Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
GWB 2 – Setia Mengikuti Suami
Rabu malam 06 September 2013 aku menelepon seorang GWB (guru wiyata bakti) wanita. Aku jelaskan rencanaku. Untuk memastikan apakah seorang GWB bisa disantuni, aku harus menemuinya di rumah. "Tetapi sayangnya, walau Ibu Tias mengajar di SDN di kota Semarang, rumah Ibu di Kabupaten Demak. Jauh sekali, saya butuh waktu 1 jam bermotor ke sana. Jadi saya pikir lebih baik menelpon saja untuk meminta beberapa keterangan tambahan. Bisa, Bu?"
"Silakan, Pak," jawabnya.
"Fotokopi Kartu Keluarga Ibu ada di depan saya. Apakah suami Ibu masih bekerja sebagai dosen di sebuah sekolah teologia dekat Kopeng?"
"Tidak, Pak. Sekarang dia sedang dalam proses menjadi pendeta di sebuah gereja di daerah Getasan Kopeng Salatiga."
"Di Getasan? Saya dulu sering menginap di rumah Pak Iskak yg mengurusi gereja di Cuntel dekat Getasan," komentarku sambil ingat akan blogku di SABDA Space ini yang kutulis di desa itu berjudul "How Old Are You?"
"Pak Iskak? O, saya kenal dia, sudah saya anggap seperti ayah saya."
"Dengan demikian warga desa Ibu ada 2 orang yang jadi pendeta."
"Betul. Tetapi, sebentar Pak. Bagaimana Bpk tahu suami saya dosen teologi? Apa Bpk tahu di mana lokasi desa saya?"
"Dari Semarang kita ke timur arah Purwodadi. Sampai di Karangawen ada perempatan jalan. Belok kiri ke arah utara. Di sisi kiri jalan ada beberapa jalan kecil. Begitu ketemu jalan kecil berpaving, belok ke jalan itu, teruuuuus melewati ladang tembakau, sampai deh ke rumah Ibu."
"Kok Bpk tahu betul jalan itu?"
"Kita pernah bertemu, Bu."
"Kapan? Di mana?"
"Beberapa tahun yang lalu, di rumah Ibu. Waktu saya meneliti KK Ibu dan melihat ayah suami Ibu bernama Sularman, saya langsung ingat pernah ke rumah Ibu dan berbincang-bincang dengan Pak Larman hampir 2 jam. Saat itu saya sedang meninjau beberapa gereja kecil di daerah itu dalam menyiapkan penyantunan pendeta pedesaan. Ketika saya akan pulang, Ibu Tias pulang dari kerja dan Bpk memberitahu saya bahwa Ibu menantunya dan bekerja sebagai guru agama Kristen di sebuah SDN Semarang."
Tias tertawa. Itu berarti tiba saatnya aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan sensitip. Hasilnya? Dia lulusan sekolah teologi; sebagai GWB mendapat honor 475 rb sebulan; tidak punya penghasilan sampingan; tidak pernah mendapat bantuan dana dari gereja atau yayasan; tidak mengikuti proses CPNS.
"Memangnya Ibu tidak ingin jadi pegawai negeri?"
"Dari dulu saya tidak ingin. Saya bekerja untuk membantu suami saya menyelesaikan S2-nya. Kemudian saya bekerja untuk menunggu suami saya menjadi pendeta. Tetapi ini tidak berarti saya mengajar asal-asalan karena saya tahu saya sedang membawakan Firman bagi anak-anak didik saya. Jika nanti dia telah diresmikan menjadi pendeta, saya akan mendampinginya."
"Ibu akan pindah ke desa Getasan?"
"Ya, bersama anak-anak saya."
"Itu keputusan yang tepat karena memang di situlah tempat Ibu," kataku kek pendeta saja.
Lalu aku menjelaskan prosedur pengambilan santunan yang jumlah dan tempatnya akan aku beritahu kemudian. Mengakhiri pembicaraan aku berkata, "Titip salam saya buat Pak Larman. Sampaikan kepada beliau saya ikut senang cita-citanya melihat anaknya menjadi pendeta terkabul."
Aku tahu walau honornya hanya 475 rb, Ibu Tias tidak berkekurangan. Mertuanya juragan tembakau, bahkan dialah yang pada tahun 1966 mendirikan gereja di desanya. Lalu mengapa aku memasukkannya ke dalam daftar santunan GWB?
Aku ingat sepucuk surat yang ditulis oleh seorang pendeta di pelosok Lampung untuk donaturnya. “Pak, terima kasih untuk kiriman uangnya. Saya harus mengambilnya di kota kecamatan dan butuh waktu hampir 3 jam bersepedamotor ke sana. Langsung saya belikan beberapa kaleng susu untuk bayi saya dan sisanya saya habiskan beli beras. Saya berterima kasih untuk bantuan ini, karena darinya saya tahu masih ada orang-orang yang ingat dan peduli kepada seorang pendeta kecil di pelosok. Dan itu sangat menyemangati saya."
Pemberian uang kepada Ibu Tias juga lebih kepada penghargaan (apresiasi) terhadap apa yang selama ini dikerjakannya. Jarak rumahnya ke tempat kerjanya adalah 1.5 jam bermotor, melalui jalan propinsi di mana banyak truk lewat. Di kemudian hari dia mau mengambil santunan itu. Hanya satu kali saja ia berhalangan mengambil karena anaknya sakit.
Tanggal 12 Juni 2014 saya menerima sms-nya. "Selamat malam Pak, uangnya sudah saya ambil dan saya memberitahukan bahwa terhitung sejak tgl 21 Juni 2014 saya tidak lagi mengajar di SDN karena harus melayani di sebuah GKJTU dekat Getasan Kopeng Salatiga, tempat tugas suami saya."
“Kapan berangkat Bu? Bila saya ke gerejanya Pak Ishak saya akan menyempatkan mampir ke sana. Selamat bekerja di ladang yang baru. Salam,” saya menjawab sms-nya.
“Juli nanti kami pindah. Monggo kaaturan pinarak dhateng Getasan.”
(16.08.2014)
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3364 reads