Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
catatan sabtu pagi
Beberapa saat setelah guncangan saya masih berpikir ini hanyalah efek gunung Merapi, saya juga tidak setuju dengan kakak saya yang menebak bahwa gempa kali ini adalah gempa tektonik.
Ketika pertama kali merasakan guncangan, semula saya sangka hanya lindu (gempa kecil, menurut istilah saya sendiri), lalu sedetik kemudian karena kondisi masih ngantuk dan malas bangun sempat saya anggap ini hanya guncangan akibat ada truk berat lewat di depan rumah, tapi sedetik kemudian lagi, baru saya sadar bahwa guncangan karena truk lewat bukan ke kanan kiri seperti ini. Ini mungkin lindu, saya masih memilih menunggu sambil duduk di kasur yang tanpa ranjang itu karena berdasar 2 kali mengalami lindu, guncangan biasanya hanya 2-3 detik. Ternyata saya salah lagi, guncangan terus terjadi, cukup kuat dan tidak seperti lindu. Pesawat tv, komputer, dan jendela yang ada di depan saya terus berderit, pigura-pigura foto di dinding pun menjadi miring, untung saja tidak jatuh karena akan menimpa monitor yang baru sedang dalam masa bulan madu di rumah. Naluri seperti yang dimiliki hewan-hewan penduduk Merapi yang merupakan pihak paling pertama yang turun ketika gunung itu mulai aktif tiba-tiba muncul. Saya segera keluar tanpa ada pikiran atau pertimbangan bahwa ini dilakukan karena takut tertimpa reruntuhan rumah. Tindakan itu adalah naluri, karena pikiran saya saat itu sendiri masih berdebat mengenai apakah ini cuma lindu atau gempa bumi.
Entah kenapa saya, mama, dan kakak tanpa janjian malah keluar dan berdiri di halaman belakang, padahal halaman belakang yang tak begitu luas itu justru dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi, bilah-bilah bambu, balok-balok kayu yang diletakkan di atas bangunan milik tetangga, antenna beserta kabel-kabel listrik, serta atap-atap seng plus naungan dahan-dahan pohon mangga. Dari tempat itu saya lihat air di baskom-baskom cucian terus bergejolak. Sayapun hanya berkata "gempa.. gempa.." tanpa ekspresi atau intonasi berarti sambil memandang mereka berdua. Dengan patokan goncangan air di ember cucian, kami berdiri menunggu di halaman itu. Jelas tidak ada di antara kami yang berpengalaman dengan kejadian seperti ini (kalau banjir mungkin ada). Kami hanya menunggu, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bagi yang banyak nonton film action mungkin berpikir akan ada sesuatu yang lebih besar terjadi, tapi jelas kami semua berharap tidak terjadi apa-apa. Saya sendiri sejujurnya tidak berpikir apa-apa waktu itu selain hanya merekam segala yang terlihat dan dirasakan. Gelombang di baskom berhenti, sayapun masuk, mama bilang jangan dulu, tapi saya ingin lihat suasana di depan rumah. Seperti yang saya duga, ada tetangga yang terdengar sedang membahas hal ini, anak tetangga depan rumah masih mengucek-ucek mata sambil berdiri di depan rumahnya, ada beberapa yang lain yang hanya berjalan-jalan, secara umum tidak terlalu banyak yang berada di jalanan depan, mungkin mereka sudah kembali masuk.
Karena tidak ada yang menarik di luar, saya memutuskan menyetel tv untuk mencari tahu yang sedang terjadi barusan. Metro TV mungkin adalah stasiun pertama yang menyiarkan berita ini sekitar 10 menit setelah saya masuk atau mungkin sekitar 20 menit setelah guncangan. Ini memang cukup menarik karena tidak seperti biasanya, gambar siaran Metro TV di rumah relatif lebih jelas dibanding hari biasa yang seringkali tidak dapat ditangkap sama sekali. Berita pertama masih berupa laporan lewat telepon, tidak banyak yang diinformasikan selain pemberitahuan telah terjadi gempa di Jogja selama kurang lebih 10 detik (menjelang siang direvisi menjadi hampir 1 menit). Berangsur-angsur informasi didapatkan, namun sampai ketika saya cek sekitar jam 8an, belum juga ada informasi tentang dimana pusat gempa, berapa besar kekuatannya, atau bahkan apakah ini tektonik atau vulkanik.
Itu yang terjadi di tv. Sementara di rumah, sekitar 15 menit setelah guncangan telepon pun berdering. Penelponnya adalah salah satu kakak saya yang memang selalu paling bersemangat untuk menghubungi, mencari tahu atau menginformasikan kepada keluarga dan kenalannya jika ada kejadian luar biasa seperti ini terjadi. Seperti yang ia lakukan ketika dengan semangat menelpon keluarga paman yang ada di Nusa Dua ketika bom Bali 2 meledak, ia pun bertanya bagaimana keadaan disini (setelah sebelumnya memastikan bahwa saya tahu kalau telah terjadi gempa). Hanya sebentar ia menelpon, baru sekitar jam 12 siang ia menelpon lagi sambil memberitahukan bahwa kata orang ada kemungkinan akan terjadi gempa susulan, tak lupa ia memperingatkan untuk segera keluar jika memang terjadi gempa susulan lagi. Saya mengiyakan saja karena sepertinya ia memang baru akan puas setelah kita mengakui bahwa ia adalah seorang narasumber handal.
