Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
BAGIAN II. Bab 3: Kedaulatan Allah.
BAGIAN II:
REFORMED INJILI: INTEGRASI THEOLOGI, SPIRITUALITAS, DAN PRAKTIKA REFORMED
Bab 3
Kedaulatan Allah
Di tengah arus Kekristenan yang tidak seimbang di atas, maka Tuhan mengajar kita melalui pelajaran sejarah dari theologi Kristen yang sehat dan seimbang. Khususnya, kita saat ini membahas dan mempelajari keunikan theologi Reformed (dari Dr. John Calvin, dkk) dan signifikansinya di dalam spiritualitas dan praktika Kristen sejati.
Theologi Reformed memiliki prinsip dasar yaitu kedaulatan Allah.1 Apa arti kedaulatan Allah? Saya membagi 7 prinsip kedaulatan Allah secara ringkas beserta aplikasinya:
1. Allah yang berdaulat adalah Allah Pencipta dan Pemelihara alam semesta
Allah orang Kristen sejati adalah Allah yang menciptakan alam semesta sekaligus memeliharanya. Allah yang menciptakan segala sesuatu (Kej. 1) berarti Dia adalah sumber segala sesuatu. Ia yang menciptakan manusia, berarti Ia jugalah sumber kita mengerti manusia. Alangkah tidak masuk akalnya jika seorang manusia mau mengerti manusia bukan dari Allah, tetapi dari ilmu-ilmu dunia bahkan dari interpretasi sendiri. Itulah kegagalan manusia berdosa. Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion mengajarkan, “Without knowledge of self there is no knowledge of God” (= Tanpa pengenalan akan diri tidak ada pengenalan akan Allah).2 Hal serupa ditekankan sebaliknya oleh Calvin sebagai satu konsep integratif, “Without knowledge of God there is no knowledge of self” (=Tanpa pengenalan akan Allah tidak ada pengenalan akan diri).3 Artinya pengenalan akan Allah dan pengenalan akan manusia adalah dua hal yang bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Dari dua pernyataan ini, Calvin menyatakan bahwa pengenalan akan diri dimulai dari pengenalan akan Allah, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, Allah adalah sumber kita mengenal diri sendiri. Hal ini akan dibahas pada doktrin manusia dan dosa.
Selain sebagai Pencipta, Allah juga adalah Pemelihara ciptaan-Nya. Bukan seperti Deisme yang mengajarkan bahwa setelah menciptakan alam semesta, Allah meninggalkan ciptaannya untuk diatur oleh hukum alam, Kekristenan sejati mengajarkan bahwa Allah yang mencipta juga adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya. Ini membuktikan adanya providensia Allah. Pemeliharaan Allah atas alam juga mencakup adanya anugerah umum Allah untuk mencegah (bukan menghilangkan) kerusakan alam ini. Hal ini memberi kekuatan bagi iman kita di kala kita putus asa. Banyak orang Kristen masih khawatir akan hidupnya, biarlah Allah sebagai Pemelihara ini menjadi kekuatan bahwa Ia yang menciptakan kita, tidak akan meninggalkan kita dan alam ini begitu saja, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?... Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Mat. 6:25, 31-34) Allah yang memelihara adalah Allah yang mencukupi kebutuhan anak-anak-Nya asalkan kita terus mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya.
2. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun
Allah adalah Tuhan dan Pencipta segala sesuatu, oleh sebab itu Ia pasti tidak sama dengan ciptaan. Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan di bagian ini adalah Allah itu Kekal, sedangkan manusia itu relatif/sementara. Allah yang Kekal berarti Allah yang melampaui ruang dan waktu, Ia bekerja dan menetapkan sebelum dunia dijadikan. Dalam hal keselamatan pun, Allah telah menetapkan beberapa orang untuk menjadi umat-Nya. Ini semua adalah hak dan kedaulatan Allah yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam bagian ini, kita juga mengerti Allah yang Kekal juga Allah yang tidak bergantung pada siapa/apa pun (atau lebih tepatnya, Allah tidak membutuhkan siapa pun untuk menasehati-Nya). Mengenai predestinasi dan keselamatan yang berkaitan dengan kedaulatan Allah (Roma 9-11), Rasul Paulus di dalam Roma 11:34 mengatakan, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” Apa signifikansi konsep ini? Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun mengajarkan kepada kita tentang Allah yang harus menjadi Sumber Pengharapan dan tempat di mana kita dapat beriman mutlak. Di saat menghadapi penganiayaan, dll, kita bisa terus berharap hanya pada Allah, karena kita percaya hanya pada Dia sajalah kita menemukan Pengharapan sejati. “Allah” yang tidak kekal dan plin-plan, seperti yang diajarkan oleh Arminianisme dan Open-Theism, bukanlah Allah Kristen sejati, dan akibatnya, “Allah” seperti ini tidak layak menjadi Sumber Pengharapan, mengapa? Karena “Allah” seperti ini tidak ada bedanya dengan manusia yang serba plin-plan, lalu ketika kita mengalami penderitaan, kepada siapa kita harus berharap, jika “Allah” yang disandari adalah “Allah” yang plin-plan.
3. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Berkuasa mutlak
Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2006 mengaitkan kedua konsep ini bahwa beriman di dalam Allah yang Mahakuasa seharusnya juga berkait dengan beriman di dalam Allah yang Berdaulat mutlak. Di dalam Alkitab, Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan contoh kasus Hananya (Sadrakh), Misael (Mesakh) dan Azarya (Abednego) yang menolak menyembah ilah asing dalam bentuk patung emas. Mereka berani mengatakan kepada raja Babel, Nebukadnezar (yang sedang menjajah Israel) bahwa mereka tak mau menyembah ilah asing, karena mereka percaya di dalam Allah yang sanggup melepaskan mereka dari hukuman bagi mereka, yaitu dapur perapian. Tetapi seandainya, Allah tidak melepaskan, mereka pun berani mengatakan bahwa mereka tak akan mengkhianati Allah dengan menyembah ilah asing (perhatikan ucapan mereka di dalam Daniel 3:16-18, “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”) Inilah iman Kristen yang benar, yaitu memercayai Allah yang sanggup melepaskan umat-Nya dari penderitaan sekaligus Allah yang Berdaulat yang bisa juga tidak melepaskan umat-Nya tersebut. Saya menyebutnya sebagai terobosan iman. Iman Kristen bukan iman yang “memercayai” “Allah” yang menurut pada kemauan kita untuk diklaim janji-janji-“Nya”, tetapi iman Kristen adalah iman yang berani menerobos segala kesulitan dengan berharap dan beriman mutlak di dalam Allah yang berdaulat yang bisa melepaskan kita dari kesulitan, dan bisa juga tidak melepaskan kita dari kesulitan, tetapi memberikan kekuatan kepada kita untuk menghadapinya. Mengapa kita dapat beriman sedemikian? Karena kita percaya satu hal bahwa rancangan dan jalan Tuhan bukanlah rancangan dan jalan kita (Yesaya 55:8).
4. Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Tiga Pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus
Mengapa saya membedakan masing-masing Tiga Pribadi Allah ini dengan menambahkan kata Allah di depannya? Karena Allah Tritunggal bukanlah satu pribadi, tetapi Tiga Pribadi Allah yang berbeda (bdk. Mat. 28:19 terjemahan bahasa Inggris dan teks asli Yunaninya). Keberbedaan masing-masing Pribadi Allah ini TIDAK berarti kita memercayai tiga Allah, tetapi justru kita memercayai 1 Allah yang Esa yang berpribadi tiga. Inilah paradoksikal iman Kristen yang tidak mungkin ditembus dan dimengerti oleh logika orang-orang yang bukan umat pilihan Allah. Lalu, mengapa Allah harus menyatakan diri-Nya di dalam tiga pribadi, bukan satu pribadi saja atau bahkan banyak pribadi? Perhatikan. Jika Allah menyatakan diri-Nya hanya di dalam satu pribadi, lalu Ia berfirman bahwa Ia adalah Kasih, bagaimana umat-Nya bisa memahami kasih Allah jika tidak ada objek kasih? Ingatlah, Allah itu selain Roh, juga adalah Pribadi, berarti tetap harus ada Subjek dan objek kasih. Adalah suatu absurditas (ketidakmasukakalan) suatu agama yang memercayai “Allah” yang hanya satu pribadi, lalu berkoar-koar bahwa agamanya penuh “cinta kasih”. Sebaliknya, jika ada agama yang memercayai banyak “allah”, itu juga merupakan suatu absurditas. Mengapa? Karena jika “allah” itu banyak, maka masing-masing pribadi bisa saling bertengkar, dan itu berakibat fatal bagi konsep ketuhanan agama tersebut (konsep “allah” yang kacau memengaruhi cara pikir manusia yang menyembah “allah” seperti itu). Tidak ada jalan lain, Allah sejati bukan satu pribadi, dan juga bukan banyak pribadi, tetapi hanya tiga pribadi.
Lalu, kita akan berlanjut pada pengertian Tritunggal sendiri. Di dalam Allah Tritunggal, masing-masing Pribadi Allah memiliki perbedaan kehendak, tetapi menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu tujuan Allah Bapa. Beberapa orang mengatakan hal ini sebagai bidat, benarkah? Tidak. “Berbeda” di sini tidak berarti terpisah, berbeda di sini berbeda namun memiliki satu tujuan yang sama. Satu tujuan yang sama di sini berarti unity (kesatuan), bukan oneness (ketunggalan/keseragaman). Di dalam doa-Nya di Taman Getsemani, Tuhan Yesus pernah menyatakan, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat. 26:39) Pdt. Sutjipto Subeno pernah memberikan tafsiran ayat ini bahwa di sini ada dua kehendak yaitu kehendak Allah Bapa dan kehendak Tuhan Yesus, tetapi Kristus rela membatas diri demi mengerjakan apa yang Bapa-Nya kehendaki. Inilah bukti bahwa masing-masing Pribadi Allah memiliki perbedaan kehendak, tetapi bersatu di dalam tujuan Ilahi. Signifikansinya bagi kita adalah pentingnya unity (kesatuan) di dalam truth (kebenaran). Tidak ada salahnya dengan perbedaan, karena kita hidup di zaman yang penuh dengan perbedaan. Tetapi pertanyaan yang lebih tajam, apakah perbedaan itu mengancam iman dan kebenaran Kristen? Lebih tajam lagi, apakah kita yang mengklaim sebagai “pengikut Kristus” rela mengkompromikan Kebenaran Kristus yang paling agung dan berharga itu demi supaya disesuaikan dengan orang lain? Di dalam beberapa aliran Kristen kontemporer mengajarkan konsep bahwa semua gereja itu sama, yang penting Kristusnya. Sepintas benar, tetapi jika diteliti lebih dalam, benarkah semua gereja itu sama? Tidak. Gereja berbeda, tetapi gereja yang berbeda sungguh menarik dan unik jika masing-masing memberitakan Injil Kristus dan berfokus hanya kepada Kristus yang sama. Gereja Injili, Reformed, Pentakosta, dll adalah gereja yang berbeda secara denominasi, tetapi sejauh mereka memberitakan Kristus dan Injil yang murni (tanpa embel-embel yang tidak perlu), maka mereka layak disebut Gereja. Itulah makna sejati dari unity in diversity in truth (kesatuan di dalam keberbedaan di dalam Kebenaran).
