Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Dosa dan Dampaknya terhadap Keunikkan Kepribadian, Relasi dan Pelayanan
TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya
di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia:
“Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas,
tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu,
janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya,
pastilah engkau mati” (Kej 2:15-17).
Allah menciptakan manusia, Adam dan Hawa, sebagai gambar dan rupa-Nya (the whole person as the image of God). Image of God pada manusia hadir dalam atribut-atribut yang merepresentasikan Allah, yaitu: jiwa (spirit/soul) manusia yang merupakan nafas hidupnya, human faculties, yaitu kemampuan mental dan fisiknya (emotion, passion, desire, will, thinking, knowing), standard moral yang perfect dan selaras dengan the law of God (knowledge in the mind, righteousness in the will, dan holiness in the heart), tubuh manusia yang merupakan mahakarya yang langsung dibuat dari tangan Allah, dan memiliki tempat tinggal di paradise (taman Eden) yang suci dan penuh berkat.[1] “The image of God is regarded the fully free will”.[2]
Sebagai the imago Dei, maka panggilan manusia adalah untuk selalu berelasi dengan Allah (communion with God). Allah kemudian memberikan mandat pada manusia untuk bertanggung jawab sebagai stewardship (carateker) terhadap ciptaan-Nya yang lain. Dan juga memberikan perintah larangan memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Allah tahu bahwa dalam kehendak bebasnya manusia memiliki kapasitas untuk dapat taat atau tidak taat kepada Allah. Menjelaskan hal ini, Herman Bavinck mengatakan: “It was God’s decision to take humanity on the perilous path of freedom rather than elevating it by a single act of power above the possibility of sin and death”.[3] Allah ingin agar manusia menentukan sendiri apakah ia ingin taat atau tidak taat kepada Allah.
Kisah “kejatuhan” manusia dalam Kejadian 3 menunjukkan kepada kita bahwa dengan free will nya manusia memilih untuk tidak taat, karena keinginan untuk menjadi sama seperti Allah, manusia ingin menentukan bagi dirinya sendiri mana yang baik dan mana yang jahat. Ketidaktaatan manusia adalah pemberontakkan terhadap Allah, yang menyebabkan manusia menjadi seteru Allah, berada dalam kutuk dosa yaitu kematian dalam kekekalan. Alkitab sekali lagi mempelihatkan kepada kita otoritas Allah yang ada di atas segala sesuatu, termasuk dosa sekalipun. Hanya Allah yang mampu untuk menyelamatkan manusia, dan Ia telah menyatakan segera setelah kejatuhan manusia (Kej 3:15).
Setelah manusia jatuh dalam dosa, maka natur image of God pun ikut rusak. Atribut-atribut yang merepresentasikan Allah tercemar oleh dosa. Demikian pula dengan human faculties yang merupakan keunikkan kepribadian tiap-tiap manusia pun rusak karena natur dosa dan karena faktor eksternal pembentukkan dari keluarga atau lingkungan yang nilai-nilai moralitasnya pun sudah rusak oleh dosa. Sehingga kepribadian yang terbentuk pun menjadi tidak sehat, dan membuat manusia tidak dapat melihat keotentikan dirinya (authentic self or wholeness) yang merupakan keunikkan yang Tuhan berikan kepadanya.
Salah satu akibat dari adanya kepribadian yang tidak sehat, maka manusia cenderung tidak mampu untuk membangun relasi dengan sesamanya. Kita melihat dalam realitas relasi manusia justru saling menyakiti, seperti: suami yang melakukan kekerasan fisik pada isteri, sebaliknya isteri yang selalu mengkritik suami, orang tua yang pilih kasih kepada anak-anaknya, saudara yang saling membenci karena iri hati, persahabatan yang retak karena pengkhianatan, pertemanan di kantor yang saling sikut dan menjatuhkan, dan lain sebagainya.
Kepribadian yang tidak sehat juga menjadi sumber konflik dalam gereja. Gesekkan-gesekkan terjadi disebabkan oleh perbedaan-perbedaan temperamen, cara berpikir, ambisi, keinginan, dan suka atau tidak suka.[4] Dapat dikatakan bahwa perbedaan kepribadian menjadi salah satu dari sumber konflik yang terjadi di dalam gereja. “Its impact on a congregation can be devastating. Relationships are damage, friendship strained, and many decide to stop attending”.[5]
Kita pun menyadari bahwa dosa telah melumpuhkan kita untuk dapat saling mengasihi dan saling melayani dengan genuine, baik dalam relasi keluarga, persahabatan, relasi di kampus, relasi di kantor, relasi dengan saudara seiman dalam pelayanan di gereja.