Lain telepon lain lagi SMS. Adalah seorang kawan waktu kuliah yang kini tinggal di Semarang yang pertama kali mengirim SMS menanyakan bagaimana situasi di Solo. Itu dilakukan sekitar jam 08.30, ini cukup wajar karena saya kenal kawan ini memang selalu bangun lumayan pagi. SMS yang menantang untuk dibalas itu tak bisa menahan diri saya lebih lama lagi untuk segera keluar membeli pulsa. Keputusan membeli pulsa itu memang tepat karena praktis arus SMS hari ini jadi hampir seperti ketika Natal, tahun baru, Imlek, lebaran, Paskah atau ulang tahun. Setelah kawan dari Semarang tadi barulah seorang kawan lain dari Jakarta yang baru bangun menelpon menanyakan topik yang sama dan diikuti beberapa kawan lain.
Siang hari sempat juga saya menghubungi salah seorang kawan penduduk Jogja yang ternyata kondisi di wilayahnya hampir sama seperti di rumah saya, baik-baik saja, tidak ada kerusakan atau tembok retak. Hal ini sendiri saya lakukan setelah melihat di tv bahwa kejadian yang hanya berlangsung sedemikian cepat itu telah menelan korban jiwa yang lumayan banyak, gambar yang disiarkan pun mengingatkan akan gambar siaran di Aceh ketika tsunami, sangat berbeda dengan berita dan gambar-gambar yang disiarkan pagi tadi yang lebih mirip dengan apa yang terjadi di sekitar rumah saya (karena yang disorot adalah situasi di kota Jogjanya). Namun bagaimanapun saya jadi kurang enak hati karena sebelumnya saya telah mengirim SMS kepadanya dengan pertanyaan guyon tentang kejadian ini. Untunglah kawan dari Jogja itu juga bukan orang yang perasaannya mudah didikte oleh televisi.
Saya benar-benar tak menyangka jika korban tewas bisa sedemikian banyak. Mungkin penduduk Jogja memang sudah terlalu padat, atau mungkin karena penataan bangunan-bangunannya yang begitu berdesakan atau bahan bangunannya kurang kuat sehingga mudah rubuh, dan korban pun banyak berjatuhan. Tapi sepertinya bukan cuma itu, nampaknya saya memang lupa memperhitungkan para lansia, balita dan anak-anak, juga orang-orang yang fisiknya tidak memungkinkan untuk menyelamatkan diri sendiri atau para pasien rumah sakit. Memang bisa jadi dari kelompok itulah yang jatuh korban paling banyak. Sedangkan awalnya, gambaran Jogja sebagai kota yang penuh dengan mahasiswa serta anak muda yang badannya masih segar dan kuat itu sajalah yang saya perhitungkan. Suasana di Jogja, Bantul dan Klaten dilaporkan cukup ramai dengan kepanikan. Banyak yang dilaporkan mengungsi karena rumah-rumahnya hancur. Dari kawan di Jakarta tadi saya baru tahu bahwa bangunan mal baru Solo Square yang terletak di wilayah Pabelan dekat Kartasura bagian depannya juga ambruk. Ada juga orang-orang yang mulai mempersiapkan bensin untuk kendaraannya, membuat saya agak kepikiran juga karena bensin motor saat itu juga hampir habis. Ada pula isu tsunami, walau bayangan saya hal itu mungkin dilontarkan salah seorang warga sebagai wacana, "eh iso ono tsunami lo ki" atau "awas, ati-ati, ojo ojo tsunami!" namun kepanikan telah membuat dugaan itu diterima sebagai fakta. Namun ternyata, ada yang bilang bahwa itu adalah provokasi dari mereka yang berniat memanfaatkan kekacauan untuk melakukan penjarahan. Sungguh sekali lagi tak menyangka, betapa cepat kaum oportunis bertindak.
Semua berita hari itupun diisi oleh liputan bencana ini, tidak ada lagi berita tentang FPI dan pendukung Gus Dur yang bentrok, tidak ada lagi berita pro kontra RUUP (hasil revisi RUU APP), tentang pro kontra pengampunan suharto, meski infotainment masih menyiarkan tentang Mayangsari dan Halimah, Ricky dan Elsa. Apakah semua pelaku berita di atas tadi memang berhenti melakukan aktivitasnya? Saya kira tidak. Stasiun tv yang ditangkap hari itu hanya 4 (Metro, Indosiar, SCTV dan Trans). Jogja TV bisa ditangkap mesti gambarnya kurang jelas dan mereka mengisi siaran mereka dengan liputan gambar waktu masa kepanikan dan kondisi para korban, kebanyakan tanpa suara narator sama sekali, hanya gambar alami yang ternyata lebih mendeskripsikan apa yang sedang terjadi. Stasiun lokal kita TATV sepertinya hanya menyiarkan kejadian ini di siaran berita mereka. Sayapun semakin ragu dengan keberadaan tv yang satu ini, sampai kapan mereka hanya sekedar ada? Hanya sebagai tempat menampung iklan-iklan lokal? Hanya untuk kepentingan para penggagasnya?
Seharian itu juga, nyamuk-nyamuk terasa lebih banyak dari biasanya. Mungkin guncangan pagi ini telah membuat mereka semua keluar dari sarangnya, seperti para manusia. Suasana di rumah saya selanjutnya masih seperti biasanya, tapi sekali ini saya merasa senang dengan kondisi yang biasa-biasa ini. Semoga baik-baik saja untuk seluruh Jogja, Bantul, Klaten dan sekitarnya..
- y-control's blog
- 5908 reads