Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Aku Berdosa
Aku duduk di bawah rumpun pohon pisang, melepas lelah setelah ikut membersihkan lapangan bola di depan sekolah. Iseng-iseng menusuk-nusuk batang pisang di sampingku dengan sebilah parang. Tidak terlalu keras karena tidak ingin pakaian seragamku keciprat air batang pisang. Kedengaran aneh memang kalau seorang anak kelas 2 SMP membawa parang ke sekolah. Di daerah ini parang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kami, bahkan bukan hal yang aneh jika ada parang di dalam laci meja --Beberapa anak lebih suka menyimpan parangnya di dalam laci sehingga jika ada kerja bakti tidak perlu membawanya dari rumah.
“Hei… ! Ngapain itu.” Teriak seorang dengan kasar, teriakan ini berasal dari jendela yang terletak sekitar dua meter dari rumpun pisang tempatku menunggu bel tanda masuk berbunyi.
Pohon pisang termasuk pohon yang bisa bergerak sendiri. Beberapa tahun lalu rumpun pisang ini masih berada di luar halaman sekolah. Tetapi sekarang sudah bergerak masuk ke halaman sekolah. Semua orang di kampung tahu pohon pisang bisa bergerak sendiri, jadi bukan salah pemiliknya jika pohon ini bergerak ke tanah orang. Itulah sebabnya orang suka menanam pisang sebagai pembatas tanah.
Jadi, aku merasa wajar pria janggung yang sedang memandangku dari rumah panggungnya berteriak keras. Secara adat rumpun pisang ini miliknya walaupun berada di halaman sebuah sekolah. Sekolah kami tidak berpagar -- Sebenarnya pagar ada, yaitu rumpun-rumpun pisang ini. Salah satunya menjadi tempatku tiduran kalau sudah jam istirahat. -- Ya pisang-pisang ini miliknya, karena ia yang menanam, bukan salahnya jika pisang yang ditanam dulu menjadi banyak dan bergerak kearah sekolah kami.
Pihak sekolah tidak akan membelaku jika aku berkata batang-batang pisang ini milik sekolah. Jadi, aku mencabut parang yang tertancap dengan gaya tokoh film silat mencabut pedang dari tubuh lawannya. Memasukan ke dalam sarungnya lalu tiduran di atas tumpukan daun pisang yang sudah mengering.
“Seperti bukan anak guru saja.” omel pria yang terkenal suka marah ini.
Ini bukan kali pertama pekerjaan orang tua dibawa-bawa pada masa kecilku.
Kelas empat SD, aku melakukan sesuatu yang katanya sangat keterlaluan sehingga harus dihukum. Bukan hukuman ini yang menjadi beban, tetapi perkataan Pak Gendut, guru kelasku.
“Kamu melakukannya, padalah kamu tahu ayahmu seorang penatua gereja.”
Aku hanya diam, memandang perut buncitnya dan bertanya-tanya dalam hati, siapa yang pertama kali memberinya gelar itu. Tetapi dalam hati aku juga berpikir jika ayahku bukan seorang penatua apakah aku boleh menggerek tas seseorang ke puncak tiang bendera?
***
Sudah terlalu sering aku mendengar orang mengungkapkan kekecewaannya terhadap orang Kristen maupun terhadap gereja. (aku pernah termasuk salah satu dari antaranya). Sering aku mendengar orang mengungkapkan kekecewaannya karena menemukan orang yang datang ke gereja setiap minggu dalam kesehariannya tidak seperti seharusnya.
Lalu aku juga pernah mendengar ungkapan “seperti bukan orang Kristen saja.”
Bagaimana seharusnya orang Kristen itu?
Dalam sebuah buku berjudul “Sketsa Kehidupan” ada sebuah ilustrasi menarik tentang bagaimana orang Kristen itu seharusnya. Dalam buku yang berisi ilustrasi-ilustrasi renungan ini terdapat sebuah cerita tentang seorang pedagang.
Seorang pedagang sudah bertahun-tahun menentang kekristenan. Pada suatu Minggu ia mendatangi sebuah gereja untuk beribadah. Sang pendeta yang merasa heran bertanya. Si pedagang bercerita tentang beberapa pelanggannya yang bersikap lain dari yang lain. Ia melihat mereka sebagai orang-orang yang lebih berbahagia dari yang lain, ia juga melihat mereka sebagai pelanggan yang menyenangkan. Merasakan pelanggan-pelanggan ini tidak hanya bisa menuntut tetapi bisa memberi perhatian kepadanya.
Si pedagang berkata kepada si pendeta, “Kemudian saya mengetahui bahwa orang-orang tersebut adalah anggota dari gereja Anda. Saya menganggap bahwa sikap mereka yang menyenangkan dan perhatian mereka terhadap saya merupakan cara mempromosikan iman mereka. Saya sangat senang dengan contoh itu, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk datang di gereja ini dan mencoba hasilnya.”