Bagaimana kita sebagai orang Kristen menyikapi realita ini? Kita sadar bahwa kita tidak mampu untuk melepaskan diri kita sendiri dari natur dosa dalam diri dan kepribadian kita. Hanya oleh kasih Allah yang sanggup melakukannya untuk kita. Kristus berinkarnasi dan menebus kita dari segala dosa kita, sehingga kita diperdamaikan dengan Allah. Kita menerima Roh Kudus yang terus bekerja di hati kita, memperbaharui dengan terus menerus, sehingga kita memenuhi panggilan kita yaitu untuk menjadi serupa Kristus.
David Gundersen menulis demikian, “The direct and dramatic acts of God in the Gospel renew the image of God in us by resurrecting us in the image of Christ. No aspect of our personhood, including our personality, is left unscathed. Through faith our whole being dies and rises with Christ, including those unique qualities and characteristic that make us, us. We rise with Him, even our personalities are redeemed and regenerated and renewed and reformatted.[6]
Sehingga dalam hidup kita yang terus menerus diperbaharui oleh Roh Kudus, kita kembali dipanggil untuk melayani dan mengasihi Allah. Kita merasakan relasi yang intim dengan Allah. Kehendak bebas kita telah ditaklukkan di dalam Kristus. Roma 8: 7, 13 mengingatkan kita bahwa keinginan daging (dosa) adalah perseteruan dengan Allah. Sehingga kita oleh Roh Kudus harus mematikan perbuatan-perbuatan tubuh, yaitu kedagingan kita, supaya kita hidup. Relasi yang telah dipulihkan di dalam penebusan Kristus, adalah Seperti Rasul Paulus, kita pun dapat berkata, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20a).
Dalam status kita yang sudah dilepaskan dari kutuk dosa, dan sudah mengalami pendamaian dengan Allah dalam Kristus, maka Roh Kudus juga akan bekerja menolong kita berdamai dengan diri kita, dengan masa lalu kita, dan juga menolong untuk memulihkan relasi-relasi yang selama ini mungkin retak.
Pemulihan hidup dari ikatan dosa, membuat kita menjadi ciptaan yang baru di dalam Kristus. Kita dimampukan oleh Roh Kudus untuk melakukan panggilan Kristus, yaitu memiliki jiwa dan semangau stewardship yang bertanggung jawab terhadap pelayanan yang diberikan kepada kita, baik dalam keluarga, dalam gereja, dalam studi, di mana pun kita ditempatkan.
Kristus memakai setiap kepribadian yang berbeda, dan menumbuhkan semangat dan jiwa stewardship dari setiap kita yang telah dipanggil untuk menjadi bagian dari tubuh Kristus. Kita dalam melaksanakan pelayanan akan menyadari bahwa kita hanyalah alat dan Kristus-lah yang kita layani. Kita melayani dengan hati seorang hamba, yang dengan sukacita memilih untuk taat kepada kehendak-Nya. Stewardship juga berarti bahwa kita bukan saja bertanggung jawab kepada pelayanan kita, tetapi juga kita mampu untuk mengembangkan talenta dan karunia yang Kristus dipercayakan kepada kita, dan memakai kemampuan kita dengan sebaik-baiknya untuk memuliakan Allah.
[1] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics Vol.2: God and Creation (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2004), 555-561.
[2] Ibid, 26.
[3] Ibid, 29.
[4] Alex Tang, Conflict: An inevitable part of life that we need to manage, 12.
[5] Thomas Hammond dan Steve Wilkes, Church Conflict/Church Growth, Journal of Evangelism & Missions 7, 2008, 4.
[6] David Gundersen, Why Your Personality Shapes Everything You Do in Ministry, (Dikutip dari: https://equip.sbts.edu/article/personality-shapes-everything-ministry tanggal 22 November 2019).
- iraika's blog
- Login to post comments
- 2043 reads