Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Anak-Anak Itu
Urat leherku seakan-akan hendak putus karena harus berteriak di tengah ruangan yang amat luas dengan anak-anak yang berlari-lari berkejar-kejaran. Satu minggu yang lalu aku masih sibuk melatih anak-anak mungil itu untuk mengambil bagian dalam acara perayaan Natal di gerejaku.
Saat terbersit ide untuk memasukkan anak-anak berbagian dalam pelayanan Natal. Mulai dari singer, penari tamborin, pembaca berita Natal, sampai dengan pembawa lilin Natal, sempat ada rasa ragu. Waktu latihan hanya satu minggu, sedangkan melatih mereka pasti tidak bisa selancar melatih orang-orang dewasa. Namun, kerinduan untuk mengajak mereka melayani melalui perayaan Natal kali ini mengalahkan rasa ragu. Benar saja, seperti yang sudah kusebutkan di atas. Anak-anak pembawa lilin yang berusia 3 - 6 tahun tidak dapat langsung berbaris rapi ketika giliran mereka tiba untuk dilatih. Aku harus ikut berkejaran dulu dengan mereka, menangkap tangan mereka satu per satu, meletakkan mereka di barisannya, dan mengeluarkan suara yang super keras agar panduanku dapat terdengar di tengah iringan musik yang volumenya mengalahkan suaraku. Kadang, saat aku mendapatkan satu anak untuk diletakkan di barisannya, anak yang sudah lebih dahulu ada di barisannya sudah hilang lagi. Huhh ... frustrasi rasanya.
Meski frustrasi dan rasanya penat, tetapi aku dan GSM yang lain tidak berniat membatalkan mereka menjadi pembawa lilin Natal. Kami yakin, mereka juga akan belajar hal yang indah di masa Natal tahun ini, melalui pelayanan yang mereka berikan. Lagipula, memang begitulah anak-anak, bukan? Tidak dapat diam, seakan-akan punya energi lebih yang tidak pernah berkurang. Entah bagaimana mereka mengisi ulang baterai mereka, karena sepertinya mereka selalu punya baterai cadangan yang banyakkk sekaliii ....
Ketika hari H tiba. Tujuh pembawa lilin Natal yang sudah gladi resik sehari sebelumnya -- gladi resik yang membuatku memutuskan untuk menyiapkan "pemain cadangan" kalau-kalau anak-anak itu tidak ada di tempatnya saat mereka harus maju membawa lilin-lilin itu di tangan mereka -- terlihat begitu manis. Senyum mereka merekah dengan baju baru.
Mereka berlari ke arahku sambil menarik-narik tanganku sesaat sebelum acara dimulai. "Kak, kak ... lilinku mana? Kak, kak, bajuku baru loh .... Kak, kak, kapan bawa lilinnya ...."
Kutaruh jari telunjukku di depan bibirku, meminta mereka tenang sejenak. Walau aku tak yakin mereka akan tenang. Namun, ternyata ereka
menurut .... Mereka tenang sambil memandang dalam-dalam kepadaku. Hmmm
... pemandangan yang tidak pernah aku jumpai selama satu minggu ini.
Aku mengambil lilin-lilin putih besar dalam tas plastik yang ada di tangan kiriku. Kubagikan semuanya kepada tujuh pembawa lilin yang hari itu tampak seperti peri-peri kecil. Setelah itu aku minta mereka duduk di bangku yang sudah kusiapkan agar dengan mudah aku dapat mengatur barisan mereka saat waktu penyalaan lilin tiba. Tadinya, aku menyiapkan kursi untuk mereka dengan penuh keraguan, akankah mereka akan ada di situ saat waktunya tiba? Namun, tanpa dikomando dua kali, mereka duduk di kursi ini sesuai urutan barisan mereka selama latihan. Dengan lilin putih besar di tangan mereka yang dipegang erat-erat, seoalah-olah berkata, "aku siap melayani-Mu Tuhan, dengan sungguh-sungguh."
Ketika waktu penyalaan lilin tiba, mereka pun berbaris dengan rapi, berjalan perlahan dari arah belakang menuju panggung.
Woww, Tuhan, lihatlah, aku sudah tidak percaya akan kekuatan-Mu. Aku merasa anak-anak tidak akan dapat melakukan tugas pelayanan ini dengan baik. Namun, saat waktunya tiba, Engkau sendiri, Tuhan ... bekerja dalam diri anak-anak ini. Lihatlah, mereka begitu rapi, anggun, sungguh-sungguh, dan memesona ketika melaksanakan tugas mereka. Anak-anak yang berusia 3 -- 6 tahun itu berjalan dengan lilin di tangan mereka.
Melihat itu, aku merasa Tuhan berkata kepadaku, "anak-anak ini dapat Ku pakai juga sesuai kehendak-Ku menjadi penerang di tengah kegelapan dunia."
Sampai sekarang, jika kuingat hamba-hamba Tuhan kecil itu, tidak dapat kutahan rasa haru. Rasa haru bukan karena aku berhasil melatih mereka, karena terbukti aku tidak berhasil, sampai gladi resik pun mereka tidak dapat mengikuti instruksiku. Tapi haru, karena Tuhan memberikan pelajaran indah bagiku. Dia yang menentukan siapa yang siap melayani Dia. Dia yang melengkapi dan menyempurnakan segala sesuatu untuk hormat dan kemuliaan nama-Nya. Terima kasih Tuhan untuk hadiah Natal ini.
Peri-peri kecil itu tidak pernah Engkau biarkan tidak memberi pelajaran-pelajaran indah kepadaku. Ketika anak-anak itu selesai melakukan pelayanan mereka, berlarilah mereka kepadaku, mengacungkan lilin-lilin yang sudah dimatikan dan bertanya, "Kak ... lilinnya boleh kuminta ya." Saat aku mengatakan ya, mereka bersorak, "horeeeeeee ...." sambil memelukku.
Saat aku memeluk pembawa lilin yang paling kecil, aku merasakan tingginya suhu panas tubuhnya. Ya ampun! Ternyata, dia sedang sakit. Kembali, tak dapat kutahan rasa haruku.
- Love's blog
- 5089 reads