Selain, ada keberbedaan (bukan keterpisahan) di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal, kita juga belajar adanya tingkatan sekaligus kesetaraan di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal. Biasanya kita sering mendengar adanya kesetaraan saja di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal, tetapi saat ini kita akan belajar sisi tingkatan di dalam Pribadi Allah Tritunggal. Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam bukunya Teologi Sistematika memaparkan, “Subsistensi dan tindakan dari ketiga pribadi ditandai oleh satu tingkatan yang jelas dan tertentu.” Beliau memaparkan bahwa tingkatan ini bukan tingkatan secara prioritas waktu atau kemuliaan esensial, tetapi hanya pada tingkatan logis derivasi (turunan). Allah Bapa adalah sumber segala sesuatu, Allah Anak secara kekal diperanakkan oleh Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak dari kekal sampai kekal. Kata “diperanakkan”, “keluar”, dll berada di dalam Keberadaan Ilahi yang kekal. Sekali lagi, tingkatan-tingkatan ini tidak berarti adanya subordinasi di dalam esensi Allah. Artinya, tingkatan-tingkatan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah Bapa lebih berkuasa dari Allah Anak dan Roh Kudus. Bagi Berkhof, Tritunggal secara ontologis ini dan kesetaraannya adalah dasar metafisik dari Tritunggal ekonomis yang nantinya tercermin dalam opera ad extra yang lebih tertuju pada masing-masing Pribadi Tritunggal.4 Dengan kata lain, kita belajar bahwa Allah Tritunggal adalah Allah yang memiliki ordo (tingkatan) sekaligus kesetaraan di antara masing-masing Pribadinya. Apa signifikansinya? Paradoksikal ini berpengaruh pada kehidupan Kristen kita. Konsep ini mengajarkan bahwa kita harus memandang semua manusia itu sama di hadapan Allah, sekaligus berbeda. Misalnya, antara bos dan karyawan, dua-duanya sama-sama manusia, tetapi meskipun sama, dua jabatan ini jelas berbeda. Bos tetap adalah bos, sedangkan karyawan tetap adalah karyawan, sehingga tidaklah mungkin karyawan bisa memerintah bos, yang terjadi justru sebaliknya, bos yang memerintah karyawan. Begitu juga dengan konsep pria dan wanita di mata Allah. Pria dan wanita diciptakan sama di hadapan Allah, tetapi juga diciptakan bertingkat, artinya, wanita/istri diperintahkan Allah untuk taat kepada pria/suami seperti jemaat tunduk kepada Kristus (Ef. 5:22-30). Melawan konsep ini bukan hanya melawan konsep Paulus, tetapi melawan konsep Alkitab secara integral, karena bukan hanya Paulus yang mengajar hal ini, Petrus juga mengajar hal ini (1Ptr. 3:1) dan bahkan Perjanjian Lama dengan tegas mengajar hal serupa.
5. Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana) sekaligus imanen (yang dekat dengan kita)
Kita melihat ketidakseimbangan konsep ini ditekankan oleh agama-agama non-Kristen. Ada agama yang mengajarkan bahwa Tuhan itu nun jauh di sana, tidak terjangkau, sehingga kalau melakukan ibadah harus menggunakan pengeras suara. Sebaliknya, ada agama lain yang menekankan imanensi Tuhan sehingga semua manusia jika mengamalkan cara tertentu bisa menjadi “allah”. Kekristenan sendiri tidak seimbang dalam mengajar hal ini. Ada golongan Kristen kontemporer yang terlalu subjektif, Allah dipandang hanya sebagai teman/sahabat terbaiknya, dan bukan lagi sebagai Tuhan dan Allah, sehingga mereka tidak menghormati Allah di dalam kebaktian. Sebaliknya, gereja-gereja Protestan arus utama terlalu kaku, menekankan transendensi Allah (dan imanensi Allah yang kacau). Bagaimana Kekristenan sejati bisa berdiri tegak? Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana), sekaligus Allah yang dekat dengan umat-Nya (imanen). Di dalam Perjanjian Lama, konsep ini dijelaskan. Allah menunjukkan kekudusan-Nya kepada umat Israel di Gunung Sinai, sehingga selain Musa, tidak ada yang boleh naik ke Gunung Sinai (baca: Kel. 19). Di sisi lain, Allah menunjukkan imanensi-Nya dengan menyebut umat Israel sebagai anak-Nya (baca: Kel. 4:22, 23; Hos. 11:1). Di Perjanjian Baru, kita juga mendapati hal serupa. Penulis Ibrani mengingatkan bahwa kita jangan sekali-kali menolak Kristus atau pun Allah, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibr. 12:29) Di sisi lain, Allah juga digambarkan sangat mengasihi umat pilihan-Nya, sehingga mereka disebut anak-anak-Nya, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” (Rm. 8:14-16)
Apa signifikansi konsep ini? Konsep ini berimplikasi di dalam dua hal, yaitu: spiritualitas dan konsep pelayanan. Spiritualitas sejati adalah spiritualitas yang didasarkan pada transendensi dan imanensi Allah. Artinya, hidup kerohanian kita tetap berfokus kepada Allah yang adalah Tuhan sekaligus Sahabat terbaik kita. Sehingga di dalam hidup, kita tidak boleh melecehkan Allah hanya sebagai “pembantu” kita, dan di sisi lain, kita tidak perlu takut hanya karena Allah seperti “hantu” yang menyeramkan. Begitu juga di dalam ibadah. Sangat disayangkan banyak orang yang mengaku diri “Kristen” ketika beribadah ke gereja sama sekali tidak menghormati Allah. Mereka dengan rasa tak bersalah mengobrol, mondar-mandir, mengetik SMS, bahkan menerima telepon ketika khotbah disampaikan. Mereka berpikir bahwa Allah itu sahabat baik bagi mereka, sehingga kalau disebut sahabat, berbuat apa pun tidak menjadi masalah. Sebaliknya, beberapa gereja arus utama terlalu menekankan transendensi Allah, sehingga ibadah bagi mereka sangat kaku, ada tata caranya, harus dihafalkan, dll. Theologi Reformed Injili tidak mau terjebak di dalam dua ekstrim ini. Theologi Reformed Injili mau seimbang. Mengapa? Karena Alkitab mengajar hal itu bahkan di dalam bagaimana beribadah dengan bertanggung jawab. Perhatikan apa kata pemazmur. Mazmur 2:11-12 mengajar, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar, supaya Ia jangan murka dan kamu binasa di jalan, sebab mudah sekali murka-Nya menyala. Berbahagialah semua orang yang berlindung pada-Nya!” Di saat yang sama, kita diajar juga, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai! Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya. Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.” (Mzm. 100:2-5) Di satu sisi, kita tetap beribadah dengan penuh kegentaran karena kita menghadap Raja di atas segala raja. Di sisi lain tanpa berkontradiksi, kita tetap bisa beribadah dengan bersukacita, karena kita tahu bahwa Allah itu yang menjadikan kita dan kita ini adalah umat tebusan-Nya (baca: Mzm. 100:3-5). Hal yang serupa juga terjadi di dalam konsep pelayanan kita. Pelayanan sejati adalah pelayanan yang serius karena kita sedang melayani Raja di atas segala raja. Di saat yang sama juga, kita tetap bersukacita di dalam melayani Tuhan, karena pelayanan kita bukan untuk menambah jasa baik, tetapi sebagai respon ucapan syukur kita karena telah diselamatkan. Orang yang sudah diselamatkan seharusnya melayani Tuhan dengan gentar dan sekaligus berkobar-kobar.
6. Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya
Di poin kelima, kita sudah belajar tentang Allah yang transenden sekaligus imanen. Di poin ini, kita akan mengkhususkan tentang imanensi Allah, yaitu Allah yang menyatakan diri-Nya. Allah yang berdaulat adalah Allah yang berdaulat mutlak dan rela membatasi diri-Nya untuk dikenal oleh ciptaan-Nya (Rm. 1:19). Penyataan diri Allah ini berkaitan dengan atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan. Berkenaan dengan atribut-atribut Allah, theologi Reformed membagi dua macam atribut Allah, yaitu yang dikomunikasikan (communicable attributes of God) dan atribut yang tidak dikomunikasikan (incommunicable attributes of God). Atribut yang dikomunikasikan adalah atribut-atribut Allah yang dimiliki oleh manusia, misalnya adil, benar, jujur, bermoral, dll. Sedangkan atribut Allah yang tidak dikomunikasikan seperti Kekal, Mahatahu, dll tidak diberikan kepada manusia. Bagi atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan inilah, kita dapat mengenal penyataan diri Allah. Berkenaan dengan penyataan diri Allah, theologi Reformed dengan tajam membagi dua, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum adalah penyataan diri Allah kepada semua manusia melalui hati nurani (internal) dan alam semesta (eksternal) (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong, respon terhadap wahyu umum bisa meliputi agama (respon terhadap hati nurani) dan kebudayaan (respon terhadap alam). Tetapi apakah cukup melalui wahyu umum Allah, manusia mengenal Allah? Tidak. Dr. John Calvin mengajar bahwa meskipun manusia ditanamkan sense of divinity (bibit agama), manusia sudah berdosa dan merusak apa yang sudah ditanamkan Allah di dalam manusia itu, sehingga respon terhadap wahyu umum Allah tidak mungkin dijadikan standar mutlak mengenal Allah sejati. Sehingga, Allah menyatakan diri-Nya secara khusus (wahyu khusus) hanya kepada beberapa orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan, yaitu melalui Kristus (Penyataan diri Allah yang nyata dan final) dan Alkitab (Penyataan diri Allah yang tertulis). Dengan standar ini, kita dengan tajam memilah mana yang benar dan mana yang tidak benar berdasarkan wahyu khusus Allah.
Lalu, apa signifikansinya? Wahyu umum dan wahyu khusus mengajar kita bagaimana harus bersikap terhadap orang non-Kristen. Di satu sisi, kita sebagai orang Kristen tetap harus menghargai mereka yang bukan Kristen di dalam beberapa prinsip yang tidak esensial, misalnya menyangkut politik, etika, teknologi, dll. Sebagai respon terhadap wahyu umum Allah, mereka memiliki kebajikan-kebajikan tersendiri (yang tidak melawan Alkitab) yang bisa kita pelajari. Tetapi ingat, karena agama-agama non-Kristen hanya merupakan respon manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, kita tidak boleh mengadopsi mereka semua untuk melengkapi apa yang sudah kita dapatkan di dalam wahyu khusus Allah. Justru sebaliknya, kita yang sudah mendapatkan wahyu khusus Allah menerangi mereka yang hanya meresponi wahyu umum Allah, sehingga nama Tuhan dipermuliakan. Prinsip-prinsip yang tidak melawan Alkitab dan Kristus boleh kita terima, tetapi prinsip-prinsip yang jelas-jelas melawan Alkitab dan Kristus harus kita buang, meskipun prinsip itu laris di pasaran dunia. Selain itu, kita juga dituntut untuk mempertumbuhkan spiritualitas kita untuk hidup kudus, jujur, adil, dll, sebagaimana yang dituntut oleh Allah di dalam firman-Nya.
7. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil (dan Mahakudus)
Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kedua atribut Allah ini tidak bisa dipisahkan. Memisahkan kedua atribut Allah ini mengakibatkan munculnya bidat. Bidat di Amerika Serikat, Children of God terlalu mementingkan atribut Allah yang Mahakasih bahkan sampai melegalkan hubungan “kasih” di luar nikah. Baru-baru ini, di surat kabar, kita mendapatkan berita serupa tentang free-sex yang dilakukan oleh bidat Mormonisme (Gereja Orang-orang Suci Zaman Akhir—OSZA). Bukan hanya bidat, Kekristenan sendiri pun ada yang terlalu menekankan Allah yang Mahakasih, sehingga berbuat dosa apa pun tidak menjadi masalah, mengapa? Karena yang membuat manusia berdosa adalah iblis, maka yang perlu ditengking adalah iblisnya. Memang lucu, karena Alkitab mengajarkan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1Yoh. 1:9) Di sini tidak dikatakan, jika kita mengaku iblis yang mencobai kita, tetapi dikatakan, jika kita mengaku dosa kita. Artinya, kalau kita yang berdosa, itu berarti bukan iblis yang disalahkan, tetapi kita yang disalahkan, karena kita mau ditipu oleh iblis. Di sisi lain, ada golongan Kristen yang terlalu mementingkan aspek keadilan Allah. Kita melihat hal ini di dalam Reformasi Luther. Ketika hidup di biara, Dr. Martin Luther tersiksa, karena setiap hari ia diindoktrinasi bahwa Allah menuntut perbuatan baik dari umat-Nya, jika tidak berbuat baik, maka umat-Nya akan dimurkai Allah. Konsep ini tidak salah, tetapi jika konsep ini terus ditekankan, bisa berbahaya. Puji Tuhan, Dr. Martin Luther tidak frustasi lalu bunuh diri, tetapi atas anugerah Allah, Luther mendobrak ajaran yang berat sebelah ini dan mengajarkan pembenaran hanya melalui iman, karena perbuatan baik tidak cukup syarat menjadi pembenaran umat pilihan-Nya. Mari kita tinggalkan dua ekstrim ini dan kembali kepada Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa Allah itu Mahakasih sekaligus Mahaadil. Di dalam kasih-Nya, Ia tetap menghukum umat-Nya yang bersalah (baca: Why. 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”)
Apa signifikansi konsep ini? Konsep ini mengajarkan reaksi kita sebagai umat-Nya terhadap Allah. Kita sering kali sudah belajar doktrin ini, tetapi hidup kita masih sembrono. Kita masih menganggap bahwa Allah itu Mahakasih, Maha Pemurah, dll, sehingga kita terus berbuat dosa tanpa mau bertobat. Mari kita hari ini bertobat dari konsep kita yang salah ini, karena selain Mahakasih, Ia juga Mahaadil dan Mahakudus yang menuntut umat-Nya untuk hidup kudus (1Ptr. 1:16). Bagaimana kita bisa bertobat dari dosa ketidakkudusan? Caranya adalah terus memandang kekudusan Allah yang agung. Ketika kita memandang kekudusan Allah, kita baru tahu bobroknya kita dan di saat itu, kita perlu bertobat. Saya tersentuh sekali ketika membaca ucapan dari Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion, “… man is never sufficiently touched and affected by the awareness of his lowly state until he has compared himself with God’s majesty.” (= ... manusia tidak pernah cukup disentuh dan dipengaruhi oleh kesadaran akan statusnya yang rendah sampai ia membandingkan dirinya dengan keagungan Allah.)5 Biarlah ucapan ini menjadi perenungan bagi kita seberapa dalam kita merenungkan keagungan dan kekudusan Allah.
1. Loraine Boettner, Iman Reformed, terj. Hendry Ongkowidjojo (Surabaya: Momentum, 2000), hlm. 11.
2. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill (USA: Westminster John Knox Press, 2006), Buku I, Bab I, Bagian 1, hlm. 35.
3. Ibid., Buku I, Bab I, Bagian 2, hlm. 37.
4. Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, terj. Yudha Thianto (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993), hlm. 154-155.
5. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Buku I, Bab I, Bagian 3, hlm. 39.
“Without knowledge of self there is no knowledge of God”
(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)
- Denny Teguh S-GRII Andhika's blog
- 12476 reads