Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
JANGAN MENCANGKUL DI KAPLING ORANG
“Ada syarat dari kamu untuk aku dalam membantu orang-orangku?” tanyanya.
“Ada.”
“Apa?”
“Uang bea siswa yang aku berikan kepada orang-orangmu jangan kamu minta sepuluh prosen walaupun dengan alasan teologis.”
Dia tertawa, “Nylekitmu gak pernah hilang.”
Aku keluar dari sesi seminar di gereja sebelum usai karena mendadak dapat solusi atas masalah yang baru saja aku temui. Aku harus pergi ke rumah seorang perempuan dan aku lihat arlojiku sudah pk.19.00. Tak sopan bertamu ke rumah perempuan larut malam. Jadi aku meninggalkan gereja, masuk ke Kp Laban, menyeberangi Jl.MT Haryono langsung masuk ke kampung Karang Kebon Selatan dan terus ke timur, ke kawasan Petelan.
Pintu rumahnya masih terbuka. Di ruang tamu aku melihat beberapa orang ibu duduk di lantai beralaskan tikar sedangkan dia duduk di kursi sofa dan jarinya sedang menghitung uang dalam dompetnya. Di sebelahnya ada kibod. Rupanya dia akan melatih padus para ibu.
“Cik Lin, ada tamu,” kata seorang ibu.
“Siapa ya?” tanyanya sambil memandang ke arah pintu.
Sebelum ada yang menjawab, aku sudah langsung duduk di sofa, di sebelahnya.
Tanpa peduli ibu-ibu yang ada di ruang tamu itu, yang 2 di antaranya mengenal aku, aku bercerita kepadanya.
“Begini Lin, kebetulan kamu sedang menghitung uang. Aku mau berunding soal uang. Aku tadi ke rumah Dita anak pak Karman yang rumahnya di seberang kali mepet tembok belakang SD. Lewat kepsek smp-nya orang tuanya kirim surat permohonan beasiswa kepadaku. Tadi aku beritahu anaknya harus datang di kebaktian remaja gerejaku untuk mendapat beasiswa. Ibunya bilang anaknya sudah pergi ke kebaktian Minggu di 'gereja'nya Cik Lin. Dia juga cerita dapat beasiswa dari kamu 80 ribu setiap bulan. Aku suruh mereka memilih, Dita tetap ke persekutuan Minggumu ini atau ke gerejaku. Tetapi aku sarankan Dita berdiskusi dengan kamu.”
“Tetapi aku berubah pikiran. Aku tak boleh mencangkul di kapling orang. Kalau besok Minggu Dita datang bawa ‘Kartu Bukti Hadir di Ibadah Minggu’ yang berwarna kuning yang tadi aku berikan kepadanya, kamu tandatangani saja sebagai tanda dia menghadiri ibadah Minggu di persekutuanmu ini, bukan di gerejaku. Nanti setiap akhir bulan suruh dia mencari aku di gerejaku untuk mendapat tambahan beasiswa biar orang tuanya tak pusing lagi dengan spp-nya yang 168 ribu. Jelas ya?”
“Ya jelas,” jawabnya. “Kamu sudah berapa tahun tidak ke mari?”
“Kayaknya 5 tahunan ya waktu mamamu meninggal. Selain itu, beri aku data diri anak-anak anggota persekutuan minggumu yang sudah kamu santuni tetapi belum full spp. Lima anak saja cukup untuk aku punya alasan datang ke rumah ini setiap akhir bulan ngapeli kamu.”
“Ngapeli aku apa ciciku?”
“Ha ha ha ha, itu tahap berikutnya.”
Bukan main daya ingat Cik Lin ini. Selama berbicara aku tidak menyebut namaku, juga 2 ibu yang nengenalku, tetapi dia tahu siapa aku. Dan aku bicara soal kartu berwarna kuning dan tandatangan seolah-olah tidak tahu lawan bicaraku adalah tunanetra!
Dulu waktu masih SMA aku sering ke mari karena cicinya satu kelas denganku. Dia baru berumur 5 tahun dan sering aku gendong-gendong. Saat itu dia masih bisa melihat benda yang berjarak tak lebih 30 senti dari matanya. Sejak bayi lobang retinanya sempit sekali dan makin menutup.
“Aku minta nomor hapemu,” katanya sambil mengeluarkan hapenya.
“Biar cepat kamu saja yang menyebut nomor hapemu dan aku miscall,” jawabku.
“Ada syarat dari kamu untuk aku dalam membantu orang-orangku?” tanyanya.
“Ada.”
“Apa?”
“Uang bea siswa yang aku berikan kepada orang-orangmu jangan kamu minta sepuluh prosen walaupun dengan alasan teologis.”
Dia tertawa, “Nylekitmu gak pernah hilang.”
“Sudah gitu saja, nanti kamu terlambat melatih padus. Aku pulang. Kirim sms kalau daftarmu sudah siap,” kataku berpamitan sambil menyambar aqua cup di meja entah punya siapa.
(01.10.2015)
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3381 reads