Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Aku Benci Natal!
Sewaktu kanak-kanak, setiap Desember, saya selalu kalah dalam perlombaan di antara teman-teman sekolah dasar. Yaitu, perlombaan mengikuti sebanyak mungkin perayaan Natal. Walau lahir di tengah keluarga Kristen dan bersekolah di sekolah Kristen, ternyata tidak banyak perayaan Natal yang bisa saya ikuti.
Saya mencoba menghitungnya: Natal Sekolah Minggu, Natal Sekolah, Natal Gereja. Hanya tiga kali selama sebulan penuh Desember tersebut. Teman-teman saya bisa merayakan lima sampai enam kali dalam sebulan perayaan Natal. Ada tebersit iri dalam hati. Mereka bisa banyak merayakan Natal karena tidak terikat dengan satu keanggotaan gereja sehingga gereja mana pun (terutama pos-pos PI dan gereja-gereja yang sedang mencari jemaat baru) yang mengundang mereka untuk merayakan Natal, mereka pun berangkat. Saya tidak bisa begitu, ayah saya majelis gereja, bisa berabe jika seenak udel ikut perayaan Natal gereja lain.
Kegembiraan perayaan Natal terutama adalah hadiah-hadiah dan makanan dan teman-teman sekolah saya yang rata-rata berlatar belakang kaum proletariat, Natal menjadi masa-masa indah mereka. Kebanggaan dan rasa bahagia terpancar di wajah mereka. Setelah mereka lulus dari sekolah dasar, mereka tidak menjadi pengikut Kristus. Seiring dengan pertumbuhan umur dan bertahun-tahun merayakan Natal, sensasinya menghilang. Hal itu menyebabkan saya tidak terlalu berminat merayakan Natal.
Jika Desember tiba, saya tidak terlalu peduli akan mengikuti perayaan Natal atau tidak. Kecuali, kalau saya menjadi panitianya, sekadar menjalankan kewajiban. Hal itu makin memburuk setelah saya mengetahui beberapa fakta tentang Natal.
Saya membenci Natal.
Ada berbagai alasan saya memutuskan saya membenci Natal. Berbagai penyelidikan ilmiah memastikan bahwa Yesus Kristus tidak mungkin dilahirkan pada 25 Desember (beberapa pakar menyarankan lahir sekitar Juni-September). Jadi Yesus tidak berulang tahun pada hari Natal. Kenyataan penetapan Natal pada 25 Desember oleh para bapa gereja yang mengadopsi festival Saturnalia, upacara orang-orang Eropa pagan untuk memperingati kedigdayaan Dewa Matahari yang berhasil mengalahkan musim dingin, mengusik nurani saya—mengapa para bapa gereja dengan gegabah memasukkan roh-roh kekafiran dalam kekristenan?
Pun, orang-orang Kristen abad pertama (tentu saja termasuk 12 murid Yesus) tidak mempunyai tradisi merayakan ulang tahun sebab ulang tahun adalah tradisi Yunani atau Romawi. Sebagai orang Timur Tengah, mereka malahan merayakan hari kematian, sebuah tradisi yang akhirnya diadopsi orang Indonesia melalui budaya Islam dalam bentuk perayaan haul.
Kalau Anda pernah mendengar acara Haul Bung Karno atau acara haul-haul yang lain: acara tersebut memang memperingati hari wafatnya seorang tokoh yang diselenggarakan oleh pengikut tokoh tersebut, misalnya mantan presiden Sukarno. Jadi Paskah, kalau di Indonesia bisa disebut dengan istilah Haul Yesus Kristus: memperingati wafat-Nya Yesus Kristus. Jadi menurut pemikiran saya, jika hendak benar-benar menjadi orang Kristen sejati, seharusnya saya tidak merayakan Natal, tetapi merayakan Paskah dengan gegap gempita. Kenyataan perayaan Paskah yang “tenggelam” oleh kemeriahan Natal begitu menyedihkan saya.
Dalam Injil, hanya Herodes Antipas yang merayakan ulang tahun (Mat. 14:6). Dan, acara ulang tahun itu pun berakhir “tragis” bagi umat Allah; Yohanes Pembaptis, sang nabi yang berseru-seru di padang gurun untuk mempersiapkan kedatangan Mesias, pun tewas dengan kepalanya terpisah dari tubuhnya demi memeriahkan acara ulang tahun.
Natal yang ditunggangi para saudagar, produsen manufaktur, dan media untuk mendorong perilaku konsumtif lebih gila-gilaan dan kenyataan ada beberapa “kantong-kantong Kristen” di Indonesia yang merayakan Natal dengan cara hura-hura penuh kemabukan demikian memuakkan saya. Kebencian itu menjadi-jadi karena berbagai hal itu, nama saya sebagai pengikut Kristus menjadi tercoreng. Sudah memeluk agama yang dulu dibawa oleh penjajah; sekarang malah ada orang-orang yang mengatasnamakan tradisi, merayakan perayaan Kristen dengan cara menyakitkan hati pemeluk agama lain. Walah.
