Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
GWB 1 - Perjuangan Seorang Perempuan
Informasi yang aku catat guru wiyata bakti di kota Semarang sampai Ungaran mendapat honor sebesar 150 ribu sampai 250 ribu saja. Karena itu mereka harus mengajar paling tidak di 2 sekolah agar bisa mendapatkan lebih banyak. Mereka bisa bertahan dalam kekurangan ini karena berpengharapan suatu ketika nanti bisa diangkat jadi PNS yang honornya paling tidak 1,2 juta apabila mereka S1.
Dua hari ini aku berkeliling mengunjungi alamat-alamat yang ada dalam berkasku. Walau di setiap alamat dicantumkan nomor hapenya, aku berusaha tidak mempergunakannya. Tetapi hari ini ada 1 alamat yang tak berhasil aku temukan walau alamatnya jelas lengkap dengan nomor RT/RW-nya. Sudah 2 kali aku berkelilingi menyusupi kampung-kampung kecil selebar 1 meter yang naik turun terjal dengan motorku di daerah Kaligarang Atas. Akhirnya aku mengaktifkan hapeku. Nomor tidak terdaftar, begitu jawabnya.
Malam ini aku kirim sms kepada perempuan itu. Dia balas dan minta aku memakai nomornya yang lain karena nomor yang aku pakai pulsanya tak bersisa. Aku meneleponnya menjelaskan rencanaku untuk menyantuni beberapa guru wiyata bakti yang mengajar agama Kristen di Sekolah Negeri. Nama-nama itu aku dapatkan dari seorang teman yang bekerja di Dinas Pendidikan sebagai Pengawas PAK. Untuk memastikan nama-nama yang diberikan layak disantuni, ada beberapa informasi yang harus aku dapatkan dari ybs.
“Ibu Kristin, daftar yang saya miliki telah saya bawa ke Yayasan Christopherus yang unit Persekutuan Biji Sesawi-nya memberi santunan bulanan kepada 22 orang guru wiyata bakti. Ternyata Ibu adalah anggota PBS. Sudah berapa lama dan Ibu mendapat berapa?”
“Betul Pak, 140 ribu setiap bulan, sudah 3 tahun.”
“Maaf, menurut informasi dari PBS suami Ibu sudah meninggal sementara saya lihat di fotocopy Kartu Keluarga Ibu, anak ke-2 Ibu berusia 2 thn. Sewaktu Ibu bekerja, siapakah yang menjaga si kecil?”
“Waktu saya berangkat kerja saya bawa si kecil untuk saya titipkan di RSU Karyadi. Di sana ada penitipan anak yang sebetulnya hanya untuk anak-anak jururawat dan dokter yang sedang dinas. Biayanya 5 ribu per hari. Nanti pukul 2 siang pulang kerja saya ambil kembali. Kebetulan rumah saya dekat dengan RS itu dan SDN tempat saya mengajar.”
“Selain dari PBS, apakah Ibu juga menerima bantuan uang dari gereja atau yayasan lain, misalnya Mission Care?”
“Tidak. Dulu saya pernah mendaftar di Mission Care dan tidak diberi karena sudah mendapat santunan dari PBS.”
“Lalu berapa honor Ibu sebagai guru wiyata bakti?”
“Waktu suami saya masih hidup, saya diberi 300 ribu. Setelah saya sendiri, saya mendapat 450 ribu dengan tambahan kerja di bagian administrasi sekolah.”
“Bagaimana dengan penghasilan sejumlah itu Ibu bisa mencukupkan kebutuhan hidup?”
“Kepsek sering menyuruh saya bantu-bantu dia mengerjakan administrasinya dan darinya saya mendapat tambahan honor. Dua atau tiga bulan sekali kepsek di mana dulu suami saya mengajar, mengirimi saya uang. Bahkan pernah dia bilang ingin mengasuh anak bungsu saya.”
Informasi yang aku catat guru wiyata bakti di kota Semarang sampai Ungaran mendapat honor sebesar 150 ribu sampai 250 ribu saja. Karena itu mereka harus mengajar paling tidak di 2 sekolah agar bisa mendapatkan lebih banyak. Mereka bisa bertahan dalam kekurangan ini karena berpengharapan suatu ketika nanti bisa diangkat jadi PNS yang honornya paling tidak 1,2 juta apabila mereka S1.
“Rumah yang saat ini Ibu tempati milik sendiri atau kontrak?”
“Kontrak tahunan, Pak, 3 juta setahunnya. Bulan Februari nanti habis. Semoga sewanya tidak dinaikkan.”
“Dari fotokopi KK saya baca Ibu lahir di Gunung Kidul. Kapan terakhir Ibu menengok kampung halaman?” Pertanyaan ini sebetulnya untuk mengetahui seberapa banyak tabungannya. Karena untuk membayar kontrak rumah saja dia harus menabung 250 ribu setiap bulan.
Dia tidak segera menjawab. Suaranya agak tersendat ketika berkata, “Sudah lama saya tidak pulang ke desa. Tidak tahu apakah Natalan nanti saya bisa membawa anak-anak menengok neneknya.”
“Saya rasa informasi yang Ibu berikan sudah cukup bagi saya. Karena bantuan ini tidak datang dari gereja atau yayasan, saya dan teman-teman tidak berani menjanjikan jumlah yang tetap dan berapa lama berlangsungnya. Ada uang kami bantu Ibu, tidak ada uang mohon Ibu maklumi.”
“Bisa saya tanya kalau nanti, misalnya, saya mendapat bantuan, di mana saya harus mengambilnya?”
“Saya belum memastikan, Bu. Mungkin di sekitar jalan Kartini, dekat pasar burung.” Seorang temanku yang rumahnya di sana sudah memastikan mau menolongku sebagai penyalur santunan.
“Kalau dari rumah saya, naik angkot jurusan mana, Pak?”
“Lho? Apa Ibu tidak punya sepeda motor?”
“Tidak punya.”
“Lalu bagaimana Ibu setiap Sabtu ke-2 datang ke Yayasan Chritopherus yang tidak dilewati angkot?”
“Hari Sabtu saya pulang kerja pukul 11.00, lalu saya ambil si kecil dan saya minta tolong tetangga yang punya motor untuk mengantar saya. Nanti dia saya beri uang ganti bensin. Kalau tidak ada tetangga yang bisa menolong, saya naik bis ditambah jalan kaki.”
“Jadi Ibu bawa si kecil juga?”
“Ya Pak.”
“Begini saja. Nanti kurang 1 minggu sebelum waktu pengambilan saya kirim sms unt menjelaskan alamat pengambilannya. Ibu bawa KTP asli sebagai syarat pengambilannya. Selamat malam, Bu.”
File komputer aku buka unt menambahkan info yang baru aku terima. Di kolom “Rp” aku cantumkan angka yang lebih tinggi dari yang lain. Semoga jumlah yang bagi sementara orang tidak banyak ini bisa menjadi tambahan tiang penyanggah hidupnya.
(05.11.2013)
* gambar hanya sekedar ilustrasi diambil dari google.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3625 reads