaan yang Yesus berikan dalam Injil
Lukas 12:16-21.
Ke mana kita pergi setelah mati?
Manusia
selalu berpikir tentang kemungkinan untuk hidup abadi dan tidak pernah mati.
Cara-cara yang dilakukan mulai dari penggunaan berbagai formula untuk
memperpanjang usia seperti penyuntikan hormon pertumbuhan hingga pencangkokan
organ yang dibentuk lewat sel-sel punca tubuh sendiri agar tidak terjadi reaksi
penolakan. Organ ini diperoleh dengan pertama-tama mengambil sel-sel punca
(stem cells) dari tali pusat ketika bayi dilahirkan dan menyimpannya di dalam
bank sel punca dalam kondisi beku-dingin (suhu yang sangat rendah) untuk
kemudian sel-sel tersebut ditumbuhkan
menjadi organ yang dibutuhkan lewat cara cloning. Kita ketahui sel-sel tubuh
dapat memperbanyak diri lewat pembentukan protein dengan menggunakan informasi
yang tersimpan di dalam DNA-nya (seperti software dalam komputer yang menentukan
program selanjutnya). Misalnya, apabila ke dalam inti sel-sel punca tersebut
ditanamkan DNA yang berisi informasi tentang struktur dan fungsi sel paru, maka
sel-sel punca ini akan tumbuh dan berkembang menjadi sel-sel paru untuk
kemudian menyusun jaringan paru dan akhirnya akan terbentuk organ paru. Organ
paru ini bila dicangkokkan ke dalam tubuh tempat sel-sel punca itu diperoleh
tidak akan ditolak karena berasal dari tubuh itu sendiri.
Saya pernah menonton sebuah film
yang menceritakan bagaimana seorang profesor yang sangat jenius mencangkokkan
kepala manusia ke tubuh orang lain dengan tujuan untuk membuat manusia hidup
abadi. Demikian pula, sebuah buku novel karangan Allan Folsom yang berjudul The Day After Tomorrow menceritakan
bagaimana para pengikut setia Hitler menyimpan kepala Hitler dalam kondisi
beku-dingin untuk pada saat yang tepat dapat dicangkokkan pada tubuh manusia
hasil cloning agar Hitler dapat hidup
kembali. Untungnya pencangkokan
kepala tidak mungkin dilakukan karena serabut-serabut saraf akan mati ketika
dipotong sehingga tidak mungkin disambung kembali seperti halnya
serabut-serabut otot. Namun, kemampuan manusia melakukan cloning dan adanya kemungkinan menanamkan informasi dalam bentuk
DNA ke dalam sel-sel punca membuat saya berpikir, “Mungkinkah pada suatu saat manusia dapat mendownload data-data atau
informasi dari DNA sel-sel otak seseorang dan kemudian menguploadnya ke dalam
DNA sel-sel otak orang lain?” Jika jawabannya mungkin, maka manusia itu
tidak akan mati karena ketika tubuhnya rusak dan menua, semua ingatan,
perilaku, pengetahuan dan perasaannya yang tersimpan di dalam otaknya dapat
dipindahkan ke dalam otak manusia baru yang dibentuk lewat cloning dari sel-sel
tubuhnya sendiri. Barangkali pengetahuan berbahaya semacam inilah yang sudah
dipikirkan Allah dapat terjadi pada manusia hasil ciptaan-Nya sehingga di dalam
kitab Kejadian, Allah melarang manusia memakan buah pengetahuan (Kejadian 2:9
dan 2:17).
Kembali kepada pertanyaan “Siapakah aku ini?” dan “Mengapa aku ada?” ternyata kita tidak
mampu menjawabnya dengan logika semata. C.S. Lewis dalam masa pendidikannya di
perguruan tinggi menjauhi Yesus yang dianggapnya telah menghalangi keinginannya
untuk memperoleh kebebasan moral. Namun, pencariannya akan kebenaran telah menuntun
dirinya kepada Yesus. Lewis mengakui bahwa penerimaan akan Yesus membutuhkan
sesuatu yang melebihi kesepakatan intelektualnya dengan fakta yang ada. “Orang yang jatuh dalam hidupnya bukan hanya menjadi
mahluk yang tidak sempurna sehingga memerlukan penyempurnaan; tetapi, dia juga
merupakan seorang pemberontak yang harus menyerah. Menyerah serta minta maaf
karena sudah berjalan di jalan yang salah dan kemudian memulai hidup baru,
inilah yang disebut oleh para pengikut Kristus sebagai pertobatan.”
Colson, mantan tangan kanan dan penasihat
hukum Nixon dalam kasus Watergate
mengakui kebenaran pertobatan itu setelah membaca buku C.S Lewis “Mere Christianity”. Ketika menghadapi
kasus Watergate yang berat, dia mulai
berpikir tentang cara hidup yang lain. “Saya
sadar bahwa saat itu telah datang dalam hidup saya. Apakah saya harus, tanpa keraguan
sedikit pun, menerima Yesus sebagai Tuhan yang akan mengemudikan hidup saya?
Rasanya seperti ada sebuah pintu di depan saya.
Jelas saya tidak dapat berjalan balik atau menghindari pintu itu tetapi
ada dua alternatif yang bisa saya tempuh: melewatinya atau tetap berada di
luar.”
Setelah terjadi pergumulan dalam
hatinya, mantan pembantu presiden A.S. ini akhirnya menyadari bahwa Yesus
menuntut penyerahan total. Dia menulis dalam buku hariannya: “Begitulah ketika saya duduk di pantai pada
Jumat dini hari dan menatap laut yang begitu luas, entah bagaimana dari mulutku
keluar bisikan ‘Ya Yesus, aku percaya pada-Mu, Aku mau menerima-Mu. Masuklah
dalam hidupku. Aku akan mengerjakan semua kehendak-Mu.’” Akhirnya Colson
menemukan bahwa jawaban atas pertanyaan “Siapa
aku ini?” Mengapa aku ada di sini?” dan “Ke
mana aku akan pergi?” terdapat di dalam hubungan pribadinya dengan Yesus.
Rasul Paulus menulis dalam Efesus 1:11, “Aku
katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang
dijanjikan -- kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai
dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan
kehendak-Nya.” Ketika memasuki sebuah hubungan pribadi dengan-Nya, Yesus
akan mengisi kekosongan dalam diri kita, memberikan kita kedamaian dan menjawab
kebutuhan kita akan makna kehidupan dan harapan. Dia akan memuaskan kerinduan
dan kebutuhan kita akan kasih dan keselamatan yang sejati dan abadi. Dengan
demikian kita tidak akan berpikir ke mana kita akan pergi setelah mati nanti
atau berupaya keras untuk hidup abadi lewat berbagai cara seperti disebutkan di
atas karena menganggap kematian sebagai malapetaka yang mengerikan. Yesus
mengatakan dalam Johanes 10:10-11, “Akulah
pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat. Aku datang supaya mereka
mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
andryhart
- andryhart's blog
- 7412 reads