Ada satu lagi alasan saya membenci Natal. Sepele, tetapi tetap saja mengusik. Mengapa Yesus Kristus yang “berulang tahun” selalu dirayakan dalam bentuk bayi kecil di palungan? Tidak pernah ada tokoh agama atau tokoh besar lain yang dirayakan ulang tahunnya dalam visual bayi. Sidharta Gautama, Muhammad, dan Kong Hu Cu misalnya, mereka tidak pernah digambarkan sebagai bayi kecil dalam acara miladnya.
Jadi bagi saya, Natal tak lebih dari romantisme semu saja dan menjadi moment untuk berhura-hura secara legal. Begitulah, masuk akal bukan jika saya membenci Natal? Jadi dengan berbagai alasan tersebut bukankah masuk akal juga jika kita tidak usah merayakan Natal? Berapa banyak uang yang dapat dihemat? Berapa banyak kematian sia-sia yang bisa dihindari jika tidak ada Natal yang mengakibatkan hura-hura berlebihan yang memicu kecelakaan lalu lintas dan kematian akibat minuman keras?
Perubahan pemikiran mulai terjadi sekitar setahun terakhir ini. Ada berbagai sebab yang membuat Natal masih layak dirayakan. Refleksi utamanya terutama timbul dalam hati saya dan tentu saja dengan penyelidikan dan refleksi pribadi. Renungan salah satu penulis Pedoman Renungan Harian Saat Teduh, memberiku gambaran yang jelas kepadaku tentang arti Natal. Ia menceritakan kisah tentang dirinya suatu kali tanpa sadar sedang mengendarai mobil menuju kantor. Di tengah-tengah perjalanan—sambil mendengar alunan lembut musik—mobil meluncur tenang. Saat melihat satu pojok tikungan-yang-sangat-dikenalnya-jika-sedang-dalam-perjalanan-ke-kantor, ia tiba-tiba tersadar bahwa sebenarnya tujuan ia keluar rumah bukan ke kantor untuk bekerja. Tikungan yang sangat dikenalnya itu seperti menjadi tanda untuk mengingatkan bahwa arah perjalanan spontan yang ia lakukan itu salah. Ia tersadar bahwa ia telah terseret dalam arus kebiasaan.
Berdasar kejadian itulah si penulis Pedoman Renungan Harian Saat Teduh membuat analogi moment-moment untuk mengingatkannya jika ia telah terseret arus kebiasaan yang telah ia lakoni yang menyeretnya menjauh dari tujuan yang telah Allah tetapkan bagi dirinya. Dan, Natal menjadi moment semacam itu. Natal dan berbagai perayaan kristiani lain, Paskah, Pentakosta atau hari-hari raya gereja lainnya misalnya di gereja saya: Masa Penghayatan Hidup Kekristenan atau Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga, dan sebagainya dapat saya jadikan sebagai pojok tikungan-pojok tikungan yang mengingatkan saya supaya tersadar dari arus kesibukan hidup, arus keseharian, arus nafsu mengejar kemapanan, dan berbagai arus yang melenakan lainnya.
Natal adalah pojok tikungan paling familiar di antara berbagai pojok tikungan tersebut. Pojok tikungan Natal memberi saya kesempatan untuk berbalik saat melenceng atau meneruskan perjalanan jika saya berada dalam jalur Allah. Kapan pun tanggal Natal ditetapkan tidak masalah bagi saya, sebab yang terpenting dari perayaan Natal adalah saat sejenak bagi saya untuk merenungkan kehidupan yang sering memaksa saya untuk terus mengalir.
Mengapa para bapa gereja mengadopsi Natal dari perayaan kafir? Layakkah kelahiran sang Juruselamat dirayakan bak berhala-berhala dirayakan? Sekilas saya menelusuri sejarah Natal ini. Memang di Injil sama sekali tidak pernah disebut-sebut tentang tanggal kelahiran Yesus Kristus. Selain orang Yahudi tidak mengenal perayaan Natal, para penulis Injil tidak memaksudkan buku-buku mereka sebagai biografi Yesus. Detail-detail yang bagi para ahli sejarah modern penting—tentang tempat, tanggal, hubungan-hubungan, dan berbagai hal lain, bagi mereka tidak dianggap penting kecuali jika itu mendukung tujuan mereka menggambarkan Yesus.
Yesus yang menyelamatkan umat manusia dari dosa dengan mati di kayu salib dan bangkit dari antara orang mati di hari ketiga. Selain itu, konon, para penulis Injil menuliskan kisah Yesus tidak dimaksudkan untuk dibaca sampai beribu-ribu tahun sebab mereka menganggap Yesus akan datang kedua kali dalam waktu dekat. Bukankah Yesus pernah berkata, “Sesungguhnya angkatan ini tidak akan berlalu, sebelum semuanya ini terjadi” yang seakan mengindikasikan akhir zaman akan tiba saat para penulis Injil ini masih hidup. Jadi, bukankah masih banyak saksi mata yang melihat Yesus berkarya di dunia?