Seperti sebuah cerita dongeng yang berakhir dengan kalimat, “Mereka akhirnya menikah lalu hidup bahagia selamanya.” Maka tidak ada kelanjutan cerita setelah si pedagang berkumpul dalam komunitas gereja. Si pedagang telah melihat kehidupan sempurna orang Kristen, berpegang pada pandangan tersebut lalu tertarik untuk melihatnya lebih dekat.
Banyak orang memandang gereja sebagai sebuah lembaga sempurna, memandang kelompok orang Kristen sebagai kelompok ideal tanpa cela. Lalu ketika melihat orang-orang ini melakukan kesalahan, mereka hanya bisa berkata, “seperti bukan orang Kristen saja.” Tidak beda dengan guruku yang berkata, “Seperti bukan anak penatua gereja saja.”
Bagiku lebih mudah untuk menerima orang-orang yang berkumpul di gereja sebagai kumpulan orang berdosa yang butuh pertolongan. Bukan kumpulan orang-orang sempurna. Mungkin ini hanya karena aku selalu melakukan dosa sehingga membuat pembelaan. Tetapi paling tidak, pandangan inilah yang membuatku tetap berani datang ke gereja. Aku mendengar banyak yang meninggalkan gereja karena merasa berdosa, merasa tidak layak menjadi anggota gereja, menganggap gereja hanya tempat untuk orang yang hidup kudus.
Hari ini aku membaca bukunya John Young yang berjudul “Our God is still to Small” . Ada sebuah cerita menarik dalam buku ini. Seorang jemaat di Skotlandia berhenti beribadah di gereja. Suatu malam seorang hamba Tuhan mengunjunginya. Mereka duduk bersama di depan perapian, keduanya sama-sama diam membisu. Hamba Tuhan ini membungkuk di depan perapian, mengambil penjepit bara, lalu memisahkan sebuah arang yang masih menyala. Arang ini perlahan-lahan menghitam dan mendingin. Kemudian ia mengembalikannya ke tempat semula. Dengan cepat arang yang sudah menghitam ini kembali membara sehingga ruangan menjadi lebih terang, lalu si hamba Tuhan pulang. Minggu berikutnya jemaatnya ini kembali ke gereja, setelah memahami pelajaran dari arang yang menghitam.
Ada sebuah kebenaran penting dari cerita di atas, orang Kristen saling membutuhkan. Tetapi dalam kenyataan, beberapa orang meninggalkan orang Kristen lain, karena merasa dirinya bukan lagi bagian dari kelompok orang tidak berdosa. Setahunya kelompok Kristen itu adalah kelompok orang sempurna tanpa dosa.
Dalam kenakalan masa kecilku, aku tidak akan pernah bisa melupakan ucapan ibuku. Dalam kejengkelannya ia berkata, “Kamu banyak sekali melakukan hal-hal keterlaluan, tetapi yang penting kamu tahu itu salah.”
Ibu benar. Aku harus tahu bahwa aku salah, itu yang penting. Sekarang aku bukan lagi anak kecil yang menurunkan bendera supaya bisa menaikkan sebuah tas. Aku sudah dewasa, aku sedih karena selalu berdosa, kadang-kadang ini membuatku ketakutan, takut hukuman langsung, tetapi kadang-kadang aku bersyukur masih bisa merasa berdosa.
Sebuah kutipan dari buku yang kubaca tadi,
“Yesus menggambarkan dengan jelas bahwa lebih banyak harapan bagi pemungut pajak yang berdosa daripada orang Farisi yang taat. Karena pemungut pajak tahu ia seorang yang berdosa. Meskipun akhirnya beberapa orang Farisi mengikuti Yesus dan beberapa pemungut pajak tidak bertobat, tetapi pokok utama disini kelihatan dengan jelas. Agama dapat dengan mudah membutakan kita akan kebutuhan kita yang terdalam. Itu dapat menyesatkan kita dengan menganggap diri kita lebih baik dari orang lain. Agama dapat membuat kita berkata Tuhan suka dengan usahaku"
Banyak orang meninggalkan gereja hanya karena kecewa terhadap gereja. Dalam buku ini diceritakan tentang bekas pelayan toko berkata, “Jika orang Kristen akhirnya seperti dia itu, untuk apa aku ikut-ikutan.” Ungkapan ini dikeluarkannya karena melihat pemilik toko tempatnya bekerja merupakan salah satu orang terjahat yang pernah dilihatnya dalam masa kecil. Pemilik toko ini merupakan salah satu tokoh penting gereja.
Banyak orang berharap banyak dari seorang Kristen. Wajar. Seperti wajar kalau seorang pemilik pohon pisang yang bisa bergerak sendiri berharap kepada anak seorang guru. Tetapi ini merupakan sebuah beban yang sangat berat, akan membuatku bertambah munafik.
Lebih mudah bagiku untuk percaya kalau orang Kristen adalah kumpulan orang-orang berdosa yang tidak bisa melepaskan diri dari dosa tanpa pertolongan.
Dosa ini yang membuatku tidak menganggap diri lebih baik dari orang lain, dosa ini juga yang membuatku tidak lari dari kelompok orang Kristen. Dosa ini yang membuatku sadar aku benar-benar butuh pertolongan.
- anakpatirsa's blog
- 5733 reads