Detail tentang Yesus tidak perlu ditonjolkan, karya dan kuasa Yesuslah yang perlu ditekankan kepada para pengikut mula-mula itu. Kekristenan pun menyebar melampaui pikiran murid-murid Yesus ini dan nubuat Kisah Para Rasul 1:7 bahwa mereka akan menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi pun tergenapi. Juga, sampai detik ini, kiamat belum hadir. Saat kekristenan mulai berkembang di kalangan orang-orang Eropa sekitar abad kedua, mulai timbul masalah.
Sewaktu masih kafir, mereka mengikuti berbagai ritual pagan; salah satunya adalah perayaan Winter Solstice yang merupakan titik terjauh bumi dengan matahari. Biasanya jatuh pada tanggal 22 Desember (atau 25 Desember jika memakai kalender Julian). Pada saat itu di Eropa, malam menjadi jauh lebih panjang daripada siang. Orang-orang Eropa takut jika matahari bakal tidak terbit lagi. Jadi mereka mengadakan perayaan untuk mendorong supaya matahari terbit kembali. Perayaan bisa berlangsung seminggu.
Di Skandinavia selama musim dingin, matahari akan menghilang beberapa hari. Setelah 35 hari seorang pengamat dikirim ke puncak gunung untuk mencari kembalinya matahari. Saat terlihat cahaya remang pertanda matahari sudah kembali (sekitar 25 Desember kalender Julian), si pengamat akan turun dan memberi tahu kabar gembira. Setelah itu pesta pun digelar untuk merayakan kabar itu dengan menggelar api unggun besar. Di beberapa tempat, perayaan itu dilengkapi dengan menggantung apel-apel di cabang-cabang pohon pinus untuk mengingatkan mereka bahwa musim semi dan musim panas akan kembali tiba.
Pohon pinus—yang sekarang banyak dijumpai sebagai pohon Natal—adalah lambang ketangguhan melawan musim dingin yang panjang. Bagi mereka pohon pinus adalah satu-satunya pohon yang tetap tegak di tengah terjangan musim dingin yang ganas itu. Awalnya orang-orang Eropa yang menjadi pengikut Kristus tidak bisa ikut perayaan itu karena itu berarti mereka kembali ke agama pagan. Namun, jika tidak ikut perayaan itu, mereka tercabut dari akar budaya mereka dan hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka kasihi yang belum mengenal Kristus menjadi putus. Itu berarti mereka kehilangan kesempatan untuk memberitakan Kristus kepada sesama yang ada di sekitar mereka. Mereka malah menjadi batu sandungan dan tidak menjadi kabar keselamatan bagi lingkungan mereka.
Hal itulah yang mendorong Uskup Roma, Julius I, pada tahun 350 memutuskan menetapkan tanggal 25 Desember sebagai perayaan untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus. Dengan penetapan itu, orang-orang Kristen di Eropa bisa ikut bersuka dengan sahabat, handai taulan, dan kerabat. Namun, mereka tidak sedang merayakan dewa matahari, mereka sedang merayakan pembebasan mereka dari dosa melalui kelahiran Yesus. Sukacita para pengikut Kristus berbeda dengan para pengikut dewa matahari itu. Dan, di situlah Injil bisa masuk melalui orang-orang Kristen Eropa abad-abad awal itu karena mereka bisa menjelaskan kedatangan Yesus Kristus melalui perayaan itu.
Sejarah Natal itu malahan mendorong saya untuk memahami kebenaran baru. Yaitu, menggunakan kebudayaan lokal sebagai sarana untuk menyebarkan kabar baik. Jika perayaan menyambut datangnya dewa matahari diadopsi menjadi Natal yang menyambut datangnya Terang Sejati. Jadi sebagai orang Jawa, tradisi apa saja yang bisa saya adopsi untuk kepentingan pekabaran Injil? Ada banyak. Teman-teman Katolik di Indonesia punya banyak contoh. Gereja Kristen Jawi Wetan juga mengubah perayaan memuja Dewi Sri melalui upacara sedekah bumi menjadi hari mengucap syukur dalam Riyaya Unduh-unduh. Natal memberi makna baru bagi saya untuk ritual-ritual lokal yang diadopsi dengan pengertian baru bagi para pengikut Kristus.
Jadi dengan segala pengertian baru tentang Natal, haruskah saya tetap membenci Natal?
(Tulisan ini dikirim ulang untuk mengganti tulisan yang hilang pada Desember 2008 lalu)
- Bayu Probo's blog
- Login to post comments
- 6352 reads